tirto.id - Salah satu hal yang tidak disukai sebagian masyarakat Indonesia adalah Yahudi. Yahudi, Israel, dan zionis dipukul rata alias disamakan. Seolah semua orang keturunan Yahudi adalah pendukung zionis Israel. Padahal tak semua keturunan Yahudi mendukung Zionisme Israel. Intinya, Yahudi salah.
Dengan kondisi ini, banyak keturunan Yahudi di Indonesia lebih memilih merahasiakan identitasnya. Meski demikian, kebudayaan dan keturunan Yahudi masih hidup di Indonesia. Penganut Yahudi bisa hidup di sekitar Tondano, Manado.
Kehadiran orang Yahudi di Indonesia setidaknya sudah ada sejak 1290. Mereka adalah pedagang yang berdagang di Barus, Sumatera Utara. Begitu menurut Jacob Saphir, yang menulis soal Yahudi di Indonesia. Di zaman kolonial Hindia Belanda, jumlah orang Yahudi di Indonesia mencapai 2 ribu orang. Mereka biasanya menjadi pedagang atau pegawai pemerintah.
Sejarah juga mencatat, beberapa keturunan Yahudi di Indonesia ini juga berperan dalam membantu kemerdekaan Republik Indonesia.
Selain Mussry
Bicara soal pejuang Yahudi, setidaknya dunia maya Indonesia sudah mengenal Charles Mussry. Dia adalah seorang pengusaha bengkel di Surabaya yang ikut mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa media merilis artikel tentang Yahudi pejuang tersebut. Charles punya keturunan dari istrinya yang orang Jawa Madiun bernama Jujuk.
Selain Charles Mussry, ada seorang wanita yang menjadi guru di sekolah nasionalis bernama Kesatrian Institut di Bandung. Johanna Petronella Mossel. Wanita Indo Belanda keturunan Yahudi ini adalah istri kedua Ernest Douwes Dekker. Ia juga pejuang pergerakan nasional Indonesia.
Johanna mengajar sejak 1925. Dekker menikahi Johanna pada 22 September 1926. Mereka berdua pernah mendirikan sekolah dagang swasta. Sekolah yang nampaknya hanya akan menerima siswa pribumi ketimbang Belanda. Sebagai guru, Johanna dikenal keras dan disiplin. Dia sering mengajar tanpa imbalan.
Ketika Dekker dibuang ke Suriname pada 1941, Johanna kemudian menikah lagi dengan Jafar Kartodirejo. Jafar yang merupakan kawan Dekker, kemudian memberi perlindungan pada Johanna. Johanna dan Dekker bertemu lagi di tahun 1947. Dekker di kemudian hari menikahi seorang janda Belanda dan hidup di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Johanna masih tetap mendukung Republik Indonesia. Meski dirinya dianggap pengkhianat oleh militer Belanda. Tidak banyak catatan menyebut soal Johanna Petronella Mossel ini. Ada yang menyebut Johanna pernah kawin dengan Ir Soeratin pendiri Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Jejak Yahudi dalam perjuangan kemerdekaan lainnya adalah John Cohen. Ia merupakan anggota Partai Komunis Australia yang bergabung dengan divisi ke-7 tentara Australia. Mereka dikirimkan ke Balikpapan untuk bertempur melawan Jepang.
Menurut Anthony Reid, dalam Australia Soldiers in Asia Pasific in Worldwar II (1995), John Cohen adalah anggota Partai Komunis Australia yang ikut menyebarkan pamflet dari Australia. Pamflet itu dicetak oleh gerakan pro kemerdekaan Indonesia. Diantaranya orang-orang buangan dari Digoel yang dibawa tentara Belanda ke Australia.
Menurut Hasan Basry, dalam Kisah Gerilya Kalimantan (1962), pamflet-pamflet itu disebar sekelompok tentara Australia, sehingga seolah-olah tentara Australia secara keseluruhan mendukung kemerdekaan Indonesia. Padahal, pamflet itu dibuat orang Indonesia di Australia. Tentara-tentara Australia, yang berpangkat rendahan, umumnya bersikap baik pada orang-orang Indonesia yang baru saja menderita karena pendudukan Jepang.
John Cohen si Komunis Yahudi itu adalah salah satunya. Bersama kawan-kawan Tentara Australia-nya, Cohen menjalin kontak dengan pemuda pro Republik Indonesia. Ia juga mengusahakan senjata untuk mereka.
Cohen yang aktif itu lalu dimutasi ke Makassar sebelum 13 November 1945. Dia tidak menghadiri peristiwa di Karang Anyar, Balikpapan pada 13 November 1945. Di sana, orang-orang Balikpapan mendeklarasikan diri sebagai bagian dari Indonesia. Belasan tentara Australia jadi saksi, sekaligus kawan pelindung jika NICA Belanda membuat masalah.
Cohen sendiri tak menghilangkan kebiasaan dan kedekatannya dengan Indonesia. Cohen bertemu dengan Dr Ratulangi yang tidak diragukan sikap nasionalismenya pada kemerdekaan Indonesia. Ratulangie yang sudah puluhan tahun melawan pemerintah kolonial dengan jalur cerdasnya di Volksraad, oleh Soekarno diangkat sebagai Gubernur Republik di Sulawsi.
“Seorang prajurit Australia yang masih muda, John Cohen, mengikuti Dr Ratulangie seperti pengikut, dan menghabiskan seluruh waktu luangnya di rumah tangga Ratulangie untuk mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan dan politik Indonesia. Cohen merupakan perantara berguna dalam membawakan suara nasionalisme Indonesia ke Australia, biarpun pada waktu itu suara tersebut dibungkam oleh perwira-perwira senior Australia,” tulis Reid.
Indonesianis Yahudi
Yahudi lain yang heroik untuk masuk dan membantu Indonesia adalah Herbert Feith. Keluarganya harus mengungsi dari Eropa yang mulai dicaplok tentara Jerman di tahun 1939. Di Universitas Melbourne, Feith belajar ilmu politik. Setelah lulus sarjana, dia berangkat ke Indonesia.
Feith pun menjadi pegawai negeri sipil yang mengabdi pada pemerintah Indonesia untuk sementara waktu. Feith melihat betapa rumit dan tidak efektifnya birokrasi pemerintah Indonesia di tahun 1950an.
Ada Yahudi lain selain Feith. Daniel Lev, juga seperti Feith yang juga sarjana yang memiliki ketertarikan dengan Indonesia. Bersama istrinya, Dan, sapaan Daniel Lev, datang dengan kapal Denmark ke Indonesia. Mereka berlayar sekitar 28 hari. Dan mengadakan penelitian lalu kembali lagi ke Amerika. Namun, dia sering mengunjungi Indonesia dan akrab dengan beberapa intelektual Indonesia.
Dan punya perhatian pada masalah hukum dan hak azasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut tokoh hukum dan HAM Indonesia, Adnan Buyung Nasution, Dan ikut serta meletakkan dasar pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Indonesia. Dan sering membagikan ilmunya tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Herbert Feith dan Daniel Lev tentunya berkaca dari George McTurnan Kahin. Kahin, dikenal sebagai begawan ahli Indonesia, yang sering disebut Indonesianis. Kahin pertama kali datang ke Indonesia di tahun 1948. Kahin datang melakukan penelitian untuk merampungkan disertasinya yang berjudul Nationalism and Revolution in Indonesia. Kahin sudah tertarik kepada Indonesia dan Asia Tenggara ketika Perang Dunia II berkecamuk, saat ia hampir diterjunkan ke Indonesia.
Karya Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), adalah referensi penting dalam penelitian sejarah di Indonesia. Kahin sering mengirim tulisan selama berada di Indonesia. Semua sejarawan yang mendalami sejarah Indonesia membacanya. Kahin nampaknya sering dianggap lebih mendukung Indonesia, yang ketika itu bersengketa dengan Belanda.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti