Menuju konten utama

Serangan Bom Tak Rusak Toleransi di Manchester

Bom bunuh diri di Manchester Arena tak mengganggu kerukunan antar etnis dan agama yang sudah terjalin begitu lama.

Serangan Bom Tak Rusak Toleransi di Manchester
Dua perempuan terbungkus selimut thermal berdiri di dekat Manchester Arena, dimana penyanyi Amerika Serikat Ariana Grande tampil, di Manchester, utara Inggris, Inggris, Selasa (23/5). ANTARA FOTO/REUTERS/Andrew Yates

tirto.id - Bagi para penggemar Ariana Grande, Senin malam tanggal 22 Mei 2017 seharusnya menjadi salah satu malam paling indah. Sayangnya, bagi 22 orang, malam itu adalah malam terakhir mereka.

Fauzul Muna, mahasiswa University of Manchester asal Indonesia, sedang berada di rumah saat serangan bom terjadi di lokasi konser Ariana Grande. Manchester Arena, lokasi konser yang diserang, hanya berjarak enam kilometer dari rumahnya. Malam itu, sekitar pukul 23.20 waktu setempat, Muna mendapat kabar tentang serangan dari berita di media massa.

Itu adalah pengalaman kedua Muna berada di kota yang diserang aksi teror. Pengalaman pertama dialaminya ketika menetap dan bekerja di Jakarta. Saat bom dan penembakan terjadi di Sarinah, pusat perbelanjaan di kota Jakarta awal tahun lalu, Muna sedang menjalankan aktivitasnya sebagai wartawan. Beberapa jam pascaserangan di Jakarta, ia merasa tidak tenang dan terus memantau berita untuk mengetahui apa yang terjadi.

Malam itu, setelah membaca berita tentang bom bunuh diri di Manchester Arena, Muna dan teman-teman satu rumahnya tak bisa tidur. Sama seperti yang dilakukannya saat di Jakarta, sepanjang malam, Muna tidak tidur, menunggu kabar terbaru.

Namun, ada perasaan yang dirasakannya berbeda, perasaan yang juga dirasakan teman-teman serumahnya. Mereka takut, serangan teroris itu akan memicu diskriminasi dan kebencian terhadap umat Islam di Manchester, seperti yang terjadi di kota-kota lain di Eropa. Apalagi setelah kepolisian mengumumkan pelaku bom bunuh diri malam itu adalah lelaki 22 tahun beragama Islam dan keturunan Libya. (Baca juga: Sosok Salman Abedi, Pelaku Bom Bunuh Diri Manchaster)

“Aku sama orang-orang serumah sempat khawatir kalau teror ini akan mengganggu toleransi antar-umat beragama, tetapi setelah melihat solidaritas dari segenap warga, aku jadi terenyuh,” kata Muna kepada Tirto, sehari setelah serangan.

Bagi Muna, Manchester adalah kota yang ramah dan hangat. Kota yang dihuni berbagai suku bangsa, etnis, dan agama. Mereka hidup berdampingan. Sebagai penganut Islam dan minoritas, Muna tak pernah merasakan diskriminasi selama delapan bulan ia hidup di kota itu.

Pascaserangan yang membunuh 22 orang termasuk anak-anak berusia delapan tahun itu, warga Manchester bersatu padu demi kemanusiaan, tak mengenal ras, suku, dan agama. Para pengendara mobil, termasuk supir taksi menawarkan tumpangan gratis. Ramai juga yang menawarkan tempat untuk menginap sementara. Di media sosial, solidaritas untuk membantu mencari orang-orang hilang menjadi viral.

Menyaksikan dan merasakan semua itu, Muna benar-benar terharu dan terenyuh. Apalagi ketika dia melihat beberapa postingan warga Manchester di Twitter yang mengajak untuk tidak memicu stereotype kepada kelompok tertentu, terutama Islam.

Selain tingginya solidaritas, sehari setelah pengeboman, Muna menyaksikan masih adanya ketakutan. Teman-teman serumahnya tak berani keluar rumah. Muna menyewa rumah bersama beberapa mahasiswa internasional dari berbagai negara lainnya.

Sekitar pukul 13.00, 23 Mei 2017, ada penangkapan terduga pelaku, tak jauh dari rumah mereka. Suara helikopter yang berputar-putar di langit Manchester terdengar sangat jelas. Tetapi Muna tidak takut. Siang itu, Ia tetap berangkat ke kampus. Ia melihat banyak warga beraktivitas seperti biasa. Kampus dan pusat kota yang dikunjungi Muna tampak ramai. “Tujuan teror itu untuk menebar ketakutan, kalau gue takut juga, berarti mereka berhasil,” kata Muna.

Rabu, 24 Mei, polisi mengumumkan telah menangkap tiga orang lagi di Manchester bagian Selatan. Satu dari tiga orang itu dikenal dengan nama Adel Forjani. Adel dan keluarganya telah tinggal di Manchester selama 15 tahun. Rian Fatah, mahasiswa asal Indonesia yang tengah mengambil gelar doktor di University of Manchester juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan Muna ketika mendengar kabar tentang serangan bom. Dia takut akan ada serangan balik terhadap warga Muslim. Tetapi setelah melihat reaksi warga Manchester yang menurutnya sangat humanis, Rian sedikit lebih lega.

“Saya percaya teror ini tidak akan mengganggu toleransi antar-umat bergama yang sudah terjalin di Manchester," ungkapnya.

Infografik Tunggal Bom di Konser Musik

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) United Kingdom (UK) menyatakan dengan tegas bahwa aksi teror yang merenggut banyak korban dan menebarkan ketakutan tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Pernyataan itu segera disebarkan ke berbagai media massa di Indonesia dan Inggris sehari setelah serangan.

Ketua Tanfidziyah PCINU UK Ahmad Ataka mengingatkan semua pihak untuk tidak langsung mengaitkan terorisme dengan Islam. "Terorisme tidak mengenal agama," katanya.

Menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah pemeluk agama Islam di Manchester terbilang tinggi, menyentuh angka 15 persen. Ia menjadi agama terbesar kedua di Manchester setelah kristen yang porsinya 48,7 persen. Tetapi, jumlah pemeluk agama Islam tak lebih besar dari mereka yang tidak beragama, porsinya mencapai 25 persen.

Dari segi ras, kulit putih menjadi mayoritas penduduk, angkanya menyentuh 66,7 persen. Ras terbesar kedua adalah Asia, 14,4 persen. Selebihnya adalah kulit hitam, campuran, dan Arab.

Bom bunuh diri di Manchester Arena merupakan serangan teror terburuk di Inggris sejak peristiwa bom London pada 7 Juli 2005 yang menewaskan 52 orang.

Baca juga artikel terkait BOM MANCHESTER atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Humaniora
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti