tirto.id - “Pesawate Landha niku namung mubeng-mubeng sisan nembaki saking nduwur, kula sampun ndelik—Pesawat Belanda hanya berputar-putar sembari menembaki dari atas, saya sudah bersembunyi.”
Begitulah kalimat pembuka yang diutarakan Kabul Waluyo (84 tahun), seorang penyintas serangan udara Belanda atas Desa Patuk pada 10 Maret 1949. Kesaksian disampaikan Kabul Waluyo kepada peneliti Nederland Instituut voor Militair Histoire (NIMH) Azarja Harmanny. Wawancara itu merupakan bagian dari penelitian perang asimetrik yang terjadi selama masa Revolusi.
Aksi Militer Belanda pada 19 Desember 1948 berhasil menduduki konsentrasi politik Indonesia di Yogyakarta. Pascaaksi militer tersebut, Indonesia membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Panglima Besar Jenderal Soedirman juga mulai bergerilya bersama pasukan Republik melawan kekuatan Belanda.
Serangan pihak Republik atas Yogyakarta yang mengejutkan pada 1 Maret 1949 membuat Belanda kehilangan wibawa di mata internasional. Keberhasilan pihak Republik menduduki Yogyakarta selama beberapa jam membuat Belanda panik. A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II: Kenangan Masa Gerilya (1983, hlm. 12)menyebutnya sebagai troepen gedemoraliseerd.
Sejak itu, militer Belanda mulai menggunakan siasat technical violence untuk menandingi strategi gerilya yang dilakukan pihak Republik sekaligus untuk menaikan moril prajuritnya di lapangan. Tak ayal, Belanda pun menyusun siasat serangan balasan untuk menggempur balik kekuatan Republik.
Kabar Serangan Umum
Persis setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, Belanda menghimpun informasi intelijen mengenai kekuatan pasukan Republik. Seturut laporan yang disusun Netherland Forces Intelligence Services (NEFIS), Belanda menduga bahwa pasukanJenderal Soedirman masih terkonsentrasi di sekitar Yogyakarta. Namun, NEFIS sendiri seringkali terjebak pada informasi yang keliru.
Seperti dituturkan Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1985, hlm. 344), NEFIS memperkirakan bahwa empatorang Republik memakai satu senjata secara bergantian.
Sementara itu, pihak Indonesia mulai bergerak menyebarluaskan berita keberhasilan Serangan Umum. Tentu demi menaikkan moral para pejuang dan menggaet perhatian dunia.
Boediardjo dalam memoar Siapa Sudi Saya Dongengi(1996, hlm. 58-60), misalnya,mengisahkan bahwa dirinya yang saat itu berpangkat Opsir Udara Kelas II berinisiatif untuk menyebarkan informasi mengenai Serangan Umum melalui radio pemancar milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Melalui radio panggil PC-2 yang ditempatkan di Playen, Gunungkidul, Satuan Perhubungan AURI menyambungsiarkanberita Serangan Umum ke PDRI yang berbasis di Halaban, Bukittinggi. Berita itu lantas diteruskan ke Aceh dan Yangon (Myanmar). Dari Burma, berita itu kemudian tersiar keAll India Radio, New Delhi, dan selanjutnya diteruskan ke Markas PBB di New York.
Arsip Delegasi Indonesia No. 106 yang tersimpan di ANRI menyebut kabar itu kemudian digunakan untuk menguatkan argumentasi Lambertus Nicodemus Palar. Perwakilan Indonesia di PBB itu menyebut aksi mendadak pihak Republik di Yogyakarta merupakan bukti bahwa rakyat Indonesia masih terus berjuang.
Aksi Balas Dendam Berujung Kegagalan
Pagi hari tanggal 10 Maret 1949, Kabul Waluyo berencana pergi ke kebunnya yang terletak di sekitar Landasan Udara Gading. Belum sempat dia melangkahkan kaki, kamitua (pamong desa) memukul kentongan tanda bahaya.
“Ana landha…ana landha—ada Belanda, ada Belanda,” demikian teriaknya memperingatkan warga.
Suara kentongan dan teriakan sang kamitua membuat penduduk desa berhamburan keluar rumah mencari tempat perlindungan. Mereka menghampiri lubang-lubang perlindungan (semacam bungker) yang telah digali semenjak masa Pendudukan Jepang. Itulah sarana perlindungan terbaik yang tersedia saat itu.
Kabul Waluyo mengingat bahwa pesawat-pesawat Belanda melakukan penembakan dan pemboman dari udara dengan sasaran utama Landasan Udara Gading. Sejalan dengan memori Kabul Waluyo, arsip militer Belanda menyebutkan bahwa Koninklijke Lucthmacht (KL—Angkatan Udara Kerajaan Belanda) mengerahkan sedikitnya lima pesawat P40-D Kittyhawk dengan misi melakukan air shelling (penembakan dari udara).
Penembakan ini bertujuan mengonsinyasi wilayah pendaratan bagi pasukan penerjun payung Depot Speciale Troepen (DST) Belanda. Menurut prakiraan NEFIS, Landasan Udara Gading juga disinyalir merupakan basis kekuatan AURI. Namun setelah pendaratan, pasukan Belanda tidak menemukan satu pun pesawat atau personel AURI di sana.
Dalam serangan itu, Belanda mengerahkan sedikitnya 300 pasukan DST serta memobilisasi sekurangnya tiga batalion Angkatan Darat Kerajaan Belanda dari Yogyakarta ke Wonosari. Gelar pasukan yang begitu besar membuat operasi ini merupakan operasi militer terbesar kedua setelah Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.
Bergeser ke Patuk—sekira 3 kilometer dari Landasan Udara Gading, Sugeng (kini 92 tahun) berlari mencari blumbhang (kolam) untuk berlindung. Dia berusaha menghindar dari kejaran pasukan Belanda yang mulai merangsek ke desanya untuk memburu pasukan Republik.
Di desa itu, pasukan Belanda membakar beberapa rumah dan menangkap dua penduduk. Mereka lalu dibawa ke pos tentara di Gading untuk diinterogasi. Suasana mencekam itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut.
Tentara Belanda melakukan patroli secara rutin di sekitar wilayah Sambipitu, Patuk, dan Gading untuk mencari sisa-sisa kekuatan Republik. Seturut pemberitaanKedaulatan Rakyat(22 Maret 1949), asap mengepul di sekitar Wonosari yang mengindikasikan adanya pertempuran di sana.
Dalam Beyond The Pale: Dutch Extreme Violence in the Indonesian War of Independence 1945-1949 (2022), Harmanny menggambarkan bahwa siasat yang dilakukan Belanda di Yogyakarta itu merupakan bentuk keputusasaan di pengujung usahanya mengembalikan hegemoni di Indonesia.
Masih menurut Harmanny, penggempuran kekuatan Republik dengan penggunaan artileri dan pesawat udara itu memang lebih destruktif dibandingkan kekuatan infanteri. Namun, sasarannya secara objektif menjadi tak terkontrol karena bisa menyasar nonkombatan seperti rakyat sipil. Hal ini jelas menjadi catatan serius yang menyudutkan Belanda di mata internasional. Terlebih, Indonesia kini juga melakukan manuver diplomasi yang masif.
Belanda menilai penerjunan pasukan besar-besaran pada 10 Maret 1949 itu efektif menggulung sisa-sisa kekuatan Republik. Misi utama Belanda melancarkan serangan ke Patuk dan Wonosari adalah menangkap Jenderal Soedirman beserta petinggi TNI dan menghancurkan radio pemancar PHB AURI di Playen. Namun, kedua misi ini nyatanya tidak berjalan sama sekali.
Pasalnya, Jenderal Soedirman ternyata sudah tidak ada di sekitar Wonosari dan radio PC-2 pun tidak ditemukan. T.B. Simatupang dalam Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan (hlm. 56) menyebut bahwa Jenderal Soedirman sudah bergeser ke Wonogiri beberapa hari sebelumnya. Pada akhirnya, siasat Belanda itu berujung pada kegagalan.
Penulis: Bambang Widyonarko
Editor: Fadrik Aziz Firdausi