tirto.id - Tanggal 26 Mei lalu barangkali jadi hari yang paling membahagiakan bagi Muhammad Quraish Shihab di tahun 2018. Hari itu, tim sepakbola kesayangannya, Real Madrid dari Spanyol, berhasil menjuarai Liga Champions Eropa tiga kali berturut-turut.
Quraish memang penggila bola sejak muda. Ketika bersekolah di Kairo, Mesir pada pertengahan 1950-an, seperti dituturkannya kepada majalah Tempo (6/7/2015), ia membentuk klub sepakbola bersama rekan-rekan seasramanya. Klub itu diberi nama Bu’uts.
Ia sendiri tak tahu dari mana hobi bal-balan itu berasal, sebab ayahnya tak punya hobi bermain bola. Tapi yang pasti, sejak sekolah di Mesir, kegilaannya pada sepakbola kian menjadi-jadi. Bahkan Quraish muda sempat terdaftar di tim junior Zamalek, salah satu klub sepakbola terbesar di negeri Firaun itu. Saat ini, Zamalek adalah rival terbesar Al-Ahly di divisi utama Liga Mesir.
Salah satu kenangan paling berkesan bagi Quraish adalah kedatangan Real Madrid ke Kairo pada akhir 1950-an. Real saat itu diperkuat dua mahabintang: Ferenc Puskas dari Hongaria dan pemain terbaik dunia 1957 dan 1959 Alfredo Di Stefano. Nama kedua adalah pemain idola Quraish sepanjang masa. Bahkan hingga kini, di tengah kesibukannya menulis dan berceramah, Quraish selalu menyempatkan menonton tiap kali Real Madrid bertanding.
Sepakbola adalah salah satu passion dalam hidup Quraish. Gairah lainnya, dan yang terbesar, tentu saja tafsir Alquran.
Penafsir Alquran yang Cemerlang
Quraish memang penafsir Alquran yang cemerlang. Namanya dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang memiliki rekam jejak luar biasa dan diakui sebagai ahli ilmu tafsir di dalam dan luar negeri.
Ia dilahirkan pada 16 Februari 1944 di Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Ayahnya, Abdurrahman Shihab, juga ulama dan guru besar di bidang tafsir. Secara garis keturunan, keluarga ini lazim disebut “habaib” atau “ahlul bayt”. Orang-orang dengan sebutan ini adalah mereka yang punya pertalian darah dengan Nabi Muhammad dan dipandang memiliki posisi istimewa dalam tradisi Islam Indonesia.
Tapi tak sedikit keturunan Nabi malah enggan dipandang dengan atribut keistimewaan demikian. Bahkan ada yang memilih untuk menanggalkan gelar “habib” karena merasa tidak begitu berhak.
"Bahkan sampai sekarang sebenarnya ada orang-orang yang punya garis keturunan dari Nabi, punya pengabdian yang besar, tidak dikenal sebagai sayid," kata Quraish Shihab kepada Tirto, tahun lalu (20/1/2017).
Dibesarkan oleh keluarga yang terpandang tidak membuat Quraish serta-merta mendapat keistimewaan-keistimewaan. Sejak kecil, Quraish diwanti-wanti sang ayah untuk jangan sekali-kali mengandalkan garis keturunan.
"Tidak perlu memperkenalkan diri sebagai sayid atau sebagai habib," tuturnya.
Itulah yang kemudian membuat Quraish sejak kecil selalu berusaha menunjukkan diri bahwa ia bisa seperti sekarang bukan karena keistimewaan garis keturunannya, melainkan karena kerja keras, perilaku sehari-hari, dan pemikiran-pemikirannya yang mencerahkan dan meneduhkan.
Apa yang dicapai Quraish memang mencerminkan nasihat ayahnya itu. Quraish menjalani studi dengan serius dan menjadi akademisi yang ahli di bidangnya lewat ketekunan dan kerja keras.
Pada 1969, setelah 11 tahun belajar di Mesir, ia berhasil memperoleh gelar master dalam bidang tafsir Alquran dari Universitas Al-Azhar dengan tesis berjudul “Al-I'jaz Tashri'i li Al-Qur-an Al-Karim”. Pulang ke Indonesia, ia langsung mengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang (sekarang Makassar) dan menjadi wakil rektor kampus itu tak lama kemudian.
Sepuluh tahun menjadi dosen, Quraish lalu mendapat kesempatan melanjutkan studi tingkat doktoral. Ia pun kembali lagi ke almamaternya pada 1980. Hanya perlu waktu dua tahun baginya untuk menyelesaikan level strata tiga. Pada 1982, Quraish berhasil mempertahankan disertasi dalam bidang ilmu Aquran. Disertasinya mengambil tema tentang metode penafsiran yang digunakan al-Biqa’i, ilmuwan asal Damaskus sekaligus penafsir Alquran dari abad ke-15, di bawah judul “Naẓami Al-Durar li al-Biqā'iy - tahqīq wa Dirāsah”.
Kembali lagi ke Indonesia, ia lalu mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1984. Di kampus inilah Quraish mulai diperhitungkan sebagai cendekiawan Muslim dan ahli tafsir Alquran. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai guru besar ilmu tafsir di perguruan tinggi tersebut.
Pemikiran-pemikiran cemerlang Quraish banyak dituangkan lewat tulisan yang tersebar di berbagai media massa dan buku-buku. Hingga saat ini, Quraish sudah menerbitkan lebih dari 30 judul buku.
Tafsir al-Mishbah
Magnum opus-nya tentu saja adalah Tafsir al-Mishbah—sebuah mahakarya yang barangkali tak ada bandingannya dalam khazanah tafsir Alquran di Indonesia. Dalam buku yang terdiri atas 15 jilid ini, Quraish seperti mengerahkan seluruh keahliannya untuk menyusun tafsir yang “otoritatif” dalam bahasa Indonesia.
Latar belakang keilmuannya memang sangat mendukung Quraish untuk menyusun tafsir ini. Kekuatan Tafsir al-Mishbah terletak pada bagaimana Quraish tidak hanya menggabungkan disiplin metodologi dan pendekatan asbabun nuzul (sebab turun ayat), tapi juga penguasaan mendalam atas ilmu-ilmu bantu yang harus dimiliki seorang mufasir dan kegandrungannya akan kontekstualisasi. Di tangan Quraish, tafsir ayat-ayat Alquran selalu berdimensi zaman ini.
Di sisi lain, Quraish juga tetap membuka kemungkinan bahwa sehebat apapun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai umat manusia zaman ini, ia sesungguhnya terbatas di hadapan Allah. Tafsirannya terhadap surat ar-Rahman ayat 33-34 bisa dijadikan patokan.
Ayat tersebut menyatakan:
“Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.”
Ayat ini sering digunakan beberapa orang sebagai bukti isyarat ilmiah Alquran tentang kemampuan manusia menembus luar angkasa. Kata “kekuatan” sering ditafsirkan sebagai “ilmu pengetahuan”. Bagi Quraish, pendapat tersebut tidaklah tepat (vol.13, hlm. 307).
Kesuksesan umat manusia menjelajahi luar angkasa masih sangat terbatas dibandingkan dengan besarnya alam raya. Itu juga memerlukan upaya lain yang luar biasa di bidang teknik, astronomi, matematika, geografi, dan sebagainya. “Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa upaya menembus langit dan bumi yang berjarak jutaan tahun cahaya itu mustahil dapat dilakukan oleh jin dan manusia,” tegasnya.
Menurut Quraish, perintah “tembuslah” dari Allah di ayat itu bukan perintah untuk dilaksanakan, tapi perintah yang menunjukkan ketidakmampuan memenuhinya (vol. 13, hlm. 309).
Dengan jalan demikian, sesungguhnya Quraish sedang menunjukkan bahwa tafsirnya bukan interpretasi yang absolut. Ia bisa salah.
Dalam wawancara dengan Tirto, ia berujar, "Seorang yang berkata 'saya tidak tahu' itu lebih cerdas daripada orang yang berkata 'saya tahu' padahal dia tidak tahu.”
Kerendahan hati itulah yang membuatnya sangat menyadari kemungkinan Tafsir al-Misbah sudah tidak lagi relevan atau bahkan memuat banyak kesalahan. Quraish Shihab menganggap setiap tafsir terikat dengan zamannya karena semua tafsir atau studi tentang Alquran memang harus bisa menjawab problematika masa kini.
====================
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Windu Jusuf