tirto.id - Dua lelaki tua. Sama-sama memakai peci hitam. Sama-sama memakai batik. Sama-sama berkaca mata. Mereka berjalan bergandengan ke atas panggung. Di sana telah menunggu Najwa Shihab, pembawa acara 'Mata Najwa', yang lantas menyambut dan memperkenalkan mereka kepada khalayak yang hadir dalam rekaman program tersebut untuk edisi Ramadan.
”Saudara-saudara sekalian, mari kita sambut Abi dan Abah kita semua, Abi Quraish Shihab dan Abah Mustofa Bisri,” kata Najwa, disambut tepuk tangan penonton.
KH. Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus dan Prof. M. Quraish Shihab telah bersahabat selama lima puluh tahun. Malam itu keduanya menceritakan kisah persahabatan sebagai dua orang manusia dari Rembang, Jawa Tengah, dan dari Rappang, Sulawesi Selatan. Keduanya memaparkan pandangan-pandangan sebagai ulama tentang Islam dan keindonesiaan.
“Perjumpaan pertama (dengan Gus Mus) lima puluh tahun lalu di bawah lindungan Al-Azhar,” kata Quraish kepada Najwa, putrinya.
“Apa benar begitu, Gus?” tanya Najwa.
“Ya, berbeda dengan Abimu yang di sana mencari ilmu. Saya di Al-Azhar mencari kawan,” jawab Gus Mus.
Sebagai sahabat, Gus Mus biasa memanggil "Om" kepada Quraish yang lebih tua secara usia dan lebih mapan secara keilmuan. "Om" Quraish juga lebih digandrungi banyak wanita semasa kuliah di Al-Azhar, canda Gus Mus. Sebaliknya, Quraish biasa memanggil "Akhi" kepada Gus Mus.
“Gus Mus ini tidak suka dipanggil "Om",” kata Quraish.
Persahabatan, bagi keduanya, memiliki makna yang dalam. Bagi Gus Mus, persahabatan mereka adalah upaya untuk memanusiakan satu sama lain. Sedangkan bagi Quraish, sahabat adalah perwujudan atas diri sendiri kepada orang lain.
“Kami bersahabat, tapi saling menjaga. Kalau saya gembira, Gus Mus ikut gembira. Kalau saya gundah, Gus Mus ikut gundah,” kata Quraish.
Hubungan persahabatan model beginilah yang membuat keduanya tetap akrab meski seringkali mempunyai perbedaan-perbedaan pandangan. Quraish sangat mempertimbangkan pendapat Gus Mus tentang suatu hal, begitupun sebaliknya.
Sama-Sama Menggemari Sepakbola
Gus Mus sudah hampir mencetak gol saat Quraish melakukan tekel ke kaki sahabatnya itu sampai terjungkal. Gus Mus gagal mencetak gol, dan gawang tim Quraish selamat.
Begitulah kenangan Quraish Shihab tentang kegemaran keduanya dalam bermain sepakbola. “Dia jago, tapi sering saya gagalkan mencetak gol,” kata Quraish yang lebih sering menjadi penjaga gawang, tidak seperti Gus Mus yang lebih sering menjadi penyerang.
Mungkin sedikit yang tahu bila kedua tokoh ini menggemari sepakbola. Begitupun keduanya adalah Madridtista atau fans klub Spanyol, Real Madrid. Terlebih tentang klub bola bernama Bu’uts yang dibentuk keduanya semasa mahasiswa di Al-Azhar, salah satu pusat utama pendidikan sastra Arab dan pengkajian Islam Sunni di dunia.
Kepada Najwa, keduanya bersemangat menjelaskan perihal sepakbola secara filosofis. Gus Mus menilai olahraga yang paling digemari sejagat itu ialah perwujudan kehidupan yang main-main atau laibun wa lahwun dalam bahasa Alquran.
“Coba Anda lihat orang di sepakbola. Itu, kan, aneh. Kenapa bolanya hanya satu? Habis ditendang ke luar, lalu dimasukkan lagi. Di tendang ke luar lagi, dimasukkan lagi," kata Gus Mus.
"Itu sama halnya dengan hidup. Kita mengejar sesuatu, memperebutkan sesuatu dalam sebuah permainan. Jadi, jangan serius-serius dalam hidup,” katanya.
Sementara menurut Quraish, sepakbola adalah tuntunan dalam mencapai tujuan kehidupan. Menurutnya, antar satu manusia dan manusia lain mesti saling bekerjasama dan berusaha bersama-sama, seperti halnya sebelas pemain dalam satu klub bola yang berusaha mencetak gol ke gawang lawan.
“Tidak selalu yang mencetak gol yang hebat, tapi yang mengoper bola,” kata Qurasih.
Sepakbola mengajarkan manusia untuk siap menerima kekalahan dalam kehidupan, bersabar, dan bersemangat, tambah Quraish. “Tidak ada yang dicurangi dalam sepakbola.”
“Ah, itu, kan menurut dia. Menurut saya, ya, hidup itu main-main,” sela Gus Mus, disambut derai tawa penonton.
Islam dan Keindonesiaan
Sebagai dua ulama kharismatik yang dikenal memiliki pandangan-pandangan moderat dalam beragama, keduanya menyoroti kondisi politik nasional saat ini.
Bagi keduanya, menguatnya sentimen keagamaan dan munculnya paham Islam garis keras tak lepas dari adanya ulama yang merasa paling benar dan pola dakwah yang memaksa.
“Sekarang ini banyak ulama yang hanya membaca Alquran terjemahannya Depag, lalu berfatwa. Ya, kacau. Lalu, diminta kembali ke Alquran. Tapi, yang dimaksud kembali ke Alquran itu ke terjemahannya Depag. Padahal, kembali ke AlQuran itu ya mengaji lagi,” kata Gus Mus.
Gus Mus setuju atas pendapat Quraish Shihab bahwa Alquran tidak dapat diterjemahkan, melainkan ditafsirkan. Ia mencontohkan kalimat "Zaid berdiri." Menurutnya, dalam bahasa Arab, kalimat itu bisa memiliki tujuh bentuk yang berbeda.
“Itu baru bahasa. Belum sisi-sisi kesusasteraan dalam Alquran,” kata Gus Mus.
Adapun dalam pandangan Quraish, pertentangan-pertentangan dan sentimen keagamaan di Indonesia karena tidak ada toleransi dari pihak atau kelompok yang memaksakan tafsir agama versi mereka sebagai yang paling benar. Padahal Alquran seperti berlian yang dari setiap sudutnya memantulkan cahaya dalam bentuk berbeda.
“Sekarang kita dalam memahami kitab suci atau agama hanya menganggap satu yang benar. Padahal Tuhan tidak bertanya lima tambah lima berapa, karena jawabannya hanya satu: sepuluh. Tetapi, bertanya sepuluh itu berapa tambah berapa. Bisa tujuh tambah tiga, delapan tambah dua. Ini yang mestinya ketika kita hayati, kita ajarkan, supaya tidak timbul perpecahan. Jadi, jangan anggap hanya ini yang benar,” katanya.
Perihal terma moderat dalam Islam, Gus Mus menyatakan yang dimaksud moderat adalah mampu bersikap adil. Tidak melihat segala sesuatu dari sudut pandang dirinya sendiri.
“Islam itu sudah pasti moderat. Kalau tidak moderat, berarti bukan Islam. Kalau ada Islam moderat, terus yang lain apa lagi?” Kata Gus Mus.
Gus Mus menyoroti perihal Pilkada DKI Jakarta. Menurutnya, Pilkada DKI Jakarta hanyalah perkara yang dibesar-besarkan saja. Terlebih dengan adanya kelompok yang menggunakan terma "jihad" dan mengucapkan "Allahu Akbar" untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Menurutnya, kepentingan Jakarta terlalu kecil untuk sampai mengatasnamakan agama dan Allah dalam kontestasi Pilkada.
Sebagai seorang yang pernah menjadi duta besar dan pernah menjadi mahasiswa di Mesir, Quraish Shihab berkata kondisi keagamaan di Indonesia kini menuju ke arah konservatisme, sama dengan Mesir yang kian hari kian memburuk. Namun, menurutnya, kondisi tersebut masih bisa diatasi dengan mengedepankan toleransi.
“Ya, kondisi di Arab sana, terutama di Mesir, semakin memprihatinkan. Kekacauan di mana-mana. Itu karena tidak ada toleransi. Sehingga antara satu dan yang lain saling merasa paling benar dan terjadilah kekacauan,” katanya.
Baca wawancara Tirto dengan Quraish Shihab mengenai—di antara hal lain—fatwa ulama yang tidak mengikat dan absennya sikap rendah hati di kalangan terpelajar.Mengenai pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan adanya paham intoleran di Indonesia, meski tidak secara eksplisit, Quraish menyatakan untuk dapat tetap menjaga Indonesia dari perpecahan akibat ideologi-ideologi yang intoleran, yang bisa dilakukan dengan apa pun, termasuk melalui pemerintah yang melarang organisasi yang menyebarkan ideologi tersebut.
“Pelarangan melalui pemerintah itu hanya salah satu cara. Tapi yang terpenting adalah rasa toleransi dan kebersamaan. Itu yang harus ada,” katanya.
Pendapat yang sama disampaikan Gus Mus. Ia menyatakan keberadaan ideologi-ideologi semacam itu bukan sesuatu yang mesti dirisaukan asal masih sebatas hujjah atau pendapat.
“Kalau perdebatannya dalam hujjah itu sah saja. Mereka boleh mempertahankan pendapatnya. Karena kebebasan berserikat dan berpendapat memang diatur dalam undang-undang. Tapi, kalau berhujjahnya sambil melempari rumah kita, ya harus dilawan,” kata Gus Mus.
Mantan Rais Am (dewan penasihat) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi muslim terbesar di Indonesia, ini pun menyatakan bila mencintai Indonesia adalah kewajiban. Karena, menurutnya, Indonesia adalah rumah bersama.
“Kalau ada orang tidak mencintai tanah airnya itu orang sakit namanya,” kata Gus Mus.
“Mencintai tanah air adalah nurani. Seperti ibu yang mencintai anaknya. Makanya tanah air kita dinamai Ibu Pertiwi,” tutur Quraish Shihab.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Fahri Salam