Menuju konten utama

Senjakala Matahari Putra Prima

Dalam waktu 2 minggu, Moody's 2 kali menurunkan peringkat utang Matahari Putra Prima.

Senjakala Matahari Putra Prima
Suasana pusat perbelanjaan Hypermart. FOTO ANTARA/Ida Nurcahyani

tirto.id - Sempat sangat agresif melebarkan sayap bisnis, kini PT Matahari Putra Prima Tbk mengalami kemerosotan kinerja yang tajam. Bukan hanya merugi, perusahaan ini juga berpotensi tak mampu membayar sederet kewajibannya. Alarm kuning pun langsung menyala bagi para investor dan kreditur anak usaha PT Multipolar Tbk ini.

Dalam selang waktu hanya sekitar dua minggu, Moody’s Investor Service memangkas peringkat utang PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) sebanyak dua kali. Pada 20 Maret lalu, lembaga pemeringkat ini menurunkan peringkat utang perusahaan di grup Lippo ini dari B1 ke B2. Kemudian, pada 5 April, Moody’s kembali memangkas peringkat MPPA menjadi B3.

“Penurunan peringkat ini mencerminkan tingginya risiko likuiditas dan berkurangnya fleksibilitas keuangan MPPA,” ujar Maisam Harnain, analis utama Moody’s untuk MPPA, dalam siaran pers tertanggal 5 April 2018.

Peringkat MPPA bahkan bisa melorot lagi dalam waktu dekat. Sebab, Moody’s menyebut prospek (outlook) peringkat pemilik jaringan ritel Hypermarket ini negatif. Itu berarti, segala jenis utang MPPA akan masuk kriteria berkualitas jelek dengan risiko sangat tinggi.

Risiko Gagal Bayar

Bukan mustahil pula, Matahari Putra Prima akan mengalami gagal bayar. Sebab, per akhir Desember 2017, MPPA hanya memiliki kas dan setara kas Rp373 miliar. Sementara, liabilitas MPPA yang akan jatuh tempo di tahun ini mencapai Rp3,88 triliun. Sebagian besar merupakan utang bank dan utang usaha, masing-masing Rp1,49 triliun dan Rp1,41 triliun.

Jika MPPA gagal melobi perpanjangan tenor utang, kondisi keuangannya akan semakin berat. Saat ini, yang paling krusial adalah utang modal kerja Rp195 miliar dari Bank HSBC Indonesia yang akan jatuh tempo pada akhir Mei 2018.

Yang agak melegakan, MPPA sudah berhasil mendapatkan waiver atawa kelonggaran dalam pembayaran utang dari hampir semua kreditur. Tinggal satu bank belum setuju memberikan waiver. Merujuk laporan keuangannya, ada enam bank memberi fasilitas kredit bagi MPPA.

Berdasarkan pengalaman, Moody’s berharap, MPPA akan berhasil mendapatkan penjadwalan ulang kredit dan waiver sebelum rilis kinerja kuartal I-2018. Januari lalu, misalnya, MPPA berhasil memperpanjang tenor fasilitas pinjaman senilai Rp 300 miliar dari Bank of China (Hong Kong) Ltd selama setahun, atau menjadi Januari 2019. Namun, apabila upaya mendapat waiver dan jadwal ulang utang gagal, isi dompet MPPA akan semakin mengenaskan.

Untuk menambah likuiditas, MPPA akan menerbitkan hak membeli saham baru (rights issue) senilai Rp802 miliar, Juni nanti. Penerbitan saham baru sejatinya rencana lama yang telah tertunda dua kali. Awalnya, MPPA menjadwalkan rights issue berlangsung tahun lalu, lalu mundur ke April 2018. Rencana ini kembali ditunda karena MPPA akan memakai laporan keuangan 2017.

Jika sampai molor lagi, Moody’s tak akan segan membabat lagi peringkat kredit MPPA. Sebab, tanpa hasil rights issue, MPPA akan terpaksa mencari utang lebih besar. Akibatnya, pada akhir 2018, utang MPPA akan mencapai tujuh hingga delapan kali laba sebelum pembayaran bunga, pajak, hitungan depresiasi, dan amortisasi atau EBITDA. “Rasio utang sebesar ini tidak bisa lagi menyokong peringkat B3,” jelas Hasnain.

Sekalipun berhasil meraup dana dari penerbitan saham baru, MPPA belum tentu lolos dari lubang jarum. Di atas kertas, hasil rights issue tidak akan cukup untuk mendanai kegiatan operasional dan belanja modal, serta membayar utang jatuh tempo.

Tutup Toko dan Telat Bayar Pemasok

Kegiatan operasional dari berbagai lini usaha pun belum bisa diandalkan untuk menghasilkan kas. Selama tiga tahun terakhir, kinerja keuangan Matahari Putra Prima terus merosot. Sepanjang tahun lalu, MPPA mencatat rugi usaha, Rp1,56 triliun dan rugi tahun berjalan Rp1,24 triliun. Pencapaian tersebut masing-masing turun 980,68% dan 3.331,3% dibandingkan posisi akhir 2016. Saat itu, MPPA masih mencatatkan laba usaha Rp177,04 miliar dan laba tahun berjalan Rp38,48 miliar. Kinerja 2016 ini sejatinya juga lebih buruk dibandingkan 2015. Laba usaha dan laba tahun berjalan masing-masing turun 42,4% dan 82,65%, dari Rp 307,37 miliar dan Rp 221,74 miliar.

Hasnain meramalkan, tahun ini, MPPA masih akan merugi.

Padahal, manajemen MPPA sempat begitu percaya diri dengan usahanya. Pada 2012, MPPA – yang berdiri sejak 1986 – melakukan divestasi aset-aset non-inti, termasuk Matahari Department Store. Sejak itu, MPPA fokus menjadi perusahaan ritel multiformat, dari hipermarket, grosir, hingga gerai khusus. Hingga akhir 2017, MPPA beroperasi di lebih dari 70 kota di Indonesia dan memiliki 113 gerai Hypermart, 102 gerai Boston Health & Beauty, 25 gerai Foodmart, 15 gerai FMX, dan empat gerai SmartClub wholesale.

Sekitar tiga – empat tahun silam, MPPA memang sangat agresif membuka cabang baru Hypermart, terutama di daerah di luar Pulau Jawa. Namun, iklim usaha berubah cepat, membuat bisnis MPPA turun drastis. “Harus diakui, ada shifting (pergeseran) ke belanja online di masyarakat, terutama yang di Jawa,” kata Fernando Repi, Kepala Divisi Komunikasi Perusahaan MPPA, ketika dihubungi lewat telepon, Rabu (11/4).

Meski agresif membuka gerai di luar Jawa, lanjut Fernando, kontribusi terbesar penjualan MPPA masih terkonsentrasi di pulau terpadat penduduknya ini, yakni sekitar 60%. Di pulau ini pula, tren berbelanja daring tumbuh subur.

Sepanjang tahun lalu, jumlah toko MPPA berkurang 40 lokasi, dari 299 toko pada akhir 2016 menjadi hanya 259 toko. Padahal, tahun lalu, MPPA sebenarnya menargetkan membuka 11 gerai baru Hypermart, tujuh gerai Foodmart, empat gerai SmartClub, 20 gerai Boston, dan 15 gerai FMX.

Tak cuma merugi, MPPA terjerat utang jumbo. Dalam setahun, utang bank jangka pendeknya membengkak jadi 10,6 kali lipat, atau tumbuh 90,6%. Sebab, akhir 2016, MPPA hanya punya utang bank jangka pendek sebesar Rp140 miliar.

Di sisi lain, utang usahanya memang turun 64,24% dari Rp2,32 triliun di 2016. Namun, angka Rp1,41 triliun tetaplah berat jika melihat kondisi kas MPPA saat ini. Hingga akhir 2017, arus kas bersih dari kegiatan operasional MPPA sudah minus Rp142,53 miliar. Adapun, fasilitas kredit yang belum ditarik, tidak sampai Rp500 miliar. Padahal, utang usaha itu jatuh tempo dalam tiga bulan. Entah bagaimana MPPA akan membayar tunggakan kepada para pemasok ini.

Yang jelas, sejak tahun lalu, pembayaran tagihan MPPA ke para pemasok sudah mulai seret. Selain itu, para pemasok mengeluhkan potongan yang tak ada dalam kesepakatan. Agustus lalu, ketua 11 asosiasi yang mewakili para pemasok Hypermart, dimediasi Kementerian Perdagangan (Kemendag), bernegosiasi dengan MPPA.

Infografik Matahari kian meredup

Tiga Kejanggalan Langkah Bisnis

Tidak bisa dimungkiri, pertumbuhan ekonomi yang melambat dalam beberapa tahun terakhir ikut menekan kinerja peritel. Ada kecenderungan, masyarakat mengerem konsumsi. “Semua (perusahaan ritel), kan, turun (kinerjanya), bukan hanya MPPA,” kilah Fernando.

Namun, apabila menguliti detail laporan keuangan MPPA, setidaknya terdapat tiga kejanggalan MPPA dalam menjalankan bisnisnya. Pertama, margin laba kotor kelewat tipis. Hanya 8%!

Margin laba kotor adalah persentase laba kotor terhadap penjualan. Adapun, laba kotor berasal dari penjualan dikurangi beban pokok penjualan. Untuk sampai ke laba bersih, laba kotor masih harus dikurangi berbagai biaya, seperti biaya administrasi, promosi, gaji pegawai, dan seterusnya.

Tidak ada perusahaan ritel lain yang mematok laba kotor satu digit. PT Hero Supermarket Tbk (HERO) – yang portofolio bisnisnya paling mendekati MPPA – mematok margin kotor 26,4%. Margin laba kotor perusahaan ritel kebutuhan sehari-hari lainnya, seperti PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI), berkisar 20%-25%. Kalaupun perusahaan-perusahaan ini juga merugi atau turun kinerjanya, penyebabnya adalah biaya-biaya yang menggerus laba kotor.

Logika bodohnya, untuk apa bersusah payah mengurus dan membangun usaha bila sejak awal sudah dipastikan tidak bisa menutup biaya lain-lain? Sekelas pedagang di pasar pun tidak akan mau.

Kedua, kas seret dan utang menggunung tak menyurutkan ambisi MPPA untuk membuka gerai baru. Menjelang tutup tahun 2017, perusahaan ini menyetor uang muka sewa sekitar Rp10,5 miliar kepada PT Papetra Perkasa Utama untuk menyewa tempat seluas 7.300 m2 di Manado selama 11 tahun. MPPA juga telah membayar uang muka dan jaminan sewa 10 tahun di beberapa lokasi sebesar Rp 22,8 miliar. Yang menarik, MPPA membayar uang muka dan jaminan sewa kepada lebih dari 10 pihak terafiliasi senilai Rp 41 miliar.

Mendapatkan lokasi strategis memang penting. Tapi, memesan banyak lokasi baru saat keuangan perusahaan morat-marit, tentu cukup mengherankan.

Ketiga, MPPA juga terus menyuntikkan dana segar ke PT Global Ecommerce Indonesia. Nilainya bahkan makin besar. Dalam tiga tahun terakhir, berturut-turut Rp31,75 miliar, Rp189,76 miliar, dan Rp310,94 miliar.

Global Ecommerce adalah pengelola MatahariMall.com, platform e-commerce yang mewadahi MatahariStore.com. Saat peluncurannya pada September 2015, Grup Lippo menggadang proyek ini sebagai Alibaba-nya Indonesia. Selain MPPA, saudarinya, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), juga telah menyuntikkan dana Rp769,8 miliar dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, Global Ecommerce sukses mengantongi $100 juta dari Mitsui & Co.

Awalnya, e-commerce ini menjual busana, barang elektronik, kebutuhan sehari-hari, hingga produk gaya hidup. Pokoknya, semua produk yang tadinya dijual di gerai fisik milik Grup Lippo, seperti Matahari Department Store, Hypermart, dan Book & Beyond. Namun, entah sejak kapan, platform ini kini hanya menjual dagangan Matahari Dept. Store. Lantas, apa faedahnya bagi MPPA sehingga harus terus menyuntikkan dana?

Beberapa "keanehan" tersebut mau tak mau menimbulkan pertanyaan, apakah bisnis MPPA tengah memasuki senjakala atau memang ada rencana lain dari Grup Lippo di balik angka performa di atas kertas itu.

Sayang, hingga tulisan ini diturunkan, Fernando tidak memberikan penjelasan lebih jauh. Saat kontak lewat telepon, ia sempat menawarkan wawancara temu muka. Namun, pada hari-H, ia membatalkan janji ini dengan alasan ada panggilan mendadak dari Kemendag. Janji untuk membalas sejumlah pertanyaan tertulis pun akhirnya tidak dipenuhi.

Nasib Buruk Temasek dan Investor Ritel

Yang jelas, harga saham MPPA terus merosot. Sepanjang tahun ini, harga saham MPPA telah terdiskon 17,2% menjadi Rp352 per saham (26/4). Dibandingkan rekor harga tertingginya, Rp4.470 pada 20 Februari 2015, harga saham MPPA sudah terjun bebas 92,1%.

Sejak PT Multipolar Tbk (MLPL), induk usaha MPPA, menyepakati perjanjian pembelian hak yang bisa ditukar dengan saham MPPA dengan Temasek Holdings (Private) Limited, harga saham MPPA memang sempat menanjak. Exchangeable rights subscription agreement (ERSA) ini sebenarnya diteken 31 Januari 2013. Namun, kabarnya baru diketahui publik pada 4 Februari tahun yang sama.

Dalam perjanjian itu, Prime Star Investment Pte. Ltd., anak usaha Multipolar, menerbitkan hak atau exchangeable rights (ER) senilai $300 juta, yang dapat ditukarkan dengan 26,1% atau 1.402.947.000 saham MPPA. Penukaran saham bisa dilakukan pada tahun keempat atau ketika Prima Star telah berhasil mengumpulkan saham tersebut lewat pembelian saham milik publik. Hak ini bisa diperpanjang hingga tahun kelima.

Anderson Investment Pte. Ltd., anak usaha Temasek, membeli hak itu dan langsung menyerahkan duit $300 juta ke Prime Star pada 18 Februari 2013. Prime Star akhirnya berhasil mengumpulkan seluruh saham untuk ER pada 28 Mei 2013 dengan modal Rp2.840,9 miliar atau rata-rata Rp2.024,95 per saham.

Harga saham MPPA melejit lantaran, dengan kurs saat itu, Anderson menghargai MPPA, Rp2.050 per saham. Berarti, lebih tinggi 68% dari nilai pasar MPPA saat itu, yang baru Rp 1.220 per saham.

Ketika itu, dengan histori pertumbuhan ekonomi di atas 6%, ada harapan besar kinerja perusahaan ritel akan melejit. Apalagi, MPPA agresif mengembangkan sayap bisnis. Sayang, kondisi berbalik. Tiga tahun terakhir, kinerja MPPA justru terjerembab, sehingga menyeret jatuh harga sahamnya.

Seharusnya, tahun ini menjadi tahun terakhir bagi Anderson untuk mengklaim haknya sebagai pemilik 26,1% MPPA. Tapi, jika mengeksekusi sekarang pada harga Rp352 per saham, Temasek akan merealisasikan kerugian 82,8% dari modalnya. Dengan menghitung kurs yang juga melemah 44,9%, kerugiannya bahkan mencapai 88,2%.

Tak hanya Temasek, investor yang dulu membeli pada harga tinggi pun kini gigit jari lantaran harga saham MPPA terpuruk dan belum ada tanda-tanda bangkit.

Temasek tentu ogah rugi besar. Karena itu, tangan investasi pemerintah Singapura ini membuat perjanjian baru dengan Multipolar pada 2 Februari lalu. Isinya, konversi exchangeable rights menjadi saham MPPA bisa dilakukan sampai 31 Januari 2021.

Apakah saat itu harga saham MPPA akan berlari lagi?

Baca juga artikel terkait LIPPO GRUP atau tulisan lainnya dari Asih Kirana Wardani

tirto.id - Bisnis
Reporter: Asih Kirana Wardani
Penulis: Asih Kirana Wardani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti