tirto.id - Pandemi COVID-19 di Indonesia sebentar lagi berusia sembilan bulan, tapi problem mendasar seperti sinkronisasi data masih belum tertangani. Hal ini misalnya terjadi di Jawa Tengah.
Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19, pada 25 November lalu terdapat 50.321 kasus kumulatif di provinsi yang dipimpin Ganjar Pranowo ini. Jumlahnya berbeda dengan yang terdapat di laman corona.jatengprov.go.id, 50.793 kasus. Ada selisih 472 kasus antara data pusat dan provinsi.
Perbedaan itu jauh lebih besar jika data masing-masing kabupaten/kota di Jateng yang terdapat di laman resmi pemprov diakumulasi. Totalnya mencapai 51.078. Terdapat selisih 285 kasus dengan data pemprov, dan 757 dibanding data pusat.
Perbedaan itu terus terjadi dalam kurun waktu dua pekan. Pada 12 November, terdapat 39.788 kasus kumulatif berdasarkan data satgas, sementara menurut provinsi 41.315. Ada selisih 1.527 kasus.
Perbedaan pun terjadi pada kasus aktif. Pada 23 November, satgas mengatakan ada 10.464 kasus aktif, sementara data pemprov mencatat jumlahnya sekitar 3.000 lebih sedikit, yakni 7.463 kasus.
Perbedaan juga terdapat pada angka kematian. Pada 12 November, pemprov melaporkan ada 2.902 orang meninggal akibat COVID-19 secara kumulatif, sementara satgas melaporkan 1.918 kematian alias selisih 984. Jarak itu semakin ke sini semakin melebar. Per 25 November, Pemprov Jateng melaporkan total 3.387 kematian akibat COVID-19, lebih banyak 1.225 daripada yang dilaporkan satgas, 2.162.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan perbedaan data kasus aktif itu disebabkan keterlambatan satgas dalam memasukkan data positif harian. Data bertumpuk dan baru dilaporkan pada satu hari terakhir.
"Makanya saya kaget, katanya kami paling tinggi. Kami belum sampai ke sana. Bayangkan, bedanya banyak sekali sampai 3.000 data. Kalau besok tiba-tiba dimasukkan dalam rilis angka 3.000 itu, pasti gede, pasti meningkat," ujar Ganjar di Semarang, Selasa (24/11/2020), dilansir dari Antara.
Kesimpulan itu diperoleh setelah dia mengecek data dari 1-10 November, dan ditemukan ada 809 data delay--yang jadi data tambahan. Selain itu, dia juga menemukan ada 18 nama yang sudah dites sejak Juni tapi baru masuk ke dalam rombongan pada 23 November.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Jateng Yulianto Prabowo mengatakan perbedaan angka kematian diakibatkan perbedaan sumber dan waktu pengambilan data oleh pemprov dan satgas. "Publikasi data berdasar cut of time [rentang waktu] dan saat input data masing-masing sistem yang digunakan," kata Yulianto kepada reporter Tirto, Kamis (26/11/2020).
Tidak Terintegrasi
Yulianto menambahkan, sebenarnya hal ini tak bakal jadi masalah seandainya ada "satu manajemen data terintegrasi dari semua puskesmas, dinkes kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional."
Menurut epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Mouhamad Bigwanto, sinkronisasi data semestinya sudah tak lagi jadi masalah sebab pandemi sudah sangat lama. Dia bilang memang semestinya sudah sejak lama ada satu platform pendataan yang dipakai oleh seluruh elemen kesehatan, mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama, dinas kesehatan, hingga pusat.
"Harusnya itu (perbedaan data) enggak terjadi, karena data surveilans kasus penyakit menular seperti COVID-19 harusnya real time," kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Kamis.
Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito belum merespons permintaan tanggapan dari kami.
Semrawutnya data pemerintah pusat dan daerah memiliki dampak signifikan, terutama soal zonasi. Sebagai informasi, zonasi merah, oranye, kuning, dan hijau disusun berdasarkan 15 indikator, beberapa di antaranya berkaitan dengan data jumlah pasien meninggal dunia dan data jumlah pasien aktif. Data yang digunakan untuk penentuan zonasi adalah data pemerintah pusat.
Banyak kebijakan yang didasarkan pada zonasi, salah satunya keputusan menggelar kembali pembelajaran tatap muka. Selain itu, banyak daerah yang berpatokan pada zonasi itu dalam memutuskan melonggarkan pembatasan aktivitas warga.
Hal itu pun sejalan dengan yang dikatakan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 terbitan Kementerian Kesehatan yang mengatakan "pencatatan dan pelaporan kasus terkait COVID-19 harus menjadi alat komunikasi efektif antara petugas kesehatan baik di daerah maupun di pusat, agar terjadi kesinambungan informasi dan upaya pengendalian kasus dapat tercapai"
"Keterlambatan input data akan membuat sistem zonasi yang sekarang dipakai tidak reliabel," simpul Bigwanto.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino