tirto.id - Pornografi bukan barang tabu bagi FS (25 tahun). Tapi ia juga bukan konsumen garis keras yang punya jadwal nonton tetap atau menggemari salah satu aktor. Perempuan asal Ponorogo yang masih menetap di DI Yogyakarta itu kadang “mbokep” saat pergi ke warung internet sambil mengakses serial favorit. Jika sedang malas, di kos-kosan ia bisa membuka akun media sosial penyedia konten visual maupun cuplikan video syur. Kebiasaan ini ia lakukan hanya beberapa kali per bulan.
“Cuma buat refreshing. Tapi sebel juga, yang ada kayaknya buat cowok semua. Cewek juga nonton, loh. Temen-temenku ada beberapa, gak banyak sih. Ya, nonton seadanya. Nemu sih yang oke, aku suka, tapi dikit banget. Kabeh nggo lanangan (semua buat konsumen laki-laki). Haha....” ungkapnya sambil tergelak.
FS tak keliru. Data Pornhub, situs video pornografi paling populer di muka bumi, pada 2014 menunjukkan 24 persen pengunjungnya adalah perempuan. Angkanya naik menjadi 26 persen pada 2016. Menariknya, mereka menonton konten situs dengan durasi rata-rata 9 menit 10 detik per kunjungan, sementara laki-laki 9 menit 22 detik per kunjungan. Artinya, meski secara jumlah kalah jauh dibanding konsumen laki-laki, dari segi loyalitas menonton kaum hawa mulai menyamai.
Sayangnya, selaras dengan curhatan FS, konten yang disukai perempuan di Pornhub maupun kanal lain juga belum sepenuhnya memuaskan dari segi kuantitas maupun kualitas. Para sosiolog menganggap hal ini berangkat dari kesalahan di awal industri pornografi berdiri.
Para produsen beranggapan bahwa yang utama adalah pemuasan hasrat konsumen laki-laki, sementara perempuan diminta jadi penonton sekunder. Maka tak heran jika sebagian besar video yang dibuat berdasarkan sudut pandang laki-laki.
Baca juga:Berporno-porno Dahulu, Film Mainstream Kemudian
Dalam konteks feminisme, industri pornografi arus utama menjadikan perempuan sebagai objek untuk memuaskan laki-laki (aktor maupun penonton), sementara kepuasan, kenyamanan, hingga penghormatan kepada perempuan (aktris maupun penonton) kerap diabaikan. Relasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan dalam industri lendir ini pada akhirnya tak setara. Padahal tuntutan seperti yang diungkapkan FS sesungguhnya banyak bermunculan—entah dibagikan ke ruang diskusi publik maupun hanya dipendam dalam hati.
Jae Woong Shim dan beberapa rekannya pernah menguji situasi ini dalam sebuah riset berjudul "Analysis of Representation of Sexuality On Women's and Men's Pornograhic Website” di Jurnal Social Behaviour and Personality (2015). Mereka mendedah bagaimana seksualitas lelaki dan perempuan direpresentasikan dalam situs-situs pornografi. Dua ratus foto dari empat situs dikumpulkan untuk ditunjukkan ke subjek penelitian dan responnya dianalisis memakai pisau bedah ketidaksetaraan serta objektifikasi seksual yang (sesuai hipotesis) menghiasi konten situs-situs porno. Objektifikasi seksual merupakan istilah teknis untuk memahami bagaimana perempuan (laki-laki) semata dipandang sebagai objek seksual pemuas hasrat penonton.
Hasil riset menunjukkan kebenaran hipotesa tersebut. Situs dengan sasaran konsumen laki-laki mengandung lebih banyak elemen ketidaksetaraan seksual, sedangkan situs dengan sasaran konsumen perempuan mengandung lebih banyak elemen objektifikasi seksual.
Namun kaum perempuan yang sadar akan kondisi ini tak tinggal diam. Produser, sutradara, hingga para pemain yang peduli kemudian membuat acara tahunan Feminist Porn Award untuk mengapresiasi industri film porno dengan sasaran konsumen perempuan. Mereka ada, dan setia melawan ketidaksetaraan serta objektifikasi perempuan di industri film porno arus utama. Mereka juga giat menghasilkan karya yang lebih memenuhi selera pornografi kaum hawa. Konten yang demikian masih jarang beredar di pasaran, sehingga peluang bisnisnya masih terbuka.
“Kami tak anti-lelaki. Kami menghargai kemerdekaan untuk semuanya dan percaya bahwa laki-laki juga punya kontribusi yang berharga serta bisa menjadi bagian dalam gerakan feminisme ini,” kata Carlyle Jensen, pengorganisir dan pemilik acara penghargaan serupa, Good For Her, dalam ajang Feminist Porn Award 2015 sebagaimana dikutip The Independent.
Baca juga: Orang Indonesia di Film Biru
Acara tersebut juga diramaikan oleh Erika Lust, pembuat film porno untuk perempuan yang pada 2014 memenangi kategori Film Terbaik. Dalam kesempatan tersebut ia bertutur tentang dominasi laki-laki di industri pornografi arus utama, juga tentang bagaimana di dalamnya perempuan hanya dijadikan objek pemuas nafsu kaum adam.
“Seks oral untuk pria bisa lama sekali, tapi giliran buat perempuan, cuma berlangsung 10 detik. Orgasme perempuan tidak menjadi masalah di sebagian besar film. Dan mereka kebanyakan ditampilkan sebagai pelacur. Menyedihkan,” ungkapnya.
Industri film porno mainstream, kata Lust, miskin cerita dan kreativitas. Pemilik modal hanya peduli benturan alat kelamin dan desahan kenikmatan palsu—sampai akhirnya dapat untung. Kesenangan si perempuan tak dipikirkan. Aktor dan aktris mematuhi standar penampilan fisik dan penampilan main di depan kamera yang sama. Tidak ada cerita yang menarik, karakter yang mirip dunia nyata, atau seks yang berlangsung dengan baik. Tak mengherankan, katanya, jika pornografi era kekinian punya reputasi buruk karena dibikin serampangan.
Bokep Lawas Lebih Manusiawi
Nina Power, penulis buku One Dimensional Women (2009), nampaknya bersepakat dengan Lust. Melalui tulisannya di New Humanist, Power membandingkan pornografi kontemporer dengan karya klasik bikinan Perancis tahun 1905-1930an. Menurutnya, perbedaan cara memandang sensualitas antara sineas porno dulu dan sekarang berdampak pada tingkat kealamiahan para aktor dan aktris yang bermain di dalamnya. Dalam pornografi kontemporer, tulis Power, "jarang sekali dijumpai aktris yang tersenyum dan tertawa."
Pornografi klasik, simpul Power, punya karakter yang lebih manusiawi. Para pemainnya tertawa lepas sembari berlaku konyol antara sesama pemain. Tak terlalu terlihat kepalsuan dalam pengaturan latar belakang, penampilan fisik pemain, baju, adegan, hingga reaksi pemain selama bercinta. Nina memandang film porno kekinian terlihat tak alamiah serta kehilangan ruh sensualitas akibat fokus ke elemen hardcore.
"Tingkah laku aneh dan ganjil para pemainnya mengingatkan kita bahwa seks bisa cerkas dan bukan kompetisi," tulis Power seraya mengingatkan bahwa banyak film pendek awal abad 20 memuat adegan kocak perempuan yang menghibur pasangan laki-lakinya ketika sulit ereksi agar suasana tak tegang.
Film-film Lust kerap menjadikan perempuan sebagai pemain utamanya, termasuk mendorong agar kaum hawa lebih banyak mengisi posisi sebagai produser hingga penulis naskah. Keterlibatan yang lebih tak hanya akan menghasilkan karya yang lebih bermutu untuk perempuan, demikian prinsipnya, namun juga akan memuaskan para penonton perempuan karena menemukan karya yang selaras dengan sudut pandang, hasrat, selera, dan jenis kenikmatan yang diinginkannya.
Satu hal yang jadi pedoman Lust dan rekan-rekan pembuat film serupa lain, adalah bagaimana membuat film serealistis mungkin. Industri film porno arus utama yang dikontrol laki-laki dinilainya terlalu palsu, sementara konsumen perempuan membutuhkan yang relatable dengan kehidupan seksual mereka sendiri. Seks dan reaksi yang ditampilkan dalam film-film Lust dijamin natural dan sungguhan, sehingga penonton perempuan bisa menempatkan diri sebagai si pemain, dan dengan demikian bisa lebih bisa menikmati suguhan konten sepanjang durasi menonton.
Baca juga:Mengapa Industri Film Porno Menjamur di Israel?
Sineas seperti Lust bukannya sedang mencoba balas dendam dengan balik mengobjektifikasi dan menguasai laki-laki. Mereka mengklaim tengah menyuguhkan film porno yang mendudukkan pemainnya secara setara, penuh cinta, kelembutan, dan didukung logika cerita yang dibuat semenarik mungkin. Pendeknya, terlihat romantis serta lepas dari unsur-unsur kekerasan yang biasa ditemukan di industri porno arus utama. Banyak yang melabeli film porno untuk perempuan dengan sebutan “erotica”. Kata kunci ini sering dipakai perempuan saat sedang berselancar mencari materi porno di mesin pencari.
Nikki Gloudeman, editor kanal perempuan Ravishly, pernah melakukan wawancara agak mendalam bersama sejumlah sineas film porno perempuan tiga tahun yang lalu. Salah satunya adalah Angie Rowntree, pendiri dan pemilik situs pornografi khusus perempuan Sssh.com. Rowntree berkata misi pekerjaannya sederhana: membuat film porno yang bisa dinikmati konsumen perempuannya.
“Kami tak sedang menduga-duga apa yang ada di kepala konsumen. Kami benar-benar menanyakannya. Kami menghabiskan banyak waktu untuk mengumpulkan respons dan menyelenggarakan survei atas apa yang menarik bagi pelanggan kami, dan apa yang ingin mereka tonton,” katanya kepada Gloudeman sebagaimana dilaporkan ulang Huffington Post.
“Sssh.com awalnya memang diciptakan untuk perempuan, namun dari riset kami belajar ternyata konten kami disukai pasangan. Akhirnya situs kami bukan hanya menyediakan 'porno untuk perempuan', tapi untuk semua orang yang mengapresiasi seks dengan hasrat yang sesungguhnya, di mana ada chemistry dan koneksi antara para pemain, dan di mana orang-orang yang terlibat diberi apresiasi yang proporsional.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf