tirto.id - Rangkaian seleksi calon wakil gubernur DKI Jakarta pengganti Sandiaga Salahudin Uno telah dilaksanakan. Mulai dari pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) hingga focus group discussion (FGD) telah dilalui tiga politikus PKS yakni Abdurrahman Suhaimi, Ahmad Syaikhu, dan Agung Yulianto.
Siapa di antara mereka yang akan lolos menggantikan Sandiaga menjadi wakil Anies Baswedan rencananya baru diketahui Ahad, 10 Februari nanti.
Namun bagi sebagian orang, siapa pun nama yang lolos atau tidak untuk menjadi wagub, bukanlah hal penting. Sebab sedari awal, warga DKI memang tak dilibatkan dalam proses seleksi ini lantaran fit and proper test dan forum group discussion yang berlangsung tertutup.
Tertutupnya proses ini membuat publik tidak tahu apakah keputusan yang diambil dalam proses cawagub berdasarkan pada kapabilitas para calon atau permufakatan politik antarpartai yang disembunyikan dari publik.
"Kalau posisinya tertutup dan diam dalam kegelapan, akhirnya banyak pertanyaan dari publik. Akhirnya bisa saja ternyata ada deal-deal politik yang dilarang," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin kepada reporter Tirto, Kamis (7/2/2019).
Pada sisi lain, Ujang menilai, proses seleksi yang tertutup ini juga menunjukkan elite partai lebih mementingkan kepentingan mereka dibanding kepentingan masyarakat. Ini bisa tampak dari proses seleksi yang berlarut-larut karena mempertimbangkan kepentingan partai masing-masing.
"Fit and proper tes seharusnya terbuka. Dengan itu, proses politik ini tidak akan berlarut-larut jika para elite di DKI memang berniat untuk membangun DKI," ujarnya.
Ujang menambahkan, proses seleksi cawagub DKI yang tertutup juga menunjukkan sistem demokrasi tidak dihormati. "Kalau kita mau membangun demokrasi yang kuat, yang memiliki akuntabilitas terhadap publik, fit and proper itu dilakukan secara terbuka," tegas Ujang.
Pandangan serupa juga dikatakan Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono. Ia menilai keputusan PKS dan Gerindra untuk menyeleksi calon wakil gubernur DKI Jakarta secara tertutup tak lepas dari kepentingan politik.
Ia menilai sebagai sebuah lembaga politik, tak mengherankan apabila keputusan tersebut juga bakal menjadi produk politik.
"Namun yang paling penting berpihak ke rakyat. [Posisi] Wakil gubernur ini adalah [kepentingan] dua partai pengusung itu,” kata Gembong kepada reporter Tirto, Kamis (7/2/2019) sore.
Tarik Ulur yang Belum Selesai
Anggapan Ujang dan Gembong soal berlarutnya proses seleksi dan sarat akan kepentingan kedua partai bisa jadi benar belaka. Sedari awal, proses pemilihan pengganti Sandiaga ini diwarnai tarik ulur antara PKS dan Gerindra, selaku dua partai pengusung Anies-Sandi dalam Pilkada DKI 2017.
Gerindra sebelumnya sempat mengusung M. Taufik buat menjadi pendamping Anies. Namun, rencana itu ditolak PKS dengan alasan kursi cawagub merupakan hak mereka. Polemik mencari pengganti Sandiaga ini berakhir dengan kesepakatan antara Gerindra-PKS yang memberikan jatah kursi wagub kepada PKS.
Kesepakatan itu diiringi syarat fit and proper test. Namun lagi-lagi, proses uji kepatutan dan kelayakan itu dilakukan berlarut-larut. PKS dan Gerindra beda pandangan soal konsep uji kepatutan dan kelayakan. Akhirnya, uji ini baru bisa digelar akhir Januari lalu dan ditindaklanjuti dengan FGD pada akhir pekan lalu.
Proses uji dan FGD inilah yang berjalan tertutup tanpa melibatkan warga DKI. Di tengah ketertutupan itu, Ketua DPW PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo mengklaim bakal ada dua nama calon wakil gubernur yang ditetapkan pimpinan PKS dan Gerindra pada 10 Februari mendatang.
"Selanjutnya, akan diserahkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk diteruskan kepada DPRD DKI Jakarta, guna diputuskan dalam sidang paripurna," kata Syakir, Senin (4/2/2019).
Namun pernyataan Syakir belum jadi jaminan resmi. Sebab, Wakil Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, Syarif punya pandangan berbeda. Menurut Syarif, proses seleksi ini masih sangat dinamis dan ada kemungkinan tiga kandidat yang diusulkan PKS buat menjadi pengganti Sandiaga, tak lolos sama sekali.
"Bisa jadi tiga-tiganya diulang kembali," kata Syarif, Kamis (7/2/2019).
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Gilang Ramadhan