Menuju konten utama

Selama 2018, Terjadi 94 Pembunuhan Awak Media di Seluruh Dunia

Pembunuhan jurnalis paling banyak terjadi pada 2006 dengan jumlah 155 orang.

Selama 2018, Terjadi 94 Pembunuhan Awak Media di Seluruh Dunia
Aktivis, yang memprotes pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, mengadakan nyala lilin malam di luar konsulat Arab Saudi di Istanbul, Kamis, 25 Oktober 2018. AP Photo/Lefteris Pitarakis

tirto.id - Asosiasi perdagangan internasional mencatat pembunuhan terhadap jurnalis dan awak media saat bekerja meningkat pada 2018, menyusul penurunan total keseluruhan selama 6 tahun terakhir.

The International Federation of Journalists (IFJ) menyebut, dalam laporan tahunan yang dirilis Senin (31/12/2018), 94 jurnalis dan awak media tewas dalam pembunuhan yag direncanakan. Jumlah tersebut meningkat 12 lebih banyak dari 2017.

Sebelum penurunan selama 6 tahun terakhir ini, pada 2012 sebanyak 121 orang yang bekerja untuk organisasi berita dibunuh. Federasi Jurnalis Internasional yang telah mencatat data kematian jurnalis sejak 1990 mengungkap pembunuhan jurnalis paling banyak terjadi pada 2006 dengan jumlah 155 orang.

Negara paling mematikan bagi awak media tahun ini adalah Afghanistan, dengan 16 pembunuhan terjadi. Negara kedua dengan pembunuhan jurnalis paling banyak adalah Meksiko, dengan jumlah 11. Selanjutnya Yaman dengan 9 pembunuhan jurnlis dan Suriah dengan 8 pembunuhan pada 2018.

Menurut federasi, pembunuhan ini memengaruhi pekerjaan jurnalis dalam mencari kebenaran dan memberikan informasi pada masyarakat di tempat pembunuhan-pembunuhan itu terjadi.

"Jurnalis menjadi sasaran karena mereka adalah saksi. Dan hasil ini, ketika jurnalis atau banyak jurnalis dibunuh di suatu negara, Anda akan melihat kenaikkan sensor diri," ujar Presiden IFJ, Philippe Leruth, seperti dikutip Associated Press (AP).

Selama seprempat abad terakhir, Irak menduduki peringkat puncak pembunuhan pekerja media dengan jumlah 309 orang. Namun pada tahun ini, IFJ mengidentifikasi jurnalis foto jadi satu-satunya korban pembunuhan di negara tersebut.

IFJ menghubungkan sekitar 600 ribu pekerja media dari 187 serikat pekerja dan asosiasi di lebih dari 140 negara. IFJ menyebut, jurnalis menghadapi bahaya terlepas dari saat meliput di tempat perang dan gerakan ekstremis.

"Ada beberapa faktor lain, seperti meningkatnya intoleransi terhadap pelaporan independen, populisme, maraknya korupsi dan kejahatan, serta hancurnya hukum dan ketertiban," kata federasi yang bermarkas di Brussels ini.

Amerika Serikat (AS) tahun ini cukup mengejutkan karena masuk dalam daftar jumlah kasus tertinggi, yaitu 5 pembunuhan. Pada 28 Juni, seorang pria bersenjata di Annapolis, Maryland, menembaki ruang berita surat kabar Capital Gazette hingga menyebabkan 4 wartawan dan seorang loper koran tewas. Pria itu mengancam surat kabar usai gagal menggugat karena pencemaran nama baik.

Selain itu, pembunuhan jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi juga jadi sorotan dunia. Khashoggi yang tinggal di pengasingan di AS ini dibunuh dan dimutilasi di dalam Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki saat hendak mengurus dokumen untuk pernikahannya.

Khashoggi kerap mengkritik rezim Kerajaan Arab Saudi, sehingga Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman diduga kuat terlibat dalam pembunuhan ini. Dugaan ini membuat pemerintah negara-negara lain ditekan untuk memutuskan hubungan ekonomi dan politik.

"Jamal Khashoggi adalah sosok yang sangat terkenal, tetapi Anda tahu, yang paling mengejutkan adalah bahwa 9 dari 10 kasus pembunuhan jurnalis di dunia selesai tanpa hukuman," pungkas Leruth.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN JURNALIS atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra