Menuju konten utama

Sekolah-sekolah di Zaman Belanda

Meski beruntung bisa sekolah macam HIS, ELS, MULO, AMS atau HBS, yang dinikmati tak lebih dari 10 persen orang Indonesia, tetapi diskriminasi tetap mereka alami.

Sekolah-sekolah di Zaman Belanda
Penggalan dalam film Oeroeg (1993), Dalam film itu Oeroeg belajar di HIS dengan pakaian orang pribumi dan Johan Ten Berge di ELS dengan pakaian ala Eropa. [Foto/Oeroeg/dailymotion.com]

tirto.id - Bayangkan Anda hidup puluhan tahun lalu di negeri yang masih berstatus sebagai Hindia Belanda ini. Jika orangtua Anda berpenghasilan 100 gulden sebulan, sejak umur 6 tahun Anda bisa bersekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS). Jika Anda anak pembesar pribumi, meski kulit Anda coklat dan tak sedikitpun punya darah Eropa atau Belanda, Anda boleh mulai bersekolah di Europesche Lager School (ELS).

Di dua jenis sekolah dasar ini, siswa belajar dengan pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya pun sama-sama tujuh tahun. Bahasa Belanda di Hindia kala itu sementereng bahasa Inggris sekarang. Tapi, pemerintah kolonial tak pernah mengharuskan seluruh warga koloni Hindia Belanda bisa bahasa tersebut.

Menjadi murid HIS, Anda akan menemui murid yang sama-sama bangsa Indonesia, tapi tidak jika di ELS. Jika Anda berkulit coklat tanpa sedikitpun darah Eropa, Anda adalah minoritas di ELS. Jika Anda pernah menonton film Oeroeg (1995), Anda bisa melihat beda HIS dan ELS.

Dalam film itu Oeroeg belajar di HIS dengan pakaian orang pribumi dan Johan Ten Berge di ELS berpakaian ala Eropa. Meski begitu mereka tetap menyanyikan lagu yang sama di sekolah, Wilhelmus van Nassau sambil mengibarkan merah-putih-biru. Di luar HIS dan ELS, ada juga sekolah desa atau Volkschool (sekolah rakyat) yang masa belajarnya hanya tiga tahun. Di sekolah itu, siswa hanya diajari membaca, menulis, berhitung.

Satu dari sekian bocah pribumi beruntung yang sempat mencicipi bangku sekolah di ELS adalah Pahlawan Nasional Gatot Subroto. Namun, sebuah perkelahian dengan anak residen Banyumas membuatnya harus ditendang dari sekolah itu. Gatot pun akhirnya hanya jadi lulusan HIS.

Sementara itu, Pahlawan Nasional yang lain bernama Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, juga pernah didaftarkan di sana, namun tak diterima. Sebab van Eldik yang mendaftarkannya bukanlah ayah kandung Wage, melainkan kakak ipar yang menjadi orangtua angkatnya. Terpaksa Wage hanya sekolah sampai HIS saja.

Orang nusantara di ELS atau Hogare Burgerlijke School (HBS) adalah minoritas. Sebagai minoritas, anak-anak itu harus tunduk dan hormat pada semua orang Belanda. Sebisa mungkin, haram hukumnya membantah seorang guru.

Ingat, di masa itu Anda-anda yang berkulit coklat alias pribumi digolongkan inlander yang tentu saja kelasnya di bawah Nederlander. Kecuali orangtua Anda ikut Gelijkgesteld, di mana status hukum Anda dan keluarga Anda dipersamakan dengan orang-orang Eropa.

Diskriminasi pun terjadi, termasuk di tempat-tempat umum. Di awal abad ke-20, kolam renang dan bioskop adalah hiburan yang cukup populer di kalangan orang Indonesia yang gaya hidupnya modern dan seperti orang Belanda. Namun, tak semua tempat boleh dimasuki anak sekolah pribumi yang digolongkan inlander.

Ada bagian di film Oeroeg yang cukup menyedihkan. Suatu kali, Oeroeg dan Johan hendak menonton film Tarzan. Sialnya Oeroeg tak bisa masuk ke ruangan khusus orang Eropa. Akhirnya Oeroeg masuk ke ruangan untuk pribumi, yang berada di belakang layar. Orang Eropa bisa melihat film dengan sesuai gambar, sementara orang pribumi seperti menonton film dari cermin saja.

Tak hanya bioskop, di societeit (tempat berkumpul juga berdansa) dan kolam renang pun biasanya berlaku aturan yang sangat diskriminatif. Jikapun ada orang pribumi di ruang yang hanya boleh dimasuki orang Eropa, orang-orang itu umumnya para jongos alias babu alias pelayan yang harus selalu menunduk pada orang Belanda.

Yang sangat menyakitkan tulisan yang biasanya terpacak di pintu atau bagian depan ruangan-ruangan itu: “Verboden voor honden en inlander.”

Beruntunglah lebih dari 90 persen orang Hindia saat itu bisa tak baca tulis huruf latin dan tak mengerti bahasa Belanda. Tulisan itu kurang-lebih berarti : “Dilarang masuk anjing dan pribumi.”

Infografik sekolah zaman belanda

Mereka yang sekolah dasarnya hanya di Volkschool atau Sekolah Rakyat juga cukup beruntung. Ketika Indonesia Merdeka di tahun 1945, seperti tercatat dalam buku Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (2004), angka buta huruf masih 90 persen. Sekolah hanya bisa dinikmati 10 persen penduduk saja. Itupun kebanyakan berijazah sekolah dasar, baik dari HIS, ELS, dan pastinya Volkschool.

Lulusan HIS biasanya akan melanjutkan lanjut ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara SMP, lalu dari MULO yang masa belajar tiga tahun akan berlanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) alias SMA selama tiga tahun. Setelah itu baru bisa kuliah.

Lulusan ELS boleh lanjut ke HBS, di mana Anda menjalani sekolah menengah selama lima tahun. Beruntunglah mereka yang belajar di ELS lalu HBS. Hanya butuh waktu 12 tahun sekolah. Jika melalui HIS, MULO lalu AMS, butuh waktu 13 tahun.

Jika mulai SD usia 7 tahun dan riwayat sekolah Anda ddari HIS, MULO lalu AMS maka, jika tiap tahun naik kelas, di usia 20 tahun Anda punya ijazah SMA. Jika jalurnya ELS lalu HBS, juga tiap tahun naik kelas, di usia 19 tahun Anda baru memiliki ijazah SMA. Di masa sekarang, usia rata-rata lulusan SMA adalah 18 tahun.

Beberapa sejarawan menilai, sistem pendidikan kolonial yang membedakan lama waktu belajar di kedua jalur itu jelas punya maksud.

Karier orang pribumi dihambat ketika masuk dunia kerja, baik di swasta maupun pemerintahan. Karena banyak pribumi yang masuk HIS atau ELS di usia lebih dari 7 tahun alias telat sekolah, maka kesempatan kerja lulusan SMA pribumi berkurang. Sebab di antara mereka ada yang lulus SMA di usia 22 tahun.

Padahal, akademi militer Koninklijk Militaire Academie di Breda terhalangi punya batasan umur: 22 tahun. Itu kenapa Didi Kartasasmita memudakan umurnya dua tahun agar bisa diterima.

Setelah lulus SMA baik AMS maupun HBS, Anda boleh masuk universitas di Negeri Belanda. Kala itu belum ada Universitas di Indonesia. Yang ada hanya sekolah tinggi kedokteran bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang dikenal juga sebagai Sekolah Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah jadi Geeneskundig Hoge School di Salemba.

Di zaman Dokter Soetomo baru mulai kuliah di STOVIA, sekolah ini masih menerima lulusan ELS. Tapi kemudian kampus itu hanya menerima lulusan sekolah menengah atas baik HBS maupun AMS.

Selain sekolah kedokteran, di Betawi ada sekolah hukum bernama Recht Hoge School yang lokasinya kini ditempati Kantor Kementerian Pertahanan. Kampus hukum dan kedokteran kolonial itu belakangan menjadi fakultas-fakultas dari Universitas Indonesia. Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw School di Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Di bidang teknik ada Technik Hoge School di Bandung yang sekarang adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).

Jika tak ingin kuliah, ada perusahaan swasta yang membuka lapangan kerja. Jangankan lulusan HBS dan AMS, lulusan MULO, bahkan mereka yang berijazah ELS atau HIS pun tak akan jadi kuli panggul. Masih ada kantor yang akan menerima mereka.

Lulusan ELS atau HIS yang setara sekolah dasar saja bisa jadi sersan jika mau bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda alias KNIL. Di masa kolonial, tentu sarjana pribumi langka dan disegani. Berbeda dengan masa sekarang, yang menurut data Badan Pusat Statistik 2015, terdapat 600 ribu sarjana menganggur.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani