Menuju konten utama

Sejauh Mana Jokowi Terapkan BBM Satu Harga?

Sudah hampir setahun program BBM satu harga bergulir. Bagaimana dan sudah sampai mana program ini?

Sejauh Mana Jokowi Terapkan BBM Satu Harga?
GM Marketing Operation Region (GM MOR) II Pertamina Sumbagsel Erwin Hiswanto saat peresmian BBM satu harga untuk Pulau Enggano di Terminal BBM Pulau Baai Bengkulu, Kamis (16/11/2017). ANTARA FOTO/David Muharmansyah

tirto.id - Uang yang dipakai untuk membeli satu liter bahan bakar minyak (BBM) premium di Yahukimo, bisa cukup membeli satu-dua sak semen di Pulau Jawa. Cukup juga untuk membeli Rp100 ribu paket data internet bagi orang-orang di kota besar seperti Jakarta.

Salah satu kabupaten di Papua ini memang punya persoalan topografi yang sulit seperti kebanyakan wilayah di barisan Pegunungan Tengah. Kawasan yang sebelah utaranya berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang ini masuk kategori 3T atau Terpencil, Terluar dan Terdepan dalam penerapan BBM satu harga di seluruh Indonesia.

Pada 18 Oktober 2016, Yahukimo jadi tempat dimulainya program BBM satu harga. Ihwal ini pun langsung diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kala itu. Dengan program ini, warga Yahukimo harapannya bisa membeli BBM jenis premium dengan harga yang sama seperti di Pulau Jawa, yakni Rp6.450 per liter.

"Kalau di Barat harganya segitu, di sini (Papua) harus sama harganya," kata Jokowi seperti dikutip Antara.

PT Pertamina (Persero) diserahkan tanggung jawab mengeksekusi program pemerintah. Jokowi meminta BBM satu harga sudah bisa berlaku 150 titik di kawasan-kawasan 3T hingga 2019. Sepanjang 2017 ditargetkan mampu mencakup 54 titik lokasi. Sisanya, sebanyak 50 titik akan dibangun pada 2018 dan 46 titik lainnya pada 2019. Setiap titik bisa berbentuk SPBU maupun APMS (Agen Premium dan Minyak Solar).

“Posisi terakhir sudah 38 titik lokasi. Sisa 16 lagi akan kita operasikan pada minggu kedua hingga akhir Desember,” kata Direktur Pemasaran Pertamina, M. Iskandar kepada Tirto.

Realisasi itu memang masih terbatas, tapi setidaknya jadi bukti bahwa Pertamina mampu menanggung biaya distribusi BBM ke daerah-daerah terpencil. Konsekuensi yang harus diterima Pertamina adalah peningkatan beban operasional. Hingga akhir tahun, ditaksir beban operasional membengkak Rp800 miliar akibat menanggung biaya distribusi ke 54 titik lokasi.

“Angkanya akan menjadi Rp3 triliun kalau 150 titik sudah selesai semua pada 2019,” ungkap VP Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito.

Persoalan membengkaknya biaya operasional ini sering dikaitkan dengan kantong Pertamina yang makin bobol. Namun, bila melihat keuntungan bersih Pertamina tahun lalu yang mencapai $3,15 miliar atau setara Rp40 triliun, maka uang Rp3 triliun memang tak seberapa.

Pengiriman BBM menuju daerah pelosok membutuhkan transportasi yang tidak sesederhana menggunakan mobil tangki seperti di kota-kota besar yang jalanannya mulus. Pertamina pun harus menambah biaya angkut dengan menggunakan pesawat/helikopter dan kapal laut. Besaran tambahan biaya bisa mencapai Rp50 ribu per liter.

Hitungan itu baru soal biaya operasi, belum soal selisih pendapatan sebesar US$1,42 miliar atau setara Rp19 triliun yang harus ditanggung Pertamina akibat selisih harga jual BBM dengan skema satu harga. Jumlah itu belum termasuk kontribusi dalam bentuk kontribusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Tujuan kebijakan ini memang mulia, membuat kalangan parlemen pun memberikan perhatian dan dukungan dari program yang resmi dimulai Januari 2017.

“Komisi VII DPR akan terus mengawasi hal tersebut untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan di lapangan yang bisa menabrak aturan perundang-undangan," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya W. Yudha seperti dikutip dari Antara.

infografik bbm satu harga

Apakah Hanya Saat Jokowi Berkuasa?

Logika BBM satu harga memang sederhana, saat sebuah produk bisa dijual harga sekian di suatu tempat, mengapa di tempat lain tak sama. Namun, bila melihat perspektif bisnis atau komersial, perbedaan harga akan sangat wajar bila mempertimbangkan jarak dan biaya distribusi.

Namun, dalam konteks Pertamina sebagai BUMN yang melekat dengan kepentingan publik, semua itu bisa berubah. Apalagi program ini digulirkan oleh pemerintah dengan segala motivasinya hingga 2019.

Setidaknya bila mengacu dari landasan hukum program ini, mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, juga Peraturan Menteri ESDM No. 39 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional, bisa dikupas dasarnya.

Perpres tersebut sangat berkaitan erat dengan UU APBN, sebab menyangkut alokasi dana BBM bersubsidi. Perpres menyatakan bahwa penugasan penyediaan dan pendistribusian Jenis BBM Khusus Penugasan diberikan kepada PT Pertamina (Persero). Adapun besarnya alokasi dan volume penugasan ditetapkan oleh Badan Pengatur dalam hal ini BPH Migas.

Keberadaan Perpres dan Permen dalam kebijakan BBM satu harga bisa saja diubah bila ada penguasa baru atau kondisi tertentu. Sebab, apabila dalam perjalanannya, kebijakan subsidi pada APBN berubah, bisa saja program BBM satu harga ini tidak berlanjut. Target penyelesaiannya hingga 2019 memang bisa menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan ini bisa berlanjut bila Jokowi tak lagi berkuasa?

Bila ditelaah lagi dari pertimbangan aturan tersebut adalah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas. UU ini dengan tegas menyebut "penyelenggaraan usaha migas berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan."

Namun, aspek lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah soal kebijakan ini berimplikasi pada APBN. Meski sejak awal, Presiden Jokowi ingin kebijakan BBM satu harga tak membebani APBN.

Ekonom Faisal Basri dalam tulisan blog pribadinya yang berjudul "Mewaspadai Ancaman Minyak dan BBM" mengatakan pemerintah memang tidak mau menanggung kerugian kebijakan satu harga karena semua dibebankan kepada Pertamina, artinya APBN tak terusik sama sekali. Namun, kenyataannya bisa tidak seperti itu, karena kebijakan ini sangat berpotensi berimplikasi kepada APBN.

"Akibat segala beban ditumpahkan kepada Pertamina, maka laba Pertamina terkikis. Akibatnya setoran keuntungan Pertamina kepada Pemerintah (APBN) berkurang. Jadi, secara tidak langsung ada dampak terhadap APBN," kata Faisal Basri.

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Dano Akbar M Daeng

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dano Akbar M Daeng
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra