tirto.id - Hampir dua miliar orang mengonsumsi air yang terkontaminasi tinja, membuat mereka berisiko terkena kolera, disentri, tifus, dan polio. Tiap tahun ada 1,7 juta anak meninggal karena lingkungan tidak sehat dan menyebabkan diare parah, malaria, dan radang paru-paru.
Ada 200.000 kasus kusta di seluruh dunia tiap tahunnya. Satu dari empat fasilitas layanan kesehatan di seluruh kekurangan air bersih. Setengah populasi dunia tidak dapat memperoleh layanan kesehatan yang memadai.
Klaim-klaim terbaru tersebut dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) dalam beberapa tahun terakhir. WHO di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) punya tugas untuk mempromosikan pencapaian taraf kesehatan setinggi mungkin. Tiap dua tahun sekali mereka merilis Laporan Kesehatan Dunia sejak 1995, Survei Kesehatan Dunia termasuk mengorganisir Hari Kesehatan Dunia yang dirayakan setiap 7 April.
Kerja-kerja WHO adalah mensponsori langkah pengendalian epidemi dan penyakit endemik lewat kampanye massal seperti program vaksinasi nasional, instruksi penggunaan antibiotik dan insektisida, peningkatan fasilitas laboratorium dan klinis, bantuan penyediaan pasokan air murni dan sanitasi.
Mereka memberi informasi kepada negara-negara anggota tentang perkembangan terbaru dalam penelitian kanker, pengembangan obat, pencegahan penyakit, pengendalian kecanduan obat, penggunaan vaksin, dan bahaya kesehatan dari bahan kimia dan zat lainnya.
Serangkaian kampanye WHO yang terstruktur dan sistematis itu ikut andil dalam melawan AIDS, malaria, TBC dan berbagai penyakit lainnya. Salah satu prestasi yang sebagian besar disebabkan oleh giat WHO adalah pemberantasan cacar secara global pada Mei 1980.
Bermula dari Wabah Kolera
Cikal bakal lahirnya WHO bermula dari wabah kolera dan beberapa epidemi lainnya yang menggila di daratan Eropa pada 1800-an. Revolusi Industri yang bermula di Inggris telah mendorong ekspansi pergerakan barang dan manusia dengan kawasan non-Eropa lainnya.
Paruh pertama abad ke-19, kota-kota makin sesak dihuni oleh para buruh kasar dan tidak ditunjang dengan tata kelola sanitasi yang baik. Penyakit kolera muncul dan menjelma menjadi wabah mematikan di Eropa. Pada 1830 dan 1847 wabah Kolera menewaskan puluhan ribu orang di Eropa.
Michael McCarthy dalam “A brief history of the World Health Organization” (2002, PDF) mencatat, sebagai respons wabah Kolera, diadakan Konvensi Sanitasi Internasional yang dihelat di Paris pada 1851, dihadiri oleh 11 negara Eropa dan Turki. Meski konferensi tersebut tidak menghasilkan penyebab pasti dari kolera, tetapi itu adalah upaya pertama komunitas internasional (lingkup Eropa) membicarakan masalah pencegahan dan pengendalian penyakit termasuk wabah kuning.
Baru pada 1892, Konvensi Sanitasi Internasional berhasil merumuskan pengendalian kolera dan lima tahun kemudian dengan konvensi yang membahas pengendalian wabah. Saat di Eropa masih sebatas konferensi, bergeser ke Amerika, di sana didirikan Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO) pada 1902 yang kemudian diyakini sebagai agen kesehatan tertua di dunia. Tiga tahun berselang, di Eropa didirikan agen kesehatan yang dinamai L'Office International d'Hygiene Publique.
Perjalanan organisasi kesehatan berlanjut ketika Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mendirikan Organisasi Kesehatan Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa pada 1919. Konvensi Sanitasi Internasional sendiri masih melanjutkan kegiatannya termasuk merevisi memasukkan ketentuan melawan cacar dan tipus pada 1926. Terakhir kali Konvensi Sanitasi Internasional diadakan pada 1938 menjelang Perang Dunia II.
Perang Dunia II telah menghambat kerja-kerja agen kesehatan baik di Eropa maupun Amerika karena dikuras oleh peperangan dan persaingan politik sengit. Baru pada 1945 segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, Konferensi PBB tentang organisasi internasional di San Francisco memilih untuk membentuk organisasi kesehatan internasional baru.
Setahun kemudian Konferensi Kesehatan Internasional di New York menyetujui Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia. Antara tahun 1946 dan 1948, komisi sementara yang berisi delapan belas negara mengambil alih tiga pekerjaan kesehatan seperti L’Office International d 'Hygiene Publique, Organisasi Kesehatan Liga Bangsa-Bangsa, dan Divisi Kesehatan Administrasi Bantuan dan Rehabilitasi PBB.
Konstitusi WHO ditandatangani oleh 61 negara pada 22 Juli 1946. Sampai akhirnya, pada 7 April 1948, WHO yang statusnya adalah anggota kelompok pengembang dari PBB resmi didirikan dan berkantor pusat di Jenewa, Swiss. WHO menjadi organisasi antar pemerintahan pertama yang menyematkan kata "dunia" dalam nama organisasi.
WHO dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang ditunjuk oleh Dewan Eksekutif dan Majelis Kesehatan Dunia. Direktur Jenderal didampingi oleh Wakil Direktur Jenderal dan beberapa asisten direktur jenderal lainnya yang masing-masing memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu.
Berkantor pusat di Jenewa, Swiss, tata kelola WHO beroperasi melalui Majelis Kesehatan Dunia yang bertemu tiap tahun sebagai badan pembuat kebijakan umum dan melalui Dewan Eksekutif spesialis kesehatan yang dipilih untuk masa jabatan tiga tahun oleh majelis.
Majelis Kesehatan Dunia pertama bertemu di Jenewa pada musim panas 1948 dan menetapkan prioritas isu-isu kesehatan saat itu seperti malaria, tuberkulosis, penyakit kelamin, kesehatan ibu dan anak, teknik sanitasi, dan nutrisi. Anggaran WHO pada 1948 sebesar 5 juta dolar.
Belakangan, sejak 1950 Hari Kesehatan Dunia dirayakan bertepatan dengan hari lahir WHO. Hari Kesehatan Dunia menjadi satu dari delapan kampanye kesehatan global yang dimotori WHO, seperti Hari Tuberkulosis Dunia, Pekan Imunisasi Dunia, Hari Malaria Dunia, Hari Tanpa Tembakau Dunia, Hari AIDS Sedunia, Hari Donor Darah Dunia, dan Hari Hepatitis Dunia.
Sampai 2016, WHO memiliki 194 negara anggota. Semua anggota WHO juga anggota PBB kecuali Nieu dan Kepulauan Cook. Dalam situs resmi WHO, mereka mengklaim mempekerjakan lebih dari 7.000 orang yang ada di 150 kantor di berbagai negara maupun kantor pusat WHO.
Sorotan Tudingan Skandal
WHO sangat berperan aktif dalam masalah kesehatan dunia, mulai dari kampanye intensif, bantuan kesehatan, hingga jalinan program-program dengan instansi di negara dunia.
Namun, WHO juga tidak lepas dari sorot kritik yang datangnya dari masalah internal. Beberapa di antaranya, pada Januari 2019, laporan tentang seorang pejabat senior WHO telah menyalahgunakan dana Ebola untuk menerbangkan pacarnya ke Afrika Barat. Tak cuma itu, dilansir The Guardian, email dari pengadu yang ditujukan ke manajemen senior WHO berisi tentang laporan diskriminasi yang sistematis terhadap para staf dari Afrika dan bahwa proses rekrutmennya korup.
Selama penanganan wabah Ebola di Kongo pada 2018, muncul pula tudingan bahwa sebuah pesawat disewa untuk mengangkut tiga kendaraan dari Dubai dengan biaya satu juta dolar. Jubir WHO beralasan, di Kongo tidak dijual kendaraan yang memenuhi standard minimum untuk keselamatan anggota PBB yang turun meninjau di sana. Tuduhan lainnya menurut Direktur Jenderal WHO saat ini, Tedros Adhanom Ghebreyesussedang ditangani dan mengklaim bahwa tidak ada toleransi terhadap segala kesalahan atau diskriminasi dalam bentuk apapun.
Biaya perjalanan WHO per tahunnya menelan biaya sekitar 200 juta dolar menurut laporan Associated Press pada 2017. Uang sebesar itu lebih besar dibandingkan anggaran gabungan untuk mengatasi masalah kesehatan mental, HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria.
Tindak tanduk Direktur Jenderal WHO tak luput dari sorotan. Tedros pernah memuji diktator Presiden Zimbabwe Robert Mugabe, sebagai "duta niat baik" WHO pada 2017. Padahal di sisi lain Mugabe pernah merusak fasilitas layanan kesehatan di negerinya demi melanggengkan kekuasaan, menurut laporan tahun 2009. Sontak pernyataan Tedros itu menuai banyak protes dari sejumlah pejabat tinggi dunia.
Pada Mei 2017, Margaret Chan, yang kala itu masih menjabat Direktur Jenderal WHO disorot lantaran menginap di hotel super mewah saat lawatan ke Guinea untuk merayakan vaksin Ebola pertama di dunia. Hal itu dianggap tidak etis dan tidak memberi teladan bagi para pekerja WHO yang hadir.
Editor: Suhendra