tirto.id - Di Persia ada seorang pemuda gagah dengan reputasi keilmuan yang moncer. Usianya baru tiga puluh lima, akan tetapi reputasi dan kecemerlangan ilmunya di bidang bahasa dan tata gramatika Arab sangat kondang di seantero negeri. Pemuda potensial ini terkenal menjadi garda depan kajian bahasa Mazhab Basrah.
Setahun sebelum kematiannya, kepopuleran si pemuda sampai juga ke telinga Raja Harun Ar-Rasyid di Baghdad, Irak. Keluarga Barmaki yang kebetulan ada di lingkaran kekuasaan mengusulkan kepada khalifah untuk mengundang secara khusus pemuda itu guna berdebat dengan ilmuwan-ilmuwan bahasa garda depan Mazhab Kufah.
Perlu diketahui bahwa salah satu hobi raja-raja dinasti Abbasiyah adalah mengadu ilmuwan untuk berdebat. Bahkan diceritakan bahwa raja-raja dinasti Abbasiyah menyediakan teater khusus yang dijadikan arena perdebatan bergengsi masa itu. Ilmu diadu dengan ilmu. Retorika dihadapkan dengan retorika. Argumentasi saling tindih. Demikianlah yang menjadi tradisi.
Di hari yang ditentukan, pemuda bernama lengkap ‘Amr ibn ‘Utsman ibn Qanbar atau yang masyhur dijuluki dengan Imam Sibawaih tersebut datang ke arena perdebatan. Tidak tanggung-tanggung, sang pemuda datang sendirian dan berhadapan dengan sebuah regu ilmuwan yang terdiri dari tiga orang: Al-Kisa’i, Al-Farra’ dan Khalaf al-Ahmar. Kecuali Khalaf al-Ahmar, dua penantang memiliki usia yang sudah cukup lanjut, setingkat usia menjelang pensiun.
Perdebatan antar-dua kelompok ini kemudian hari menjadi sejarah yang sangat populer di kalangan ilmuwan ahli bahasa dan tata gramatika Arab. Meskipun adu argumen kedua kelompok berimbang, perdebatan berakhir di tangan kadi kerajaan yang putusannya memenangkan pihak penantang yang terdiri tiga orang tersebut. Keputusan yang belakangan dinilai sangat politis karena ada unsur ketidakadilan di dalamnya. Sejarah perdebatan itu dikenal dengan perdebatan Mazhab Bashrah dan Mazhab Kufah dan direkam dengan sangat bagus oleh Ibnu Hisyam dalam kitab Mughni Labib yang diterbitkan pada abad ke-8.
Hal yang sama juga pernah dialami Imam Syafi’i. Ia berdebat semalaman dengan murid Imam Hanafi bernama Muhammad Ibnu Hasan asy-Syaibani. Adu argumentasi dan juga analisis ilmiah berhamburan dalam perdebatan itu.
Bahkan Imam Syafi’i diceritakan meninggal beberapa hari setelah menjalani perdebatan yang melelahkan dengan seorang ahli fikih dari Mazhab Maliki bernama Asyhab al-Qaisi. Lantaran kesal dan jengkel dengan perdebatan yang sengit itu, Asyhab diceritakan menggebrak meja dan melempar Imam Syafi’i dengan sebuah kunci.
Ulama Nusantara Juga Kerap Berdebat
Jauh setelah ulama-ulama moncer di masa keemasan Islam tersebut berdebat secara sengit, di Nusantara kita juga mengenal tradisi perdebatan yang demikian hidup.
Kiai Hasbullah Salim, ulama kondang asal Rembang yang hijrah ke Jombang dalam sebuah episode kehidupan dan perjalanan intelektualnya, pernah bermujadalah atau berdebat secara terbuka dengan pimpinan aliran baru yang berasal dari seberang desanya. Aliran itu bernama Darul Hadis. Pimpinannya bernama Abu Hasan Ubaidah. Gerakan ini kemudian hari berganti nama menjadi Islam Jemaah yang difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia.
Kiai Hasbullah Salim hidup di era 1950-an, jauh sebelum MUI lahir. Menurut Abdurrahman Wahid dalam salah satu esainya yang terkumpul di buku Melawan Melalui Lelucon (2000), Kiai Hasbullah yang ahli fikih ini menyampaikan undangan debat terbuka kepada Abu Hasan Ubaidah di atas mimbar yang disaksikan khalayak ramai. Perdebatan berlangsung dua kali dengan kemenangan di tangan Kiai Hasbullah. Bagi Kiai Hasbullah, perbedaan yang dijembatani dengan dialog dan debat justru semakin memperkaya wawasan umat (hlm. 89).
Demikian pula yang terjadi pada A. Hassan dari Persis yang berdebat dengan Ahmadiyah pada 1933. Pihak Ahmadiyah diwakili Maulana Rahmat Ali. Seperti diungkap Jacqueline Hicks dalam "Heresy and Authority: Understanding the Turn against Ahmadiyah in Indonesia" yang dimuat di jurnal South East Asia Research (Vol. 22, 2014), tema perdebatan seputar isu “Hidup dan Matinya Nabi Isa” dan dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama di Bandung yang disaksikan tidak kurang dari seribu orang. Sementara debat kedua diselenggarakan di Batavia dan dihadiri sekitar dua ribu pasang mata.
Penguji Kedewasaan Umat
Tradisi berdebat dan adu argumen merupakan salah satu di antara dua alat penguji kealiman seseorang dalam tradisi Islam. Selain perdebatan, Islam mengenal tradisi uji transmisi atau sanad. Kualifikasi kealiman bukan saja diuji dari kepiawaian berargumentasi, namun lebih dari itu diuji dengan ketersambungan transmisi keilmuan.
Tradisi perdebatan juga merupakan tradisi intelektual Islam. Dengan perdebatan, katub-katub ketidakpahaman yang menyumbat cara pandang bisa terbuka dan membuat khalayak semakin tercerahkan. Juga bisa memupuk kedewasaan. Soal yang disebut belakangan adalah salah satu efek terpenting yang dihasilkan dari tradisi perdebatan yang baik.
Kedewasaan umat bisa diukur salah satunya melalui seberapa lapang menerima perbedaan. Dan untuk menumbuhkan sikap kedewasaan, tidak ada jalan lain kecuali terus membangun tradisi perdebatan yang dialogis, bukan monologis. Mirip ungkapan “pelaut yang tangguh tidak terlahir dari lautan yang teduh”, umat yang dewasa tidak tumbuh dari iklim yang tidak biasa berdebat dan menerima pandangan-pandangan berbeda.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Ivan Aulia Ahsan