tirto.id - Dalam sejarah, prostitusi adalah anak zaman yang dianggap haram tapi selalu dibutuhkan umat manusia. Di Indonesia, baru-baru ini mencuat lagi kasus prostitusi online yang melibatkan para artis. Polisi telah mengantongi data nama puluhan artis yang tergabung dalam jaringan bisnis esek-esek.
Selain itu, polisi juga menyebut usia mereka rata-rata masih di bawah 30. Hasil pemeriksaan digital forensik ponsel tersangka muncikari ditemukan fakta lain yang mengejutkan: ada sejumlah nama yang ternyata masih berusia 19.
Tidak hanya pemerintah Republik Indonesia yang sibuk memberantas aksi pelacuran dan menutup lokalisasi. Di masa silam, penguasa tradisional bersama pemerintah Hindia Belanda pernah dibikin kelimpungan oleh praktik para penjaja cinta yang merajalela.
Regulasi bagi Kaum "Sundel"
Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial membuat regulasi yang merestui komersialisasi aktivitas seksual. Keluarnya aturan ini salah satunya didorong oleh kedatangan rombongan tentara kolonial ke Hindia Belanda yang tak membawa istri-istri mereka. Lantas, dibangunlah rumah bordil.
Rumah pelacuran itu kemudian menimbulkan masalah anyar yakni merebaknya penyakit kelamin dan kulit. Tubuh para pelanggan dan pelacur digerogoti penyakit sifilis atau gonore.
Penguasa kala itu menangani kasus prostitusi bukan lantaran pertimbangan moral maupun agama, melainkan aspek kesehatan. Dalam arsip "Pranatan Pasundelan" bertarikh 1858 yang tersimpan di Perpustakaan Reksopustaka Mangkunegaran, tersurat kerja sama apik antara tiga institusi. Residen Surakarta, Pakubuwana VIII, dan Mangkunegara V bersama-sama menyikapi maraknya penyakit akibat pergaulan dengan sundel.
Kasus tersebut memang merebak di Solo, Klaten, dan Boyolali sampai disorot jurnalis Javasche Courant. Maklum, di ketiga daerah ini banyak dijumpai prajurit militer dan buruh laki-laki perkebunan yang butuh menyalurkan hasrat seksual. Sementara sebagian dari mereka tidak membawa istri.
Di satu pihak, belitan kemiskinan dan kemelaratan di wilayah perdesaan mendorong perempuan menceburkan diri menjadi pelayan nafsu para lelaki. Sebagaimana dilaporkan surat kabar Darmo Kondo edisi 9 September 1925 dalam artikel berkepala "Pengakoean Seorang Perempoean Djalang", itulah alasan konkrit mereka memilih profesi sebagai wanita tuna susila di kota.
Keadaan hidup demikian susah dan mereka tak betah menahan perut kosong. Karena itu lebih baik menjadi lonte ketimbang mencuri atau merampok. Mereka sadar bahwa menjual diri merupakan pekerjaan hina. Tapi apa boleh buat, bekerja sebagai buruh kontrak juga tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Maka mereka pun memantapkan diri sebagai kupu-kupu malam, lantas bersiap mengikuti aturan main pemerintah dan germo.
Regulasi resmi yang terus diperbarui hingga awal abad ke-20 itu mengatur tentang kewajiban pelacur mencatatkan diri pada pemerintah distrik terkait status pekerjaannya, pemeriksaan kesehatan pelacur secara berkala, serta identifikasi penyakit kelamin. Rupanya aturan itu tidak menyasar kaum sundal saja, tapi juga aparat hukum. Semisal, polisi diharuskan melaporkan jumlah pelacur serta mengawasi para pengisap candu dan pemabuk di sekitar lokalisasi. Diatur pula kewenangan polisi dalam perkara pelacur dan sanksi atas pelanggaran hukum bisnis lendir.
Mantri polisi berwenang menindak tegas pelacur yang mangkal di tempat umum seperti hotel, losmen, warung makan, warung kopi, taman kota, dan tempat keramaian. Sebab kondisi inilah yang membuat penyakit kelamin kian merebak dan sukar ditanggulangi.
Tidak dipungkiri, keberadaan prostitusi ilegal jauh lebih banyak dibanding prostitusi legal. Mereka melakoni secara sembunyi-sembunyi alias kucing-kucingan dengan kepolisian guna menghindari jeratan hukum. Kesehatan tubuh pun tak digubris. Catatan kolonial bertarikh 1870 menyebut 575 orang menderita sifilis dan 5.105 orang terkena morbi veneris. Pada 1882 jumlah penderita sifilis naik menjadi 1.290 orang. Sementara pengidap morbi veneris terbesar muncul pada 1887, yaitu 10.108 orang.
Penguasa lokal dan residen terkejut mendapati lonjakan angka itu. Maka, didirikanlah rumah bordil baru. Lokalisasi di Solo pun bertambah, ada di Kratonan, Kestalan, dan Gilingan yang ditandai dengan sebuah plakat stempel hitam yang dipasang pemerintah Hindia Belanda. Plakat itu menandakan status resmi rumah pelacuran dan kewajiban mematuhi peraturan.
Ditegakkan juga aturan bagi germo dalam mengelola ruang esek-esek yang berizin resmi itu. Sebagai contoh, pemilik rumah bordil kudu menjaga kebersihan, kerapian, serta menyediakan cukup air dan peralatan mandi bagi para pelanggan. Sabun karbol dan handuk bersih harus disiapkan. Tak hanya itu, pada dinding rumah bordil dipasang pamflet peringatan bahaya penyakit kelamin berikut cara pencegahannya.
Barang Baru, Stok Lama
Di Solo tempo dulu, hidup seorang germo Tionghoa bernama Njah Dengkel. Jurnalis Darmo Kondo memberitakan usaha sang muncikari berada di kampung Kratonan dan dijubeli perempuan Cina maupun Jawa. Bisnis pelacuran memang berkembang pesat bak jamur di musim penghujan. Saban malam tak sedikit singkek alias orang Tionghoa totok singgah dan menikmati tubuh anak-anak asuh Njah Dengkel. Berdatangan pula para perempuan dari desa-desa mencari sesuap nasi.
Lantaran pelanggan semakin banyak, lokalisasi di Kratonan tak sanggup menampung lagi. Maka, selepas mengantongi izin dari pembesar kolonial, Njah Dengkel lekas membuka cabang di tempat lain. Bahkan, anak buahnya dioper pula di cabang-cabang baru. Dari situ lahirlah istilah "barang baru, stok lama".
Rijksblad Mangkunegaran menyuratkan pula penutupan rumah pelacuran di kawasan kekuasaan kerajaan. Arena prostitusi tak segan ditutup jika pengelolanya berani melanggar regulasi. Antara lain menghindari pemeriksaan kesehatan, ajang pemerkosaan, homoseksual, lesbian, dan menggagahi perempuan di bawah umur.
Kala itu, sempat heboh kasus anak-anak gadis di kampung menghilang dari rumah. Penguasa lokal dan penduduk setempat menaruh curiga hilangnya gadis atau perempuan lainnya karena terjerumus ke lembah pelacuran. Dugaan ini bukan tanpa dasar. Darmo Kondo edisi 10 April 1929 melaporkan bahwa pada 1928 tercatat 171 perkara bordeel gelap yang diperiksa hakim. Perkara ini melibatkan puluhan wanita remaja yang dijual untuk dijadikan budak atau pelacur.
Berkaca pada kasus di atas, aturan kudu ditegakkan untuk rumah bordil. Apabila nekat menyimpang, pelaku dan pengusaha kawasan hitam itu akan diganjar hukuman penjara selama 8 hari, atau dikenai denda sebesar 100 rupiah. Jika emoh melakoni sanksi tersebut, bisa diganti hukuman kerja paksa pada yayasan milik negara dengan tidak memperoleh upah, cuma dikasih makan selama 3 bulan.
Demikianlah potret penanganan prostitusi masa kolonial. Penanganannya bukan semata-mata alasan moral dan agama seperti sekarang, tetapi karena pertimbangan kesehatan manusia. Kisah di atas menunjukkan bahwa negara tidak bisa angkat tangan begitu saja dan membubarkan rumah bordil seenaknya. Pemerintah kolonial dan penguasa lokal menyediakan pelajaran berharga.
==========
Heri Priyatmoko adalah dosen sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan pendiri Solo Societeit.
Editor: Ivan Aulia Ahsan