tirto.id - Sejarah pertempuran laut Sibolga berkaitan erat dengan situasi Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Setelah merdeka, Republik Indonesia harus menghadapi agresi militer tentara Belanda yang semula membonceng sekutu.
Belanda, negara Eropa yang sempat menjajah wilayah nusantara hingga tumbang oleh serbuan Jepang pada 1942 itu, berniat kembali berkuasa di Indonesia.
Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949, empat tahun setelah proklamasi 17 Agustus. Selama 4 tahun tersebut, Belanda melakukan 2 agresi militer di Indonesia.
Agresi itu dilakukan Belanda berdasarkan keyakinan bahwa Indonesia masih merupakan wilayah jajahan mereka.
W.V.Ch Ploegman, salah satu pimpinan pasukan Belanda di Indonesia, seperti terhimpun dalam Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan (1994) suntingan Irna Hadi Soewito, menyatakan:
“Sekutu telah memenangkan perang, dan karena Belanda adalah bagian dari Sekutu, maka sudah menjadi haknya mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Kami tidak tahu itu apa,” kata Ploegman.
Demi memulihkan kekuasaannya di Indonesia, Belanda mengirim pasukan ke berbagai wilayah di tanah air. Salah satunya dilakukan melalui teluk Tapian Nauli di daerah Sibolga, sisi barat Sumatera Utara.
Kedatangan tentara Belanda melalui teluk Tapian Nauli itulah salah satu penyebab Pertempuran Laut Sibolga pada bulan Mei tahun 1947.
Kronologi Pertempuran Laut Sibolga
Pertempuran Laut Sibolga tercatat terjadi dua kali, yakni pada tanggal 10 dan 12 Mei 1947. Pertempuran ini jadi salah satu perang ikonik di era revolusi kemerdekaan Republik Indonesia.
Kronologi Pertempuran Laut Sibolga 1947 diawali oleh patroli yang dilakukan kapal penghancur HRMS Banckert JT-1 milik Belanda di sekitar teluk Tapian Nauli.
Kapal perang Belanda melakukan patroli untuk melakukan pengawasan laju kapal yang keluar masuk di wilayah lautan sekitar Sumatera Utara.
Cipto Duwi Priyono dalam jurnal “Laskar Laut Sibolga pada Perang Kemerdekaan RI (1946-1949)” mencatat, kapal perang Belanda tersebut melakukan pengadangan terhadap sebuah kapal dagang Singapura.
Padahal, kedatangan kapal dagang Singapura itu sebenarnya hal wajar. Pelabuhan Sibolga kala itu menjadi lokasi lalu-lintas perdagangan ekspor-impor yang ramai.
Saat pengadangan itu, 2 anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Pangkalan Sibolga turut ditahan militer Belanda karena berada dalam kapal dagang asal Singapura.
Dua anggota ALRI Sibolga ini kemudian dilepaskan keesokan harinya dan berlayar ke pelabuhan Sibolga dengan sebuah speedboat.
Menerima kabar soal keberadaan kapal perang Belanda di perairan Tapian Nauli, Residen Tapanuli Dr. Ferdinand Lumban Tobing menyurati pimpinan HRMS Banckert JT-1 untuk segera meninggalkan perairan Indonesia.
Namun, keesokan harinya, pada 10 Mei 1947, kapal HRMS Banckert JT-1 kembali terlihat di perairan Tapian Nauli. Hal ini membuat ALRI Sibolga khawatir.
Pimpinan kapal Belanda itu berdalih datang untuk menyelidiki kapal dagang Singapura yang sebelumnya diadang. Namun, orang-orang Sibolga sudah kadung curiga.
Pemerintah Tapanuli kemudian mengirim dua kapal boat berisi juru runding yang ditugaskan memberi peringatan supaya kapal perang Belanda segera pergi. Rombongan itu dipimpin Letnan Oswald Siahaan.
Namun, belum sampai kapal boat yang dikomandoi oleh Letnan Oswald Siahaan tersebut mendekati kapal HRMS Banckert JT-1, militer Belanda justru menurunkan beberapa kapal boat lengkap dengan perwira bersenjata.
Kapal-kapal boat Belanda tersebut terlihat oleh Letnan Oswald Siahaan berusaha mengepung pasukannya.
Tidak lama setelah itu, Letnan Oswald Siahaan memerintahkan dua boat yang dipimpinnya mundur agar terhindar dari kepungan Belanda. Namun, tiba-tiba, suara tembakan memberondong dari arah kapal boat Belanda.
Serangan ini sebenarnya sudah diprediksi angkatan laut Sibolga. Karena itu, bantuan polisi laut dan penembak jitu dari atas bukit telah disiapkan untuk mengantisipasi serangan mendadak dari Belanda.
Saat tentara Belanda menyerang 2 kapal boat Indonesia, adu tembak tak terhindarkan. Dua kapal boat Indonesia yang dikomandoi Letnan Oswald Siahaan lantas berhasil menghindari peluru Belanda dan kembali dengan selamat.
Keesokan harinya, 11 Mei 1947, pemerintah Tapanuli kemudian mengirimkan ultimatum ke pihak Belanda untuk pergi dari perairan Tapian Nauli atau akan dilakukan gempuran bersenjata.
Namun, Angkatan Laut Belanda mengabaikan ultimatum tersebut. Mereka kembali datang pada 12 Mei 1947.
Oleh karena itu, Residen Tapanuli memerintahkan penyerbuan bersenjata terhadap kapal perang Belanda tersebut.
Penembakan pertama dimulai oleh Pasukan Tentara Rakyat Indonesia Sibolga, kemudian disusul oleh tembakan dari berbagai pos pertahanan yang telah disiapkan pihak Indonesia.
Kapal perang Belanda tidak tinggal diam, mereka kemudian melakukan serangan balasan membabi buta ke arah pelabuhan Sibolga.
Serangan Belanda mengakibatkan terbakarnya pos ALRI Pangkalan Sibolga, rumah-rumah penduduk di Ketapang, gudang pelabuhan, serta beberapa kapal yang sedang berlabuh.
Meski begitu, pertempuran laut Sibolga yang kedua ini memaksa kapal Belanda mundur. Mundurnya angkatan laut Belanda terjadi setelah sebuah pesawat Catalina terlihat datang untuk melakukan evakuasi.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Addi M Idhom