Menuju konten utama
Mozaik

Sejarah Penangkaran Penyu di Pantai Pangumbahan, Sukabumi

Sebuah patung penyu rusak di Palabuhanratu dan viral. Bagaimana kisah keberadaan hewan yang jadi logo Kabupaten Sukabumi itu bermula? Ikuti kisahnya.

Sejarah Penangkaran Penyu di Pantai Pangumbahan, Sukabumi
Header Mozaik Sejarah Penangkaran Penyu di Pantai Pangumbahan. tirto.id/Tino

tirto.id - Sebuah patung penyu di Alun-alun Gadobangkong, Palabuhanratu, Kab. Sukabumi, belakangan jadi perbincangan. Pasalnya, patung di kompleks alun-alun yang menelan biaya total 15,6 miliar rupiah itu ternyata terbuat dari kardus dan bambu.

Sebagian warganet semula menduga angka belasan miliar itu hanya untuk pembangunan patung. Namun hal tersebut diklarifikasi oleh Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Jawa Barat, Indra Maha. Menurutnya, Rp 15,6 miliar adalah biaya yang digunakan untuk membangun seluruh kompleks alun-alun, termasuk pembuatan selfie deck, leuit, dan gedung kuliner.

Penyu hijau (chelonia mydas) yang juga muncul pada logo Kabupaten Sukabumi memang menjadi salah satu ciri khas wilayah tersebut. Penangkarannya terdapat di Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng.

Tidak sedikit yang mengamini sebuah anomali unik di Pantai Pangumbahan. Sebagai satu dari sekian puluh deret gugusan di pantai selatan, Pantai Pangumbahan menjadi satu-satunya tempat penangkaran penyu hijau.

Bukan isapan jempol belaka, Balai Penangkaran Penyu Ujung Genteng telah diakui UNESCO sebagai bagian dari biodiversitas Ciletuh Pelabuhanratu Global Geopark (CPUGGp).

Meski begitu, populasi penyu di Pantai Pangumbahan lambat laun mengalami penurunan. Ulah manusia, yakni perburuan untuk mengambil karapaks dan plastronnya masih marak ditemui. Entah untuk hiasan, atau bahkan telurnya dipercaya sebagai sebagai obat penyakit akut.

Patung Renyu Rusak di Pelabuhanratu

Tangkapan Layar Patung penyu yang rusak di Pelabuhanratu. (TikTok/@argha_rinaldy)

Sejarah Konservasi Penyu di Pangumbahan

Wilayah ini tak ujug-ujug menjadi lokasi pendaratan para penyu hijau di pantai selatan. Bahkan jauh di masa kolonial, Belanda telah mengendus chelonia mydas di sini.

Dikutip dari sukabumiupdate.com, menurut Musonip, karyawan konservasi penyu asal Kampung Jaringao, Belanda telah mengetahui daerah Pangumbahan sebagai habitat penyu hijau semenjak mereka menginjakkan kaki di tanah Pajampangan.

Mereka sampai di Pajampangan usai melabuh di Pantai Ciletuh atau Palangpang. Lantas singgah di Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, kemudian tertegun takjub setelah melihat puluhan penyu berlalu-lalang di sepanjang pantai.

Kompeni Belanda yang kala itu masih berupa kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membuka industri lahan basah di Pangumbahan. Perkebunan diperluas, dan tanaman komoditas mulai dikembangbiakkan. VOC juga membangun dermaga Bagalbatre untuk tambatan kapal.

Dari pengakuan Musonip, getok tular setempat mengabarkan bahwa Belanda pernah menunjuk kuncen kepercayaan untuk menjaga kelestarian habitat penyu hijau. Masyarakat kerap memanggilnya sebagai “Mama Usa”. Ia didatangkan jauh-jauh dari Cirebon oleh Belanda khusu untuk melestarikan penyu.

Di kawasan konservasi penyu Pangumbahan (Pangumbahan Turtle Park) Mama Usa cukup terkenal, khususnya beberapa kebijakannya.

"Saat itu salah satu kebijakannya, dilarang mengambil telur penyu atau masuk hutan pada akhir tahun selama tiga bulan yakni Oktober, November, dan Desember, agar bisa menetes dan berkembang biak. Jadi kearifan lokalnya sudah [dipercaya] sejak dulu ada larangan masuk hutan dan mengambil telur," tutur Musonip.

Konon, nama Desa Pangumbahan ialah salah satu sumbangsih pemberian Mama Usa.

Ade Hendri Yunanto, analis rehabilitasi dan konservasi, menyampaikan bahwa dulu masyarakat setempat kerap mengonsumsi telur penyu sebagai bahan masakan. Telur penyu merupakan salah satu sumber makanan yang berprotein dan bergizi tinggi.

Saat penyu-penyu sudah masanya bertelur, mereka akan menepi di sekitar bibir pantai. Mencari tempat teduh dan aman dari jangkauan predator.

Dulu, di sekitar pantai masih terdapat banyak pohon bintaro. Kini, pohon bintaro telah menjadi salah satu ekosistem hutan pantai kawasan konservasi.

Kebanyakan penyu di sini meletakkan telur-telurnya di ceruk sekitar akar pohon bintaro. Terlihat dari gundukan pasir bekas galian yang tak terlalu dalam.

“Jikalau penyu tersebut bertelurnya dekat dengan pohon bintaro, maka telur-telur tersebut akan pahit rasanya. Tetapi untuk diinkubasi atau ditetaskan aman, tidak masalah. Kemudian [telur-telur penyu] dikumbah (dicuci) oleh Mama Usa supaya rasanya tidak pahit,” kata Ade saat dihubungi via telepon pada Kamis (6/3/2025).

Sejak saat itu, wilayah tempat penangkaran penyu, yang kini menjadi tempat konservasi, dinamakan Pangumbahan. Berasal dari kata "kumbah" yang artinya cuci.

Sepeninggal Belanda, saat Indonesia memasuki periode awal kemerdekaan, pengelolaan penyu di Pantai Pangumbahan sempat vakum cukup lama. Faktor utamanya dikarenakan manajemen yang belum cakap terorganisasi.

Barulah pada 1973, sebuah perusahaan swasta mengambil alih kawasan konservasi setelah mendapat restu dari pemerintah daerah.

Ade menuturkan, perusahan swasta cenderung mengeksploitasi kawasan konservasi ini, serta urung mengutamakan asas keberlanjutan. Penangkaran yang seharusnya menjadi daerah lindung dan regenerasi penyu justru disulap jadi lahan industri.

Ia menambahkan, saat masa awal roda industri telur penyu, perusahaan ini hanya merilis atau melepasliarkan tukik (anak penyu) sebanyak 30 persen. Sisanya, telur-telur penyu bakal diperjualbelikan.

Namun kondisi ini berubah semenjak Pemda Sukabumi mengeluarkan Perda No. 2/2001, yang salah satu isinya mengatur perdagangan telur penyu.

Kebijakan itu mengubah status penyu menjadi hewan yang dilindungi. Kebijakan itu membuat CV Daya Bakti tak lagi melihat sisi “untung” dari perdagangan telur penyu.

Akhirnya pada 2008, kawasan Pantai Pangumbahan diserahkan kepada Dinas Provinsi Jawa Barat dan mereka mengubahnya menjadi kawasan konservasi. Namun beberapa tahun kemudian, Perda Sukabumi No. 2/2001 dibatalkan.

Menyusul pembatalan itu, pada 2005 Indonesia menandatangani kesepakatan The Indian Ocean and South East Asia (IOSEA). Konservasi penyu tak lagi dimiliki daerah, tetapi telah menjadi perhatian internasional. Oleh karenanya, perda diganti dengan Keputusan Mendagri No. 92/2005. Kondisi tersebut sekaligus menyatakan larangan keras jual beli telur penyu.

“Sekarang [jual beli telur penyu] dikenakan sanksi 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah,” tambah Ade.

Konservasi penyu di Pangumbahan

Konservasi penyu di Pangumbahan. FOTO/jabarprov.go.id

Perkembangan dan Tantangan Konservasi Penyu

Setelah menjadi kawasan konservasi, kini Pantai Pangumbahan menjadi salah satu daerah potensial untuk pengambangan pariwisata di Kabupaten Sukabumi.

Jarak sekitar 100 km (kira-kira 3 jam perjalanan) dari pusat kota tak mengurangi minat para pengunjung. Bahkan terjadi peningkatan pengunjung yang signifikan dari 2018-2023.

Pengunjung yang berdatangan ke Pantai Pangumbuhan berasal dari beragam daerah. Mulai dari penduduk lokal, lintas daerah, hingga turis mancanegara.

Kilau pasir putih yang menghampar di sepanjang pantai menjadi salah satu daya tarik. Namun jelas bahwa penyu hijau ialah primadona utamanya.

Jika beruntung, pada pukul 17.00 WIB para pengunjung dapat menyaksikan langsung pelepasan tukik (anak penyu) ke laut. Kegiatan ini dihelat langsung oleh Balai Penangkaran Penyu Ujung Genteng.

Setelah menetas, tukik-tukik menyembul dari timbunan pasir. Mengendap-endap sambil merayap, mereka mencari bau laut. Bersiap menjalani “masa hilang” dalam daur hidup penyu.

Telur-telur penyu menetas saat malam hari, antara pukul 19.00 hingga 02.00 WIB. Biasanya, sekali bertelur, penyu menghasilkan 56-140 butir, yang kelak menjadi tukik selama interval 14 hari. Namun, dari 100-an tukik, kemungkinan hanya satu tukik yang selamat serta tumbuh menjadi penyu dewasa.

Saat momen pelepasan tukik di Pantai Pangumbahan, petugas konservasi akan memandu pengunjung dengan beberapa aturan yang mesti dipatuhi. Tak boleh menyalakan lampu, berisik, dan mengganggu proses inkubasi.

Selain penyu hijau atau chelonia mydas, juga terdapat spesies lain macam penyu lekang (lepidochelys olivachea), penyu pipih atau tempayan (natator depressus), penyu sisik (eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (dermochelys coriacea). Namun konservasi di Balai Penangkaran Ujung Genteng didominasi penyu hijau.

Penangkaran di Pantai Pangumbahan diharapkan dapat menjadi gerakan pelestarian keberlanjutan. Mengingat penyu merupakan salah satu spesies langka yang mendekati kepunahan.

Laporan M. Apuk Ismane dkk. dalam “Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu di Pantai Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat” menyatakan, telah terjadi penurunan populasi atau jumlah sarang penyu.

Maka itu, dilakukan beberapa penelitian yang bertujuan memberikan solusi atas permasalahan ini. Misalnya, tunjangan teknis untuk mengoptimalkan fungsional penangkaran. Pendayagunaan relokasi sarang, minimalisasi gangguan populasi, bahkan penggunaan satelit dan tagging untuk memantau jalur migrasi penyu.

Baca juga artikel terkait KONSERVASI PENYU atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi