Menuju konten utama

Sejarah Imlek di Indonesia: Dilarang Soeharto, Diizinkan Gus Dur

Sejarah Imlek di Indonesia: Pemerintahan Orde Baru pernah melarang perayaan Imlek atau Tahun Baru Cina, aturan itu kemudian dihapus oleh Gus Dur.

Sejarah Imlek di Indonesia: Dilarang Soeharto, Diizinkan Gus Dur
Warga mempersiapkan persembahan altar dewa pada Cetiya Xiu Fa Thang atau di rumahnya di Salatiga, Jawa Tengah, Jumat (5/2/2021). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/wsj.

tirto.id - Sejarah Imlek di Indonesia telah melalui peristiwa panjang. Dulunya, rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden ke-2 Soeharto sempat melarang peringatannya.

Jika berkaca pada sejarah, sebagaimana tercatat dalam buku Imlek dan Budaya Cina di Indonesia (2019:hlm 17) yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo, mewahnya perayaan Imlek yang bisa kita saksikan saat ini sudah pasti tidak terjadi ketika zaman Orde Baru.

Ketika itu, siapa pun yang berupaya membawa atraksi kesenian yang berbau budaya Cina, maka ia bisa dituduh melakukan subversif. Jangankan di tempat publik, di lingkungan sendiri pun, warga keturunan Cina sering dipersulit menggelar upacara adat.

Salah satu biang keladinya adalah Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sebab, aturan itu mengekang kebebasan warga keturunan Cina.

Seorang akademisi sekaligus keturunan Tionghoa, Arief Budiman menyatakan, penyebab dibikinnya peraturan itu adalah rivalitas antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ketika itu, PKI punya hubungan erat dengan Republik Rakyat Cina. Maka dari itu, Arief bilang, Soeharto mulai menghubung-hubungkan dan mengidentikkan komunis dengan Cina, padahal itu adalah hal yang berbeda.

Masih dalam buku itu, meskipun Inpres Nomor 14 Tahun 1967 masih memperbolehkan pesta agama dan adat asal tidak mencolok dan digelar di lingkungan intern, pada kenyataannya, aparat kantor sosial sering punya tafsir sendiri.

Argumentasi itu diambil berdasarkan pengalaman sutradara teater N. Riantiarno yang ketika itu mementaskan Sampek Engtay pada tahun 1988 di Jakarta. Saat hendak mementaskan itu, ia nyaris dilarang badan intel. Menurut Riantiarno, yang hendak ia tampilkan adalah drama percintaan bukan cerita politik.

Izin akhirnya turun tetapi ada syarat yang tidak boleh dilakukan, yakni tidak boleh ada huruf Cina, tak boleh membakar hio, dan yang terakhir, liong (naga) hanya boleh ditaruh di dalam gedung.

Hal itu masih jauh lebih beruntung daripada kejadian di Medan. Sebab, polisi melarang pentas itu dengan alasan belum mendapat izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat. Padahal, sepuluh izin dari instansi lain sudah selesai.

Bahkan, Departemen Penerangan kala itu juga turut melarang penayangan orang sembahyang di kelenteng, aksi barongsai atau penggunaan bahasa Cina di layar Cina. Menurut Ishadi S.K., eks Direktur Jenderal RTF (Radio, Televisi dan Film) yang berkembang saat itu adalah pemikiran dogmat satu arah.

"Pelarangan itu dimaksudkan untuk mendorong orang-orang Cina di sini melupakan budaya mereka agar mereka mudah masuk dan beradaptasi dengan budaya kita," kata Ishadi.

Gus Dur Izinkan Perayaan Imlek

Saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden, langkah yang ia lakukan untuk warga Tionghoa adalah mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sebab, menurut Gus Dur, Inpres itu membatasi perkembangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Kisah ini dicatat Hendra Kurniawan dalam buku Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories (2020: hlm 58).

Sebagai gantinya, Gus Dur menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Aturan itu menjadi pelindung bagi warga Tionghoa yang kenyang mendapatkan sikap rasialis, diskriminatif, dan anti-Tionghoa.

Sebagaimana dilansir Liputan 6 pada 28 Januari 2001, Gus Dur sangat tidak setuju dengan perlakuan diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia, seperti yang dilakukan pemerintah Orde Baru.

Sikap itu Gus Dur sampaikan dalam peringatan Imlek 2.552 yang dilaksanakan oleh Majelis Tinggi Agama Kong Hu Chu Indonesia di Senayan, Minggu, 28 Januari 2001.

Apa yang disampaikan Gus Dur ini sejalan dengan sikapnya yang berani mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Sebab, Gus Dur mengaku bahwa leluhurnya adalah keturunan Tam Kim Han dari Cina.

Maka, kata dia, pemerintah tidak lagi memakai istilah warga keturunan atau bukan. Selain itu, Gus Dur juga mengatakan bahwa warga Tionghoa sudah bisa bebas menggunakan nama asli mereka, yang pada zaman Orde Baru sempat dilarang.

Tujuan Perayaan Imlek dan Arti Tahun Baru China

Hendra Kurniawan dalam buku Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories (2020: hlm 58), sebelum merayakan Imlek, orang Tionghoa akan membersihkan rumah dari sampah dan debu. Tujuannya untuk mempersiapkan diri agar seseorang bersih secara lahir batin pada hari tahun baru nanti.

Dalam sejarahnya, perayaan Imlek adalah pesta untuk menyambut datangnya musim semi. Karena mayoritas penduduk Tiongkok kala itu menggantungkan hidupnya dari bertani. Maka, para petani merasa hidup kembali setelah mengalami "kematian" pada musim dingin yang suram.

Para petani kembali mempersiapkan tanah, bibit dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian untuk mulai lagi bercocok tanam. Maka daripada itu, perayaan Imlek dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki selama setahun ini dan berharap kemakmuran akan datang pada tahun depan.

Situasi tersebut tentu berbeda dengan situasi di Indonesia. Sebab, perayaan Imlek yang jatuh di bulan Januari atau Februari ditandai dengan curah hujan yang lebat dan musim panen buah-buahan.

Pada prinsipnya, pergantian tahun adalah hal yang patut disyukuri. Maka daripada itu, tak heran mitosnya apabila hujan lebat di malam menjelang imlek berarti ada harapan rezeki yang bakal terjadi di tahun baru.

Selain itu, Tahun Baru Imlek juga melambangkan keharmonisan dalam tata kehidupan di muka bumi. Untuk itu, perayaan Imlek harus jadi momentum ungkapan syukur dan terima kasih atas kebaikan alam.

Masih dalam buku itu, tradisi pada bulan ketiga penanggalan Imlek (Sha Gwee), yakni Ceng Beng (Qing Ming) atau bersih kubur. Ceng Beng artinya bersih dan terang. Ceng artinya bersih, sementara Beng berarti terang.

Pada saat Ceng Beng ini, masyarakat Tionghoa tidak hanya membersihkan rumah, tetapi juga membersihkan kuburan leluhur. Tujuannya adalah sebagai bentuk rasa hormat kepada leluhur yang sudah meninggal.

Setelah merayakan Tahun Baru Imlek atau Sincia, lima belas hari kemudian mereka akan menggelar Cap Go Meh sebagai penutup rangkaian perayaan.

Baca juga artikel terkait PERAYAAN IMLEK atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yulaika Ramadhani