Menuju konten utama

Sejarah Panjang Rumah Sakit Gatot Subroto

RSPAD Gatot Subroto adalah rumah sakit tua di Indonesia yang sudah ada sejak zaman Belanda.

Sejarah Panjang Rumah Sakit Gatot Subroto
Gedung RSPAD Gatot Soebroto Ditkesad. FOTO/rspadgs.net

tirto.id - Pada September 1965, usia Hutomo Mandala Putra baru 3 tahun 3 bulan. Seingat Probosutedjo, dalam Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto (2013), hari itu tanggal 27 September 1965, Bob Hasan baru saja kirim daging menjangan. Di dapur, ada Siti Hartinah, perempuan yang dipanggil Mbakyu oleh Probo, sedang mengolah daging menjangan menjadi sup. Tommy sedang bermain-main dengan adiknya, Mamiek. Dua bocah kecil itu lalu berlari-lari ke dapur.

“Saat Mbakyu Harto sedang mengangkat panci berisi sup panas itu, dia tak melihat Tommy berlarian bersama Mamiek. Tommy berlari menabrak Mbakyu Harto. Terjadilah musibah itu. Panci sup lepas dari tangan Mbakyu Harto dan isinya mengguyur tubuh Tommy,” tulis Probo.

Tommy kecil lalu dibawa ke rumah sakit Gatot Subroto di bilangan Kwini, rumah sakitnya Angkatan Darat, karena suami Siti Hartinah adalah Mayor Jenderal Soeharto, waktu itu masih Pangkostrad. Di rumah sakit itulah Tommy dirawat. Di malam jahanam 30 September 1965 (G30S) Soeharto sempat berada di situ sebelum pulang ke rumah.

Beberapa malam kemudian, Soeharto ada di rumah sakit itu lagi. Kali ini bukan cuma urus Tommy. Pada malam 4 Oktober 1965, ada beberapa jenazah jenderal yang diotopsi—setelah ditemukan di sumur tua Lubang Buaya akibat jadi korban dari kelompok G30S pimpinan Letnan Kolonel Untung. Salah satunya atasan Soeharto, Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Rumah sakit ini terkait juga dengan sejarah kedokteran di Indonesia. Pada pertengahan abad 19, rumah sakit militer ini berperan besar bagi kelahiran pendidikan dokter di Indonesia. Saat itu dimulai pada 2 Januari 1849, rumah sakit ini jadi tempat kursus bagi 12 orang pemuda untuk dijadikan semacam mantri. Belakangan kursus itu berkembang menjadi sekolah dokter Jawa (STOVIA), yang lokasinya sekarang hanya bersebelahan dengan RS Gatot Subroto. STOVIA belakangan menjadi Geneeskundige Hoogeschool (sekolah tinggi kedokteran) dan akhirnya jadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dulu KNIL Yang Punya

Seperti dicatat Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016:385&425), tanah di kawasan Gambir dan sekitarnya dulu dimiliki oleh Cornelis Chastelien. Setelah Chastelien meninggal dunia, di bekas tanahnya itulah berdiri berdiri Landhuis Waltevreden yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel pada 1761.

Kawasan yang sekarang terbentang di antara Lapangan Banteng dan Senen itu adalah kawasan pemerintahan dan militer sejak awal abad 19. Tak hanya kantor-kantor, pemukiman, atau tangsi-tangsi, kawasan itu mau tidak mau harus punya rumah sakit. Rumah sakit ini selesai dibangun pada 1836 dan kemudian dikenal sebagai: Groot Militair Hospitaal Weltevreden (rumah sakit militer besar Jakarta).

Rumah sakit ini menjadi salah satu bangunan penting, baik bagi Belanda maupun bagi Jepang yang kemudian bergantian menjajah. Ketika Jepang datang, rumah sakit ini jadi milik Tentara ke-16, alias Rikugun Byoin. Sayangnya, setelah Jepang kalah, pihak Republik Indonesia yang baru berdiri belum bisa memaksimalkan rumah sakit ini demi kepentingan republik. Ibukota keburu dipindah ke Yogyakarta karena tidak aman dari gangguan tentara Belanda yang akhirnya bikin markas di bekas tangsi Batalyon X KNIL di Lapangan Banteng.

Hingga 1950, militer Belanda di Indonesia memanfaatkan rumah sakit ini hingga datangnya pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 dan angkat kakinya tentara Belanda pada 1950. Pemilik rumah sakit pun berganti pada 1950. Saat itu pemimpin RS adalah Kolonel dokter van Bommel.

Menurut dr. Satrio dalam Perjuangan dan Pengabdian: Mosaik Kenangan Prof. Dr. Satrio, 1916-1986 (1986:132), di bawah van Bommel ada 60 dokter, di antaranya 10 spesialis. Nyaris semua berstatus militer. Salah seorah ahli bedah, Borgers, berstatus sipil di sana. Selain itu ada 300 perawat yang semuanya perempuan Belanda.

Acara serah terima diadakan di bawah pohon beringin pada 26 Juli 1950. Sejak pagi Kolonel dokter Satrio sudah siap. Namun, Kolonel dokter Bommel berhalangan karena dipanggil pulang, sehingga diwakilkan kepada Letnan Kolonel dokter Scheffers. Saat itu Satrio didampingi Letnan Kolonel dr. Marsetio, Letnan Kolonel dr. Senduk, dan 20 perawat.

Jadi Rumah Sakit Mentereng

Groot Militaire Hospitaal di Jakarta tidak hanya ganti kepemilikan, tapi ikut ganti nama juga. Ada banyak Rumah Sakit Tentara (RST) di Indonesia setelah 1950, biasanya diambil-alih dari KNIL. Tapi RST ini adalah pusatnya, maka namanya dikenal sebagai Rumah Sakit Tentara Pusat (RSTP). Rumah sakit militer ini berada di bawah Djawatan Kesehatan Tentara Angkatan Darat (DKTAD), yang kelak berganti nama jadi Djawatan Kesehatan Angkatan Darat (DKAD) pada 1953. Karena itu pula, nama rumah sakit pun berganti jadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RUMKIT PUS-AD).

Pada 1957, Gatot Subroto yang saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat punya prakarsa membangun sarana bengkel ortopedi, fisioterapi, lapangan olah raga (basket), asrama. Itu alasan kemudian nama rumah sakit ini sesuai namanya: Gatot Subroto.

Infografik Riwayat RS Gatot Subroto

Infografik Riwayat RS Gatot Subroto. tirto.id/Fuad

Seperti dirilis Antara (18/02/1988), “Sejak tahun 1950 hingga sekarang rumah sakit itu terus berkembang sehingga sekarang dapat digolongkan rumah sakit yang memiliki fasilitas paling lengkap.” Fungsi-fungsinya sebagai rumah sakit militer tidak berubah: sebagai rumah sakit rujukan tertinggi di lingkungan Angkatan Darat, meski terbuka juga bagi masyarakat umum.

Pemerintah juga berkali-kali merogoh kantong untuk membangun berbagai fasilitas rumah sakit ini. Pada 1988, telah diselesaikan pembangunan lanjutan berupa gedung enam tingkat untuk poliklinik tahap II dan administrasi pusat, yang dilakukan di atas tanah 5.426 meter persegi. Biayanya tidak kecil, Rp12,55 miliar. Setelahnya, Ibu Negara Tien Soeharto yang menggunting pita peresmiannya.

Kini rumah sakit elite ini dikenal dengan nama Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Rumah sakit ini menjadi saksi kematian Tien Soeharto pada 28 April 1996, begitupun suami tercintanya, Soeharto. Berhari-hari sebelum meninggal dunia pada 27 Januari 2008, Soeharto sempat dirawat di sini.

Lagi-lagi, keluarga Soeharto punya pertautan erat dengan rumah sakit bersejarah ini.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono