Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Kesultanan Tidore: Pendiri, Kejayaan, & Daftar Raja-Sultan

Sejarah Kesultanan Tidore dan penjelasan tentang salah satu kerajaan yang pernah berjaya dalam sejarah Maluku Utara ini.

Sejarah Kesultanan Tidore: Pendiri, Kejayaan, & Daftar Raja-Sultan
Istana Kesultanan Tidore. wikimedia commons/fair use

tirto.id - Sejarah Kesultanan Tidore adalah catatan tentang salah satu kerajaan yang pernah berjaya dalam sejarah kawasan timur Indonesia, tepatnya di Maluku Utara. Riwayat Kerajaan Tidore kerap dikaitkan dengan saudara kembarnya, yakni Kesultanan Ternate.

Kejayaan Kesultanan Tidore berlangsung dari abad ke-16 sampai abad ke-18 Masehi. Masa ini ditandai dengan wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore yang luas, dari sebagian besar pulau Halmahera Selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, hingga pulau-pulau di sekitar Papua Barat.

Kesultanan Tidore menjalani peradaban yang cukup lama dan melalui berbagai tahapan dalam riwayat sejarah Nusantara bahkan hingga Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945.

Sejak tahun 1999 atau setelah Reformasi 1998 yang meruntuhkan rezim Orde Baru, Kesultanan Tidore dihidupkan kembali dalam konteks melestarikan warisan budaya serta sejarah dan masih eksis hingga saat ini.

Sejarah Awal Kerajaan Tidore

Pada awalnya, yang disebut dengan Maluku meliputi Ternate, Tidore, Makian, dan Moti. Keempat wilayah ini bernama “Moloku Kie Raha” yang artinya “persatuan empat Kolano (kerajaan)", demikian tulis Komaruddin Hidayat dan kawan-kawan dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia (2006:335).

Dikutip dari buku Kesultanan Islam Nusantara (2010:116) karya Darmawijaya,

sesudah terjadi Perjanjian Moti pada abad ke-14 Masehi, Kerajaan Makian pindah ke Bacan (Halmahera Selatan), sedangkan Kerajaan Moti pindah ke Jailolo (Halmahera Barat).

Adapun Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate tetap hidup berdampingan kendati kerap bersaing satu sama lain.

Raja pertama Tidore adalah Sahajati yang merupakan saudara Mayshur Malamo, raja pertama Kerajaan Ternate. Berdasarkan berbagai sumber, tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa Sahajati telah memeluk agama Islam.

Hamka dalam Sejarah Umat Islam (1981:14) menguatkan pendapat tersebut dengan menyebutkan bahwa saat itu di Maluku ada kepercayaan Symman yaitu memuja roh-roh leluhur nenek moyang.

Penguasa Tidore yang pertama masuk Islam adalah Ciriliyati dengan gelar Sultan Jamaluddin (1495-1512). Sejak saat itu, Kerajaan Tidore pun berubah menjadi kesultanan atau kerajaan bercorak Islam.

Sepeninggal Sultan Jamaluddin, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Al Mansur (1512-1526). Kala itu, pengaruh asing mulai masuk ke Maluku Utara, termasuk Tidore. Tidore kedatangan bangsa Spanyol yang diterima dengan baik.

Sebelumnya, kerajaan tetangga yakni Kesultanan Ternate telah terlebih dulu menjalin relasi dengan bangsa Portugis. Pada masa itu, Spanyol dan Portugis sedang bersaing menanamkan pengaruh di kawasan timur Nusantara.

Suasana persaingan pun semakin panas. Portugis berambisi merebut Tidore dari pengaruh Spanyol. Darmawijaya dalam Kesultanan Islam Nusantara (2010:135) menyebutkan, terjadi beberapa kali peperangan dengan Portugis dan Tidore.

Pertikaian ini berakhir dengan perjanjian damai. Portugis bersedia menarik armadanya dari Tidore namun dengan syarat.

Syaratnya adalah semua hasil rempah-rempah dari Tidore hanya boleh dijual kepada Portugis dengan harga seperti yang dibayarkan Portugis kepada Ternate.

Masa Kejayaan Kesultanan Tidore

Kejayaan Kesultanan Tidore terjadi pada masa Sultan Saifuddin (1657-1689 M) yang berhasil membawa kemajuan hingga Tidore disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Maluku.

Masa keemasan Kesultanan Tidore juga dirasakan di era kepemimpinan Sultan Nuku pada awal abad ke-19. Sultan Nuku memperluas wilayah kekuasaan Tidore sampai ke Papua bagian Barat, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai Kepulauan Pasifik.

Sejarah hidup Sultan Nuku (1797-1805 Masehi) amat heroik. Memimpin Kesultanan Tidore di Maluku Utara, ia berulangkali mengalahkan VOC atau Belanda. Sultan Nuku tak pernah kalah.

Lahir pada 1738 dengan nama Muhammad Amiruddin di Soasiu, Tidore, Maluku Utara, Pangeran Nuku adalah pangeran putra kesayangan Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin yang bertakhta sejak 1757.

Pangeran Nuku -yang seharusnya menjadi pewaris takhta yang sah- kala itu memang dalam pelarian akibat polemik internal yang terjadi di Kesultanan Tidore dan diperkeruh dengan campur tangan VOC.

Nuku tidak hanya dibantu oleh raja-raja kecil di sebagian kawasan Indonesia timur saja. Ia juga melibatkan orang-orang Mindanao (kini termasuk wilayah Filipina) dan mendapat bantuan dari Inggris yang memang menjadi pesaing terkuat Belanda.

Gelar “Kaicil Paparangan” berarti “Raja Perang” tersemat dalam nama Nuku. Itu berarti bahwa Nuku siap berperang demi menuntut haknya dan mengusir kaum penjajah dari Maluku Utara.

Tak hanya itu, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk menghadapi penjajah Belanda yang dibantu Inggris. Kegemilangan mengusir bangsa asing membuat Kesultanan Tidore mencapai kemajuan dengan pesat.

Runtuhnya Kesultanan Tidore

Di tengah suasana damai dan makmur, Sultan Nuku berpulang pada 14 November 1805 dalam usia 67 tahun. Pemimpin berjuluk The Lord of Fortune mewariskan masa-masa emas Kesultanan Tidore sebagai negeri yang diberkati dan berdaulat.

Sepeninggal Sultan Nuku, Belanda berusaha kembali mengincar Tidore. Hal ini diperparah dengan banyanya polemik internal yang membuat Kesultanan Tidore akhirnya jatuh dalam penguasaan Belanda.

Seiring kemerdekaan Indonesia pada 1945, Kesultanan Tidore bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidore, tepatnya Sofifi, ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara.

Beberapa peninggalan sejarah Kesultanan Tidore yang masih tersisa adalah Istana Kadato Kie serta Benteng Torre dan Tahula.

Daftar Raja/Sultan Tidore

  • Kolano Syahjati
  • Kolano Bosamawange
  • Kolano Syuhud alias Subu
  • Kolano Balibunga
  • Kolano Duko adoya
  • Kolano Kie Matiti
  • Kolano Seli
  • Kolano Matagena
  • 1334-1372: Kolano Nuruddin
  • 1372-1405: Kolano Hasan Syah
  • 1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
  • 1495-1512: Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin
  • 1512-1526: Sultan Al Mansur
  • 1526-1535: Sultan AmiruddinIskandarZulkarnain
  • 1535-1569: Sultan KiyaiMansur
  • 1569-1586: Sultan Iskandar Sani
  • 1586-1600: Sultan GapiBaguna
  • 1600-1626: Sultan Zainuddin
  • 1626-1631: Sultan Alauddin Syah
  • 1631-1642: Sultan Saiduddin
  • 1642-1653: Sultan Saidi
  • 1653-1657: Sultan Malikiddin
  • 1657-1674: Sultan Saifuddin
  • 1674-1705: Sultan Hamzah Fahruddin
  • 1705-1708: Sultan Abdul FadhlilMansur
  • 1708-1728: Sultan HasanuddinKaicilGarcia
  • 1728-1757: Sultan Amir Bifodlil Aziz MuhidinMalikulManan
  • 1757-1779: Sultan Muhammad MashudJamaluddin
  • 1780-1783: Sultan Patra Alam
  • 1784-1797: Sultan Hairul Alam KamaluddinAsgar
  • 1797-1805: Sultan Nuku
  • 1805-1810: Sultan ZainalAbidin
  • 1810-1821: Sultan Motahuddin Muhammad Tahir
  • 1821-1856: Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah
  • 1856-1892: Sultan AchmadSyaifuddinAlting
  • 1892-1894: Sultan AchmadFatahuddinAlting
  • 1894-1906: Sultan AchmadKawiyuddinAlting
  • 1947-1967: Sultan Zainal Abidin Syah
  • 1999-2012: Sultan Djafar Syah
  • Sejak 2012: Sultan Husain Syah

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yulaika Ramadhani