tirto.id - Suatu hari, Nabi Muhammad baru saja mengunjungi salah seorang sepupunya yang menetap di dekat Kakbah. Dia lalu memutuskan untuk melewatkan malam dengan berdoa di samping Kakbah sebagaimana yang suka dikerjakannya. Muhammad berdiri di sana untuk sembahyang selama beberapa lama. Tiba-tiba dia merasa sangat lelah dan sulit membuka mata. Muhammad pun berbaring di dekat Kakbah dan terlelap.
Dia menuturkan bahwa Malaikat Jibril kemudian menghampirinya. Jibril menggoyangkan tubuhnya dua kali untuk membangunkannya. Tetapi Muhammad tetap terlelap. Malaikat itu kembali menggoyangkannya, dan akhirnya dia terbangun.
Jibril membawanya ke pintu masjid, tempat seekor hewan putih (terlihat seperti persilangan antara kuda dan keledai, tapi bersayap) sedang menunggu mereka. Muhammad kemudian menaiki hewan yang bernama al-Buraq itu dan pergi bersama Jibril menuju Yerusalem.
“Di sana Rasulullah bertemu dengan sejumlah Nabi yang diutus sebelum dirinya (Ibrahim, Musa, dan lainnya), lalu dia memimpin mereka sembahyang di sebuah Kuil,” catat Karen Armstrong dalam Muhammad: Prophet for Our Times (2006: 113).
Selepas sembahyang, Muhammad dan Jibril diangkat menembus ruang dan waktu. Di tengah perjalanannya menembus tujuh lapis langit, dia kembali bertemu dengan sejumlah Nabi. Penglihatannya dipenuhi gambaran surga dengan segala keindahan cakrawalanya. Akhirnya dia tiba di Tempat Tertinggi (Sidrat al-Muntaha). Di sinilah Muhammad menerima perintah sembahyang lima waktu dan wahyu yang menetapkan prinsip-prinsip keimanan Islam (al-‘aqidah).
Nabi Muhammad dibawa kembali ke Yerusalem oleh Malaikat Jibril dan al-Buraq, dan dari sana menuju Makkah. Dalam perjalanan pulang, dia melihat beberapa kafilah dagang yang juga hendak menuju kota itu. Masih larut malam ketika mereka tiba di dekat Ka’bah. Malaikat dan al-Buraq pergi, dan Muhammad bergegas ke rumah Umm Hani, salah seorang sahabatnya yang paling dipercaya.
Muhammad kemudian mengisahkan kejadian yang baru saja dialaminya, dan Umm Hani menyarankan Nabi agar tidak menceritakannya kepada siapa pun. Namun Nabi menolak sarannya.
Ujian
Perjalanan Malam (Isra) dan naik ke langit (Mikraj) itu melahirkan pelbagai tafsir, baik tatkala Nabi mengisahkan kejadian itu maupun era kiwari di kalangan ulama. Ketika Muhammad pergi ke Kakbah dan menceritakan pengalamannya, ejekan, tawa, dan hinaan segera bermunculan.
Orang Quraisy percaya bahwa akhirnya mereka memiliki bukti orang yang mendaku nabi ini sesungguhnya orang gila, karena dia telah berani mengklaim telah melakukan perjalanan ke Yerusalem dalam satu malam (yang biasanya membutuhkan waktu selama beberapa minggu). Dan lebih dari itu, juga telah dibawa ke hadapan Tuhannya Yang Maha Esa. Kesintingannya tampak nyata.
Pengalaman Isra ini didedahkan dalam kitab-kitab klasik bahwa itu adalah sebuah hadiah dari Allah dan penobatan untuk Rasul pilihan (al-Mushthafa), dan merupakan cobaan nyata bagi Muhammad serta para pengikutnya. Ia menandai garis pembatas antara orang beriman yang keimanannya dibuktikan dengan kepercayaan mereka pada Nabi dan misinya, dan orang liyan yang dibuat terperanjat oleh kemuskilan kisah semacam itu.
Ujian dari peristiwa Perjalanan Malam Nabi bagi pengikutnya terjadi saat mereka sedang berjuang menghadapi situasi yang sangat berat. Diriwayatkan, beberapa orang keluar dari Islam, tetapi kebanyakan tetap percaya pada Rasulullah. Beberapa minggu kemudian, pelbagai fakta membuktikan kebenaran dari beberapa bagian kisah Nabi, misalnya tibanya kafilah dagang yang kedatangannya telah Nabi sebutkan dan telah dia jelaskan ciri-cirinya dengan akurat.
Pengasingan
Abu Bakr Siraj al-Din alias Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2007, membayangkan posisi Nabi Muhammad di Makkah memburuk dengan cepat setelah wafatnya Khadijah dan Abu Talib, sumber pendukung utama emosional dan sosialnya.
Abu Talib sebagai pemimpin Bani Hasyim diganti paman Muhammad yang lain, Abu Lahab (mungkin jukukan peyoratif lain yang bermakna “Bapak Api”). Tetapi Abu Lahab tidak mendukung keponakannya dan setelah beberapa saat dia melepas perlindungannya. Ini kira-kira terjadi pada 619 Masehi.
Sadar bahwa kebanyakan orang Quraisy tidak lagi bisa ditaklukkan, Muhammad mulai mengkhotbahkan ajarannya di pasar-pasar periodik di luar Makkah untuk mendapatkan dukungan lain. Awalnya dia hanya sedikit berhasil, bahkan ditolak para pemimpin kota Ta’if, sekitar 100 km sebelah barat Makkah (hlm. 144).
Namun kala itu dia dihubungi sekelompok kecil orang-orang dari Kota Yathrib, suatu kumpulan oase pohon kurma yang berada sekitar 325 km utara Makkah. Yathrib telah lama tercabik-cabik oleh pertentangan politik antara Aws dan Khazraj, klan-klan rival dari suku-suku dominan dari tempat itu, dan Bani Qayla. Tiga klan Yahudi utama di Yathrib, Nadir, Qurayza, dan Qaynuqa’, mungkin juga terlibat di dalam pertentangan ini.
Menurut Lesley Hazleton dalam The First Muslim: The Story of Muhammad (2013), “Orang-orang Yathrib yang mencari Muhammad menginginkan seseorang untuk menyatukan dan memimpin kota mereka; mereka terkesan dengan misi Rasulullah dan memeluknya, lalu berjanji untuk kembali ke tempat perdagangan itu pada waktu yang akan datang dengan lebih banyak orang” (hlm. 182).
Tahun selanjutnya, kelompok besar bertemu dengan Nabi dan mengundangnya untuk datang ke Yathrib dengan para pendukung dari Makkah, sehingga mereka dapat membangun sendiri di sana suatu komunitas yang didedikasikan untuk hidup dan beribadah sebagaimana dituntut oleh Allah SWT, tanpa gangguan.
Tidak lama sesudah itu, pada 622, Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Makkah berhijrah (“emigrasi atau meminta perlindungan”) ke Yathrib—selanjutnya akan dirujuk dengan namanya yang kemudian, Madinah (dari madinat al-nabi, “kota nabi”). Hijrahnya Muhammad ke Madinah—karena dianggap sebagai mulai terwujudnya, meminjam istilah Fred M. Donner, “komunitas umat beriman” yang independen secara politik—diadopsi dalam beberapa tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad sebagai titi mangsa awal kalender Islam (1 Hijriah).
Orang-orang yang berhijrah dengan Muhammad disebut dengan Muhajirin, “emigran”, sementara orang-orang Madinah yang menerima mereka kemudian dijuluki dengan nama Ansar, “Penolong”.
Sumber tradisional menjelaskan kepada kita tentang kehidupan Muhammad di Madinah secara mendetail, memberikan informasi mengenai beberapa peristiwa yang bersifat personal, seperti sejumlah pernikahannya dan kelahiran (serta kematian) putra-putrinya. Yang perlu dicatat mengenai persoalan pribadi Muhammad adalah pernikahannya dengan Aisyah muda, putri pendukung kuatnya, Abu Bakar.
Yang juga penting ialah hubungan dekatnya dengan sepupunya, Ali ibn Abi Thalib, salah seorang dari generasi pertama yang mengikuti dakwahnya, yang menikahi putri Muhammad, Fatimah. Sumber-sumber tradisional juga menekankan pendirian komunitas independen oleh Muhammad di Madinah, termasuk beberapa catatan tentang bagaimana dia membangun praktik-praktik ritual dan meletakkan bimbingan sosial dan prinsip-prinsip hukum untuk komunitas baru itu.
Aktivitas politik Muhammad di Madinah, yang pada akhir hidupnya akan sukses menciptakan komunitas politik otonom, bisa dianggap sebagai embrio negara.
Kemenangan
Dalam historiografi briliannya, Muhammad and the Believers; at the origin of Islam (2010), Fred M. Donner meneroka dua tema besar dalam proses ini.
Pertama, cerita mengenai konsolidasi kekuatan politik Nabi atas Madinah itu sendiri, yang menghadapi sejumlah tantangan. Dalam hal ini termasuk ketegangan yang kadang terjadi antara kaum Muhajirin dengan Ansar; oposisi yang kuat dari beberapa orang Madinah yang mendukung hanya separuh hati, yang nampaknya telah bekerja melawan Muhammad di belakang layar; dan hubungannya yang bermasalah dengan kaum Yahudi Madinah.
Tema besar kedua dari kehidupan politik Rasulullah di Madinah adalah kisah perjuangannya yang memakan waktu lama. Dalam hal ini, yang paling utama adalah perjuangan dan keberhasilannya menaklukkan Makkah.
Yang jelas berkelindan dengan kedua tema itu adalah tema ketiga, wiracerita mengenai perjuangan Muhammad untuk memenangkan dukungan dari kelompok nomad gembala yang tinggal di sekitar Madinah.
Semua fakta ini menjadi komponen penting dalam membangun koalisi kemenangan di Arab bagian barat. Muhammad pun berhasil menjadi figur politik terbesar di Arab bagian barat setelah peristiwa Isra dan Mikraj.
==========
Muhammad Iqbal adalah sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya. Ia menyelesaikan studi Pascasarjana Ilmu Sejarah di FIB UI. Bukunya, 30 Kronik Ramadan, akan diterbitkan Penerbit EA Yogyakarta.
Editor: Ivan Aulia Ahsan