Menuju konten utama

Sejarah Ilmu Kalam: Perkembangan Teologi Islam, Berawal dari Tahkim

Perkembangan Ilmu Kalam dalam Islam berawal dari peristiwa tahkim atau arbitrase antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan.

Sejarah Ilmu Kalam: Perkembangan Teologi Islam, Berawal dari Tahkim
Header Kronik

tirto.id - Kemunculan Ilmu Kalam dalam Islam berawal dari peristiwa tahkim atau arbitrase antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perseteruan politik ini tidak hanya memecah belah Islam dalam perkara pemerintahan, namun juga bergeser ke penafsiran teks agama yang melahirkan disiplin Ilmu Kalam.

Secara definitif, Ilmu Kalam adalah ilmu yang mempelajari masalah ketuhanan atau akidah. Padanan kata populernya adalah teologi Islam. Harun Nasution dalam buku Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) menuliskan bahwa Ilmu Kalam adalah “ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, kenabian, alam, dan hubungan Tuhan dengan makhluk-makhluknya".

Di masa kenabian, tidak ada perdebatan mengenai perkara akidah dan ketuhanan. Nabi Muhammad merupakan rujukan tunggal. Orang-orang yang berselisih mendatangi beliau SAW untuk mencari pencerahan sehingga tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai perkara ketuhanan.

Selain itu, Nabi Muhammad juga sempat melarang sahabatnya bertanya mengenai qadar yang nantinya menjadi kontroversi di kalangan ahli Ilmu Kalam. Selepas wafatnya Rasulullah, barulah aliran pemikiran Islam bermunculan.

Ilmu Kalam kemudian lahir ketika terjadi perseteruan politik di masa Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebenarnya, embrionya sudah tampak di masa kekhalifahan Usman bin Affan. Di masa itu, orang-orang yang memiliki paham seragam saling berdiskusi membincangkan pemikiran mereka. Lantas, ketika terjadi peristiwa arbitrase, mereka muncul mengungkapkan pandangan mereka masing-masing dan menentukan sikap terhadap Ali dan Muawiyah.

Peristiwa arbitrase itu terjadi pada perang Shifin pada 657 M, pertempuran antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang ini merupakan serangan Ali terhadap Muawiyah yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Kekhalifahan Rasyidin.

Karena kekuatan tempur dan strategi perang kedua belah pihak yang nyaris setara, diajukanlah arbitrase untuk mengurangi jumlah korban yang berjatuhan. Arbitrase ini adalah upaya penyelesaian perseteruan politik antara Ali dan Muawiyah dengan melibatkan pihak ketiga yang diharapkan dapat memberikan keputusan netral.

Pihak ketiga untuk merundingkan seteru politik itu adalah Amr bin Ash dari kubu Muawiyah dan Abu Musa Al-Asyari dari kubu Ali bin Abi Thalib. Setelah perundingan itu, Abu Musa Al-Asyari kemudian menyampaikan hasil arbitrase sebagai berikut.

“Setelah kami mengadakan pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik untuk mengatasi kemelut ini, selain mengambil langkah demi kebaikan kita semua, yaitu kami sudah sama-sama sepakat untuk memecat Ali dan Muawiyah dan selanjutnya kita kembalikan kepada Majelis Syura di antara kaum muslimin sendiri," sampaikan Abu Musa Al-Asyari, sebagaimana dikutip dari buku Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (2014) yang ditulis Yunan Yusuf.

Keputusan tahkim ini pun langsung diingkari oleh kubu Muawiyah, yang diikuti dengan kubu Ali bin Abi Thalib. Jejak politik ini rupanya bergeser ke penafsiran agama yang menjadi titik tolak lahirnya tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf yang ditulis Ahmad Zaini.

1. Aliran Khawarij yang menolak tahkim atau arbitrase sepenuhnya, serta menanggap bahwa orang-orang yang menyetujui tahkim telah melanggar hukum Islam. Orang yang melanggar hukum Islam telah berdosa besar.

Selanjutnya, orang-orang yang melakukan dosa besar tergolong sudah murtad dan keluar dari Islam, serta darahnya halal ditumpahkan. Karena itulah, mereka berencana membunuh empat pentolan pelaku tahkim, yaitu Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asyari. Namun, yang berhasil dibunuh hanya Ali bin Abi Thalib.

2. Aliran Murjiah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan tidak kafir. Perkara dosa diserahkan kepada Allah SWT, terserah Dia mengampuni atau memasukkan pelakunya ke dalam neraka.

3. Aliran Mu'tazilah yang menolak dua pendapat di atas. Bagi aliran Mu'tazilah, orang berdosa besar tidak bisa dianggap kafir, tidak juga orang mukmin. Pendosa besar berada di posisi antara Islam dan kafir. Penegasan posisi inilah yang menjadi penamaan Mu'tazilah, yang dalam bahasa Arab kesohor dengan sebutan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).

Setelah ketiga aliran di atas, muncul lagi aliran Ilmu Kalam yang terkenal, yaitu Qadariyah dan Jabariah, kemudian Asyariah, Maturidiyah, dan lain sebagainya.

Menurut aliran Qadariyah, manusia memiliki kehendak bebas (free will) dan kebebasan menentukan perbuatannya. Sebaliknya, Jabariah menganggap bahwa manusia ibarat hanya wayang yang digerakkan oleh dalang; tidak memiliki kehendak bebas (fatalisme) dan tidak memiliki kebebasan menentukan perbuatannya.

Dalam perkembangannya, aliran Ilmu Kalam mengadopsi prinsip-prinsip filsafat Yunani untuk memahami akidah Islam. Namun, ahli Ilmu Kalam (Mutakallim) tidak pernah keluar dari koridor Islam dan tetap memosisikan wahyu, yaitu Al-Quran dan hadis sebagai sumber primernya.

Baca juga artikel terkait ILMU KALAM atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani