tirto.id - Zaman pendudukan Jepang, di sekitar Pasar Baru Jakarta sering berkumpul para pemuda asal Minahasa yang membenci fasisme Negeri Matahari Terbit itu. Hal yang sama ditunjukkan oleh militer Jepang yang tidak memercayai mereka, sebab waktu itu orang Minahasa dicap dekat dengan Belanda. Salah satu dari sekian pemuda Minahasa itu adalah Empie Johan Kanter yang saat itu usianya masih belasan tahun.
Namun, berdasarkan Ringkasan Riwayat Hidup dan Riwayat Perjuangan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 (1978:242), Empie disebutkan pernah bekerja di Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) sebagai bintara.
Setelah Jepang tumbang, ia terlibat dalam gejolak Revolusi Kemerdekaan di Jakarta. Bersama Ventje Sumual, Empie kerap menyambangi kantor Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang salah satu anggotanya adalah Mr Kasman Singodimedjo. Dua pemuda pengangguran itu kerap nongol dalam rapat-rapat KNIP.
Awal Oktober 1945, keduanya berkumpul bersama orang-orang Sulawesi di sekitar Menteng dan mendirikan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Di kesatuan laskar itulah mereka bergabung sepanjang revolusi.
“Saya bersama Empie Kanter tangani sistem pengorganisasian pasukan, administrasi, sistem pendidikan, dan pelatihan personil, dan yang pula penting soal hubungan keluar,” kata Ventje dalam autobiografinya yang berjudul Memoar (2012:51).
Saat ibukota Republik pindah ke Yogyakarta, KRIS juga ikut bergabung, dan kedua sahabat itu turut serta. Mereka diberi pangkat Kapten sebagai staf dalam Brigade XII.
Empie sempat jadi polisi di masa Republik Indonesia Serikat (RIS). Selama berdinas di Jakarta, ia kerap mengendarai sepeda motor besar. Tak lama menjadi polisi, ia kembali ke dinas ketentaraan. Pada tahun 1950, Empie memimpin Komando Militer Kota (KMK) Manado.
Permesta, Karier, dan Para Penerus
Empie lahir di Tombatu, Sulawesi Utara, pada 20 Maret 1924. Ia menikah dengan perempuan yang semarga dengan Ventje, yakni Betty Adelheid Sumual pada 14 Juli 1951. Dari perkawinan itu, mereka punya 4 orang anak yakni Chris, Johnny, Nico dan Reni.
Ketika berada di Yogyakarta pada zaman Revolusi, ia sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Hal inilah yang membuat ia menjadi Hakim Perwira Pengadilan Tentara Indonesia Timur. Pada 1952, Empie disekolahkan. Bersama Ismail Saleh, Ali Said, dan Sudharmono, ia masuk Akademi Hukum Militer dan lulus pada 1956 sebagai angkatan pertama.
Saat Permesta bergolak di Minahasa, Empie yang berada di Jakarta ikut ditahan. Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Kedua (1984:222) mengatakan bahwa tertangkapnya Empie dan beberapa perwira lainnya telah menggagalkan rencana pelarian pesawat terbang ke daerah Permesta.
Meski sempat ditahan, namun karena tak ikut bergerilya dalam Permesta seperti Ventje, maka selepas penahanan Empie bisa terus bertugas di Angkatan Darat sebagai perwira bagian hukum. Kariernya malah terus meningkat, sebab sejak 1962 sampai 1963 ia sekolah lagi sebagai angkatan pertama Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM). Setelah lulus, ia menyandang gelar Sarjana Hukum dan jawatannya adalah Corps Kehakiman (Ckh).
Sebagai sarjana hukum, seperti dicatat Harsya W. Bachtiar dalam Siapa Dia?: Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988:161), Empie aktif menjadi pengurus di Persatuan Sajana Hukum Indonesia (Persahi) dari tahun 1970 hingga 1979 dengan jabatan Ketua Umum.
Pada 1965, pangkat Empie sudah mencapai Kolonel. Setelah Letnan Kolonel Untung diadili Mahkamah Militer Luar Biasa, Empie terlibat dalam penerbitan buku Gerakan 30 September Di hadapan Mahmilub 2 di Jakarta: Perkara Untung. Selain itu, ia juga pernah menjadi Direktur Kehakiman Angkatan Darat merangkap Komandan Pusat Pendidikan Kehakiman (Pusdikkeh) di matra tersebut. Di almamaternya, ia sempat menjadi Wakil Direktur.
Jelang kejatuhan Sukarno, Empie menjadi salah satu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dari 1966 hingga 1968. Lalu pada 1977 ia terpilih sebagai anggota DPR dari Golongan Karya. Saat itu, pangkatnya sudah Mayor Jenderal.
Dari 3 Februari 1971 sampai 3 Maret 1976, ia adalah Oditur (jaksa militer) Jenderal ABRI. Setelah itu menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) pada Departemen Pertahanan Keamanan (Hankam). Empie juga pernah menjadi Koordinator Operasi Penertiban Pusat.
Pada 9 Februari 2004, Empie Johan Kanter meninggal dunia. Dua dari empat orang anaknya belakangan dikenal sebagai orang penting dalam perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia.
Chris Kanter, anak sulungnya, semula ingin seperti ayahnya menjadi tentara. Namun ia dilarang ibunya masuk Akabri. Maka ia pun kuliah di Jurusan Teknik Universitas Trisakti dan sejak kuliah sudah membangun usaha sendiri.
Setelah jatuh bangun, Chris akhirnya memiliki tiga perusahaan di bidang logistik dan jasa transportasi, yakni PT KN Sigma Trans, Sigma Sembada Trans, dan PT Unggul Cipta Trans. Ia pun pernah menjadi Direktur Utama Indosat sebelum akhirnya mundur pada pertengahan 2019.
Karier Empie dibidang hukum diikuti oleh anaknya yang lain, yakni Nico Kanter yang lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1983. Nico pernah bekerja sebagai penasehat hukum di perusahaan minyak Inggris, British Petroleum Indonesia (BP Indonesia).
Pada 2007, Nico bergabung dengan perusahaan tambang pengolahan nikel yang beroperasi di Blok Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kini, Nico menjabat sebagai presiden direktur dan CEO PT Vale Indonesia.
Editor: Irfan Teguh