tirto.id - Senin pagi 15 September 1913, sebuah sekolah dibuka di Jomblang, kaki Bukit Candi, Semarang. Sekolah itu dipimpin Nyonya Wallbrink dengandibantu tiga guru. Seturut pemberitaan Bataviaasch Nieuwsblad (17 September 1913), anggota Dewan Kotapraja SemarangMas Aboekassan Atmodirono mengucapkan terima kasihnya kepada Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henrij Abendanon serta orang-orang Eropa lain yang membantu terujudnya sekolah untuk anak-anak perempuan itu.
Atmodirono yang juga anggota Kartini Vereeniging, disebut De Expres (17 September 1913), kira-kira mengatakan: hari pembukaan sekolah itu adalah hari bahagia karena ia menunjukkan kemajuan pendidikan untuk anak perempuan.
Sekolah yang dibuka oleh Atmodirono itu tak lain adalah Kartini School. Sekolah itu adalah semacam penghormatan untuk Raden Ayu Kartini dari Jepara. Sekolah itu juga merupakan perwujudan proyek politik etis di Hindia Belanda yang dicetuskan oleh van Deventer. Bambang Eryudhawan dkk. dalam 100 tahun Kebangkitan Nasional (2008, hlm. 160) menyebut Atmodirono duduk dalam komisi persiapan sekolah putri tersebut sejak 1912 bersama Ir. Maclaint Pont (1894-1971), seorang arsitek terkenal.
Atmodirono yang kita bicarakan ini pun adalah seorang arsitek. Bukan sembarang orang, dia sering disebut-sebut sebagai arsitek bumiputra pertama.
Aboekassan Atmodirono adalah anak Jaksa Kepala Atmodirono. Saat dewasa dia lebih sering disebut sebagai Atmodirono saja, seturut nama ayahnya. Dia lahir di Wonosobo pada 18 Maret 1860.
Berkat status ningrat keluarganya, Atmodirono mendapat pendidikan terbaik di zaman itu. Dia mengenyam pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS) yang merupakan sekolah elite untuk anak-anak Eropa. Lepas sekolah dasar, Atmodirono meneruskan sekolahnya di Koningan Wilhelmina School (KWS) dan lulus pada 1878.
Selepas menamatkan pendidikan, Atmodirono lantas bekerja di Burgelijke van Openbare Werken (BOW)--semacam dinas pekerjaan umum era kolonial. Dia meniti kariernya dari pangkat pengawas kelas dua. Tempat dinasnya selalu berpindah-pindah, mulai di Pejarakan, Pasuruan, Purworejo, Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara, dan kemudian Semarang.
Pada 1898, Atmodirono mengikuti ujian arsitek di Semarang dan kariernya makin moncer setelah itu. Sejak 1 Mei 1901, seperti diberitakan De Preanger Bode (26 April 1901), Atmodirono naik jabatan jadi arsitek kelas satu di BOW.
Salah satu karya arsitektur Atmodironoyang terpuji adalah Societeit Sasana Soeka di Surakarta. Gedung yang dulu masuk wilayah Kadipaten Mangkunegaran itu dibangun atas restu Pangeran Mangkunegara VII. Societeit Sasana Soeka diresmikan pada 1918.
Setelah bekerja jadi ambtenaarlebih dari 30 tahun, pada 1912, Atmodirono menerima bintang penghargaan ksatria Orde van Oranje Nassau.
Peduli Pendidikan Bumiputra
Selain bidang teknik yang memang jadi pekerjaannya, Atmodirono juga menaruh perhatian pada bidang pendidikan. Kartini School yang turut didirikannya adalah satu dari bentuk perhatiannya. Di Semarang, Atmodirono juga turut membangun sebuah yayasan yang mengelola sebuah Technische Avondschool—sekolah malam bidang teknik.
“Dia memberikan pelajaran teknik dan ilmu lain yang terkait kepada pemuda pribumi dengan bakat yang memadai selama 5 hari dalam seminggu di malam hari,” tulis R.A. van Sandick dalam Levensschetsvan M.A. Atmodirono (1921, hlm. 5).
Bataviaasch Nieuwsblad (23 Juni 1917) memberitakan sekolah ini didirikan pada 1913. Technische Avondschool yang dibangun Atmodirono itu bernaung di bawah organisasi bernama Mangoen Hardjo—organisasi pegawai negeri pribumi. Atmodirono sendiri adalah presiden organisasi itu.
Misi utama sekolah itu adalah melatih calon pekerja teknik bangunan yang andal. Karena itu,kurikulum Technische Avondschool dibuat dengan mengikuti standar sekolah teknik pemerintah, seperti KWS—kini menjelma SMK Boedi Oetomo—atau Koningin Emma School (KES) Surabaya—kini SMK 2 Surabaya. Jam belajarnya dimulai dari jam 6 sore hingga jam 9 malam. Dengan begitu, para siswanya tetap bisa bekerja pada siang harinya.
Masa belajar di Technische Avondschool adalah lima tahun. Selain pelajaran teknik, para siswanya diberikan pelajaran seperti para pelajar Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO—setingkat SMP). Para tutor di sekolah itu adalahtiga insinyur BOW serta seorang arsitek. Muridnya sekitar 70 orang.
Technische Avondschool menerima lulusan sekolah dasar, termasuk Hollandsch Inlandsch School (HIS) atau yang setara dengan sekolah berbahasa Belanda tujuh tahun. Ujian masuknya biasa dilakukan pada Juni. Para lulusannya kemudian disalurkan ke perusahaan kereta api dan trem milik negara atau perusahaan partikelir lainnya. Sekolah semacam ini tentu juga ikut menguntungkan pemerintah kolonial karena turut menyediakan tenaga kerja terlatih dan biaya sekolahnya ditanggung oleh para siswanya sendiri.
Berorganisasi
Ketika Boedi Oetomo berdiri pada 20 Mei 1908, Aboekassan Atmodirono sudah dapat predikat sebagaiarsitek terpandang yang disejajarkan dengan ahli-ahli Belanda. Atmodirono termasuk salah satu priyayi yang begitu bersemangat menyambut kelahiran Boedi Oetomo. Di mata Atmodirono, Boedi Oetomo ibarat wadah bagi orang-orang lemah yang hendak menjadi kuat. Dia pun meyakini pendidikan adalah jalan untuk meraih kekuatan itu.
Bataviaasch Nieuwsblad (08 Oktober 1908) menyebut dia turut hadir dalam Kongres Nasional Jawa Pertama di Yogyakarta pada 4 Oktober 1908. Dalam kongres tersebut, Atmodirono sempat dicalonkan menjadi ketua pengurus Boedi Oetomo. Setelah itu, Atmodirono menjadi salah satu anggota penting Boedi Oetomo Cabang Jawa Tengah.
Pada 1911, Atmodirono turut pula dalam pendirian Mangoen Hardjo yang kemudian menghimpun sekira 2000-an anggota di Jawa dan Madura. Aktivitas organisi yang dilakoni Atmodirono itu pada akhirnya berbuah posisi politik di kalangan pembesar kolonial. Atmodirono diangkat menjadi anggota Volksraad pada 1918.
Posisinya di Volksraad diharap akan mampu membuatnya bisa terus memajukan pendidikan pendidikan orang-orang Indonesia seperti yang dicita-citakan Boedi Oetomo. Namun, Atmodirono hanya mengemban posisi itu selama dua tahun. Atmodirono yang sebenarnya sakit-sakitan itu tutup usia pada 23 Juli 1920 di Semarang.
Koran bahasa Belanda De Locomotief (21 Oktober 1920) memujiAtmodirono sebagai orang sederhana dan tanpa basa-basi yang berusaha memajukan dan membela kepentingan ekonomi kaum bumiputra. Raden Achmad Djajadiningat, salah satu priyayi terpelajar dari tahan Sunda, menyebut meninggalnya Atmodirono sebagai kerugian bagi Volksraad.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi