tirto.id - Dalam Perang Dunia I pada 1914, Inggris juga melibatkan koloni-koloninya di seluruh dunia untuk memerangi Jerman dan sekutunya. India tentu saja tak terkecuali. India punya populasi besar yang potensial di kerahkan untuk dukungan militer. Benar saja, Inggris tercatat mengerahkan 1,4 juta tentara India ke medan Eropa, Mediterania, hingga Timur Tengah selama perang berlangsung.
Golongan nasionalis India sepakat mendukung Inggris dengan harapan ada balas jasa yang bisa mereka tuntut dari Inggris di akhir perang. Pemimpin pertama gerakan kemerdekaan India Bal Gangadhar Tilak juga ikut mendukung dengan mengajak orang-orang India berperang di bawah bendera Inggris Raya. Setelah perang, Tilak ingin rakyat India bisa mengambil alih sektor-sektor ekonomi atau industri penting yang selama ini dikuasai Inggris. Baginya, ini adalah langkah kecil untuk mencapai pemerintahan independen.
Tak hanya itu, dengan mendukung Inggris, India juga mengorbankan hubungan baiknya dengan Austria-Hungaria. Sekutu Jerman itu adalah wilayah tujuan ekspor penting bagi barang-barang industri India. Hal itu pun rela dikorbankan untuk mencapai tujuan yang lebih penting, yaitu kemerdekaan India.
Meski begitu, selama Perang Dunia I, Pemerintah Inggris memberlakukan kebijakan darurat demi menjaga stabilitas politik dan meredam segala bentuk aktivisme masyarakat India yang “membahayakan”. Penjagaan pun diperketat di wilayah-wilayah yang menjadi pusat gerakan militan India Merdeka.
Setelah lebih dari 62 ribu tentara India tewas dalam perang, kesempatan untuk menagih balas jasa yang diharapkan pun tiba. Masyarakat India yang jengah dengan kebijakan represif Inggris selama perang mulai lebih berani menjalankan berbagai aksi protes di tempat-tempat umum.
Pada 13 April 1919, sebuah aksi damai dilakukan di Jallianwala Bagh, Amritsar. Aksi itu dipicu oleh penahanan dua orang pemimpin gerakan kemerdekaan India, Dr. Saifuddin Kitchlu dan Dr. Satya Pal.
Jallianwala Bagh adalah komplek taman kota yang dikelilingi tembok dan cuma punya satu jalur untuk keluar-masuk. Aksi damai itu diikiti oleh sejumlah besar masyarakat India termasuk perempuan dan anak-anak berkumpul. Melihat banyaknya masyarakat yang berkerumun, Brigadir Jenderal R.E.H. Dyer memerintahkan pasukannya untuk berjaga di wilayah itu.
Keputusan Brigjend Dyer yang reaksioner itu sebenarnya dijalankan sebagai bagian dari upaya meredam rentetan aksi protes yang terjadi sebelumnya. Tapi, perintah Dyer rupanya kebablasan. Setelah mengepung jalur keluar, para tentara Inggris menembaki massa dengan membabi-buta. Banyak peserta aksi damai yang tewas atau luka-luka akibat tindakan brutal itu.
Kejadian itu kontan memicu kemarahan para tokoh nasionalis India, termasuk Rabindranath Tagore—orang India dan Asia pertama yang menerima penghargaan Nobel. Sebagai wujud protes, Tagore pun melepaskan gelar kebangsawanan yang diberikan oleh Kerajaan Inggris.
Tagore pun menulis surat protes yang ditujukan langsung kepada wakil Kerajaan Inggris untuk India Lord Chelmsford. Penembakan massal yang dilakukan tentara Inggris itu disebutnya sebagai tindakan yang tak beradab.
“Karena alasan itu, saya meminta Yang Mulia melepas gelar kebangsawanan yang dulu disematkan oleh pendahulu Anda sebagai wakil Yang Mulia Raja,” tulis Tagore.
Pada akhir 1919, Sekretaris Inggris untuk India Samuel Montagu dan Lord Chelmsford menyusun sebuah rekomendasi untuk meredam perlawanan rakyat India. Mereka mengusulkan penambahan kursi bagi wakil India dalam pemerintahan kolonial. Parlemen Inggris menyetujui usulan itu pada 23 Desember.
Sejak itu, otoritas Inggris di India memberlakukan dualisme pemerintahan di tingkat provinsi dan penyerahan kepemimpinan atas sektor pendidikan, kesehatan masyarakat, dan agrikultur kepada orang India. Sementara itu, Departemen Hukum, Pajak Pertanahan, dan Kepolisian tetap di bawah kendali Inggris.
Meski memberi ruang lebih untuk pribumi India, tokoh-tokoh nasionalis India tetap tak puas pada kebijakan itu. Pasalnya, orang India hanya dimasukkan pada sektor-sektor yang minim anggaran. Apalagi, tidak ada kesepakatan yang jelas soal rencana anggaran bagi pemerintahan nasional India.
Gandhi Bergerak
Tidak lama setelah pembantaian di Amritsar, gerakan perlawanan rakyat India yang lebih radikal dan terstruktur pun dimulai. Mohandas Karamchand Gandhi, mulai dikenal karena membentuk pemerintahan independen.
Gandhi kemudian menjadi pemimpin Indian National Congress dan menawarkan konsep perlawanan nonkooperasi. Konsep ini kemudian dikembangkan menjadi konsep yang populer disebut swadeshi. Dengan konsep ini, dia mengajak seluruh masyarakat India untuk mulai menyingkirkan aspek-aspek Inggris Raya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penerapannya, Gandhi dan pengikutnya berhenti menggunakan barang-barang buatan Inggris, berhenti sekolah di lembaga pendidikan Inggris, dan berhenti mengenakan busana ala Inggris. Selain itu, dia juga menyarankan untuk melepaskan segala pekerjaan dan jabatan di lembaga milik Pemerintah Kolonial Inggris serta melepaskan segala penghargaan dan gelar yang diberikan oleh Kerajaan Inggris.
Aksi dan model perlawanan Gandhi diterima secara luas di seluruh India termasuk oleh para pendukung Gerakan Khilafah—organisasi pan-Islam yang mendukung Khalifah Turki Usmani sebagai pemimpin politik umat muslim di dunia. Gerakan Khilafah India kecewa dengan Inggris yang tidak menepati janjinya untuk memperlakukan Kekhalifahan Turki Usmani secara istimewa.
Gandhi pun bersekutu dengan dua pemimpin Gerakan Khilafah Muhammad dan Shaukat Ali. Persekutuan itu praktis memberi semangat baru bagi gerakan nonkooperasi.
“Sejak Januari 1921, gerakan itu mulai mencatatkan keberhasilan yang cukup besar di seluruh negeri. Gandhi bersama dengan Ali bersaudara melakukan tur nasional dan berpidato di hadapan ratusan pertemuan dan berdiskusi dengan banyak politisi di seluruh India,” tulis Bipan Chandra dalam India’s Struggle for Independence 1857-1947 (1988, hlm. 170).
Gerakan itu akhirnya membawa dampak besar dan memunculkan suasana perlawanan yang lebih masif. Hingga Desember 1921, jumlah masyarakat India yang ditangkap dengan tuduhan pemberontakan sipil telah mencapai 30 ribu orang. Dua bersaudara pimpinan Gerakan Khilafah itu serta sebagian besar anggota Indian National Congress juga ikut ditangkap.
Gerakan kemerdekaan pun semakin berani melancarkan aksi-aksi perlawanan fisik. Pada Februari 1922, terjadi bentrokan antara gerakan kemerdekaan dan polisi di Uttar Pradesh yang menyebabkan 22 polisi tewas.
Tidak ingin kekerasan fisik terus berlanjut, Gandhi akhirnya menyerahkan diri. Dia kemudian diganjar hukuman enam tahun penjara. Namun, dia dibebaskan setelah mendekam selama dua tahun.
Dalam dua tahun itu, Indian National Congress terpecah menjadi dua fraksi. Chita Ranjan Das dan Motilal Nehru memimpin fraksi pertama, sementara Sardar Vallabhbhai Patel dan Chakravarti Rajagopalachari memimpin fraksi oposisi.
The Quit India Movement dan Deklarasi Kemerdekaan
Pada 1 September 1939, Jerman menginvasi Polandia dan Inggris menyatakan perang dua hari kemudian. India pun terpaksa ikut berperang lagi melawan Jerman. Persis seperti dalam Perang Dunia I, Indian National Congress menyatakan dukungan dengan syarat pengambilalihan pemerintahan dalam negeri setelah perang usai.
Dalam situasi perang itu muncul kecurigaan Inggris akan mengingkari janjinya lagi. Karena itu, Gandhi berkampanye mengajak rakyat India untuk kembali melakukan pembangkangan sipil. Kali ini, dia menyebut aksinya sebagai gerakan Quit India.
Beberapa jam setelah Gandhi berpidato di hadapan Indian National Congress, otoritas kolonial Inggris langsung menangkap seluruh jajaran pimpinannya. Rakyat pun menanggapi penangkapan itu dengan aksi-aksi protes di jalan. Hingga akhir 1943, tidak kurang dari 90 ribu orang India ditangkap.
Pesan dari aksi-aksi itu amat jelas: kemerdekaan India. Panasnya suasana politik di India itu juga menjadi perhatian media-media internasional, salah satunya The Bangkok Chronicle.
“Bangkok Chronicle yang berbahasa Inggris mendapat kabar tentang tuntutan kemerdekaan rakyat India menjadi headline surat kabar ini pada 3 Agustus,” tulis Peter Ward Fay dalam The Forgotten Army: India’s Armed Struggle for Independence 1942-1945 (1993, hlm. 134).
Ketika Perang Dunia II berakhir, Inggris sibuk membangun kembali negaranya dan menutup utang-utang yang menumpuk selama peperangan. Ditambah dengan banyak faktor lainnya seperti Atlantic Charter, Imperium Inggris menjadi sangat lemah.
Dengan keadaan ekonomi yang lemah, Inggris kehilangan kemampuannya untuk menjalankan pemerintahan kolonial yang efektif. Pada akhirnya, Inggris pun terpaksa melepaskan koloni-koloninya. Rakyat India pun makin termotivasi memerdekakan diri lantaran banyaknya negara-negara Asia dan Afrika yang melepaskan diri dari otoritas kolonial Eropa pasca-Perang Dunia II.
Keadaan ini sangat menguntungkan bagi gerakan kemerdekaan India. Tapi, pemisahan diri dari Inggris juga mengandung tantangan tersendiri. Mereka perlu mengakomodasi beragam fraksi dan kepentingan politik kala mendirikan pemerintahan yang independen. Pasalnya, konstelasi politik India terbagi dalam banyak fraksi kala Perang Dunia II berakhir, di antaranya kelompok Islam, Hindu, Sikh, kelompok etnis Dravida, dan lain-lain.
Ini adalah tantangan berat bagi India karena ragam fraksi ini perlu bekerja sama untuk mendirikan sebuah pemerintahan demokratis modern. Persoalan paling krusial adalah bagaimana pemerintahan baru itu nantinya dapat mengakomodasi kepentingan masing-masing golongan.
Sementara itu, Perdana Menteri Clement Attlee mengumumkan bahwa otoritas kolonial Inggris akan keluar dari India pada Juni 1948. Namun, Gubernur Jenderal India yang terakhir Viscount Louis Mountbatten menyatakan hal itu bisa dilakukan lebih cepat. Pernyataan Viscount Mountbatten itu diumumkan beberapa saat setelah dia tiba di India pada Maret 1947.
Akhirnya, pada 3 Juni 1947, dia mengumumkan rencana pemisahan wilayah Koloni British India menjadi dua negara: India dan Pakistan. Rencana ini disepakati oleh semua pihak. Surat Keputusan Indian Independence Act kemudian diajukan ke Parlemen Inggris pada 18 Juli 1947.
Pada tengah malam 14 Agustus 1947, Inggris secara simbolis menyerahkan kekuasaannya kepada rakyat India di Parliament House, New Delhi. Maka sejak tanggal 15 Agustus 1947—tepat hari ini 74 tahun silam, India resmi menjadi negara merdeka.
Dalam pidatonya, Jawaharlal Nehru yang terpilih sebagai Perdana Menteri India yang pertama menyatakan, “Ketika dunia sedang tertidur, India membuka mata dan bangkit untuk hidup dan merdeka. Kita melangkah dari era lama menuju era baru dan jiwa India akan meneriakkan suaranya.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi