tirto.id - Sejarah Candi Jago yang terletak di Kabupaten Malang merupakan peninggalan Kerajaan Singasari yang bercorak Hindu. Candi Jago juga memiliki keterikatan dengan Majapahit -kerajaan penerus Singasari- yang memadukan corak dari agama Hindu dan Buddha.
Candi Jago dibangun sekitar tahun 1268-1280 Masehi. Lokasi Candi Jago terletak di lembah Gunung Bromo atau tepatnya di Dusun Jago, Desa dan Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sekitar 22 km dari timur Kota Malang.
Keberadaan Candi Jago saat ini terdapat di tengah permukiman padat. Candi Jago juga kerap disebut sebagai Candi Tumpang lantaran lokasinya. Adapun masyarakat setempat menyebutnya sebagai Candi Cungkup.
Situs Candi Jago sejak 2016 telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya Peringkat Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 203/M/2016, bersamaan dengan penetapan Candi Badut.
Keputusan tersebut berdasarkan penelitian yang dikakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur pada 2015. Sebelum itu, Candi Jago diteliti pertama kali oleh R.H.T. Friederich tahun 1854, lalu dilanjutkan oleh J.F.G. Brumund (1855), Fergusson (1876), Veth (1874), J.L.A. Brandes (1904) dan Stamford Raffles pada 1917.
Sejarah Candi Jago: Peninggalan Kerajaan Singasari dan Relasi Majapahit
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, Candi Jago sebenarnya merupakan jajaghu atau "keagungan". Candi Jago dibangun sebagai penghormatan untuk Raja Singasari, yakni Sri Jaya Wisnuwardhana, putra Anusapati. Jadi, pembangunan Candi Jago dilakukan setelah mangkatnya Wisnuwardhana yang wafat pada 1268 Masehi.
Negarakertagama mencatat, Wisnuwardhana memerintah Singasari sekitar kurun 1248-1268 M. Raja Wisnuwardhana menganut agama Siwa Buddha, yaitu suatu aliran yang memadukan antara ajaran Hindu Siwa dan Buddha. Aliran ini berkembang selama masa Singasari yang kemudian semakin kuat pada era Majapahit.
Candi Jago memperlihatkan sejumlah keterkaitan dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari.
Kendati sebenarnya merupakan peninggalan Singasari, namun Candi Jago memiliki hubungan dengan Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Jawa yang melanjutkan kekuasaan Singasari.
Majapahit pernah amat jaya di Nusantara ketika dipimpin oleh Maharaja Hayam Wuruk atau Sri Rajasanagara (1350-1389 M) yang didampingi oleh mahapatih legendaris, Gajah Mada. Hayam Wuruk disebutkan kerap mengunjungi Candi Jago.
Sebelumnya, candi ini dipugar atas perintah Adityawarman. C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (1985) menguraikan, Adityawarman masih termasuk keluarga Kerajaan Majapahit.
Adityawarman lahir dan besar di Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur. Ia merupakan Perdana Menteri Majapahit pada era pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350 M), ibunda Hayam Wuruk, dan menjadi duta besar kerajaan untuk Cina pada masa raja sebelumnya, Sri Jayanagara (1309-1328 M).
Sejak 1347 M, Adityawarman menjadi penguasa Kerajaan Melayu di Swarnabhumi (Sumatera). Pada era inilah, dikutip dari F.D.K. Bosch dalam De inscriptie op het Mansjuri-beeld van 1265 Caka (1921), Adityawarman memugar Candi Jago untuk menghormati leluhur dan keluarganya di Jawa.
Corak Agama dan Relief Candi Jago
Situs Candi Jago merupakan bangunan bercorak Siwa Buddha atau perpaduan antara agama Hindu dan Buddha. Corak perpaduan agama Hindu-Buddha juga dapat dilihat pada bentuk arsitektur bangunan candi.
Arsitektur Candi Jago menunjukkan kemiripan dengan punden berundak. Badan candi ini terletak di atas kaki yang bertigkat tiga. Bangunan utama candi terletak agak ke belakang dan menduduki teras tertinggi. Candi menghadap ke barat dan terdapat masing-masing 2 anak tangga untuk menghubungkan antartingkat kaki candi.
Dari denahnya, dasar candi berbentuk bujur sangkar berukuran 23,71 x 14 meter dengan tinggi yang tersisa adalah 9,97 meter dengan arah hadap ke barat. Struktur candi berupa kaki candi berupa batu berundak 3 tingkatan, badan candi yang menyisakan ambang pintu saja dan atap candi yang asli telah hilang.
Candi ini dipenuhi dengan relief yang terpahat rapi mulai dari kaki hingga ke dinding ruangan teratas. Relief itu berisi dengan ragam hiasan jalinan cerita-cerita yang mengandung unsur pelepasan kepergian. Hal tersebut menyiratkan pembangunan candi berkaitan dengan mangkatnya Raja Wisnuwardhana.
Lantaran Wisnuwardhana menganut Siwa Buddha atau aliran perpaduan Hindu-Buddha, Candi Jago mencerminkan kedua unsur agama tersebut di relief-reliefnya.
Ajaran Buddha terlihat dari relief cerita tentang Tantri Kamandaka dan Kunjarakarna yang terpahat pada bagian teras paling bawah.
Relief tersebut menggambarkan Buddha Wairocana yang sedang membawa Kunjarakarna ke neraka. Sang Buddha menunjukkan kepadanya kehidupan di neraka yang harus diterima manusia sebagai konsekuensi dari tindakannya selama hidup di dunia.
Lalu, di dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabharata yang memuat ajaran Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha.
Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita Arjunawiwaha. Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan pahatan relief cerita Hindu, yaitu peperangan Krisna dengan Kalayawana.
Terdapat bentuk tatakan arca raksasa batu berdiamater sekitar 1 meter, yang terletak di tengah tengah pelataran depan 6 meter dari kaki candi. Di puncaknya terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.
Di sisi barat halaman candi terdapat arca Amoghapasa berlengan 8 dengan latar belakang singgasana berbentuk kepala raksasa yang saling membelakangi.
Kepala arca tersebut telah hilang dan lengan-lengannya telah patah. Sekitar 3 meter di selatan arca ini terdapat arca kepala rasaksa setinggi sekitar 1 meter.
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Iswara N Raditya