tirto.id - Ingatan Firman Lubis masih tajam saat mengenang tamasya dengan teman-temannya ke kawasan Ancol pada pertengahan 1950-an. Kala itu usianya tengah menanjak dari kanak-kanak menuju remaja. Ada dua hal yang melekat di benaknya hingga tua: memancing di rawa-rawa yang banyak dimanfaatkan penduduk setempat menjadi empang, dan belantara kecil berupa semak belukar yang amat rimbun, pohon kelapa, serta bakau yang memagari pesisir pantai.
“Menurut cerita orang, buaya masih hidup di rawa-rawa ini pada awal 1950-an,” ungkapnya dalam catatan Jakarta 1950-1970 (2018, hal. 85). Hal lain yang juga menandai kawasan Ancol pada 1950-an ialah populasi kera macacus yang bergerombol di sekitar lintasan kereta api, di pertigaan antara Ancol dan Gunung Sahari.
Lanskap Ancol yang terbengkalai merupakan salah satu peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang menutup wilayah ini pascaepidemi malaria tropika menyerang Batavia pada awal 1930-an. Keadaan demikian membuat Sukarno gemas untuk menyulap Ancol menjadi tempat yang lebih bermanfaat. Melalui Peraturan Pemerintah No. 51/1960 yang diterbitkan pada 23 Desember 1960, Sukarno menyampirkan tugas untuk membangun Ancol ke pundak Soemarno Sosroatmodjo, yang saat itu baru delapan bulan menjadi Gubernur Jakarta.
Sukarno menetapkan Ancol sebagai proyek mandataris yang langsung dikendalikan presiden. Menteri keuangan Notohamiprodjo sebagai ketua, dan Soemarno sebagai koordinator lapangan yang memetakan proyek dan menyiapkan ancang-ancang pembangunan. Setahun kemudian, Soemarno mempresentasikan pemetaan itu pada empunya gagasan, yang segera memberi lampu hijau untuk menggarap proyek tersebut. Agar pendanaan proyek aman, seluruh ongkos pembangunan diatur lewat Bank Dagang Negara yang dipimpin Jan Daniel (J.D.) Massie. Dalam mimpi Sukarno, Ancol akan menjelma bagaikan sepotong Hawaii kecil di ibu kota.
Langkah pertama sekaligus terberat yang harus dihadapi dalam menggarap proyek Ancol ialah menguruk rawa-rawa dengan tanah yang disedot dari laut. Ini adalah pekerjaan mahaberat yang ditaksir membutuhkan waktu 3.5 tahun untuk menyedot 12.5 juta meter kubik tanah untuk menimbun 552 hektare area proyek.
Karena semua kontraktor dalam negeri angkat tangan, pilihan jatuh pada kontraktor asal Prancis, Compagnia Industriale de Travaux. Martin Aleida, wartawan senior yang merantau ke Jakarta pada pengujung 1962, masih ingat saat Ancol mulai digarap. “Untuk pantai itu, Sukarno punya rencana besar, membangun sebuah restoran berputar di atas tiang raksasa, menghadap ke Laut Jawa dengan seribu pulau menghampar di mulutnya,” tukas Martin dalam memoarnya, Romantisme Tahun Kekerasan (2020, hal. 107).
Ibu-Ibu Turun Tangan
Idealnya, fase pertama Proyek Ancol akan selesai pada akhir 1965. Apa daya, arus balik sejarah yang terjadi pada 1 Oktober 1965 memorak-porandakan semua rencana. Posisi politik Sukarno yang mulai melemah menjadikan proyek-proyek mandataris mangkrak, termasuk proyek Ancol. Krisis ekonomi yang mengikuti huru-hara politik menjadikan prioritas finansial diarahkan pada penyehatan ekonomi.
Soekardjo Hardjosoewirjo selaku penanggung jawab dan pimpinan Proyek Ancol merasakan betul efek berantai ini pada proyek yang ia tangani. “Sejak tahun 1966, Proyek Ancol tak lagi mendapatkan kredit dari Bank Dagang Negara dan tak punya dana lagi untuk meneruskan kegiatannya,” tulisnya dalam Jejak Soekardjo Hardjosoewirjo di Taman Impian Jaya Ancol (2010, hal. 45).
Salah satu langkah yang coba ditempuh Soekardjo untuk mencari dana adalah buru-buru menjual sejumlah kavling Ancol yang sudah selesai diuruk pada pengembang swasta. Tujuannya agar proyek itu bisa balik modal dan lepas dari tanggung jawab pemerintah DKI. Soekardjo antara lain mendatangi Ciputra, yang waktu itu tengah menggarap pembenahan kawasan Senen di bawah payung PT. Pembangunan Jaya. Seluruh keadaan Ancol dipaparkan dengan gamblang oleh Soekardjo kepada Ciputra.
“Penjelasan Soekardjo membuat saya melayang jauh dengan khayalan yang tinggi. Saya sama sekali tidak ingin membuat Ancol seperti yang sudah didesain oleh tim di sana. Saya mengkhayalkan yang jauh lebih dahsyat dari itu,” ungkap Ciputra dalam biografinya yang ditulis Alberthiene Endah, Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life (2019, hal. 207).
Kegelisahan Soekardjo sampai pada Ali Sadikin, gubernur baru DCI Djakarta Raya, yang bertanggung jawab meneruskan Proyek Ancol. Ali pun ikut putar otak mencari dana. Dalam sebuah rapat, Soekardjo membawa rencana untuk mencari mitra kerja yang diharapkan dapat ikut memberikan pinjaman. Tercetuslah PT. Pembangunan Jaya, yang juga sudah dikenal Ali lewat Proyek Senen.
Konsensus tercapai. PT. Pembangunan Jaya ditetapkan Ali menjadi Badan Pelaksana Pembangunan Proyek (BP3) Ancol, dengan Soekardjo menjabat Wakil Direktur Pembangunan Jaya yang mengurus seluk-beluk teknis. Lain itu, Soekardjo ditunjuk mengepalai Otorita Ancol yang akan bertanggung jawab langsung kepada pemerintah DCI Djakarta Raya. “Otorita Ancol bertujuan untuk membangun perumahan lengkap dengan fasilitas-fasilitasnya, prasarana jalan, tempat rekreasi, dan tempat-tempat untuk fasilitas lainnya,” terang Ali dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1993, hal. 247).
Meski mitra kerja sudah didapat, kendala dana masih belum terpecahkan. Pembangunan Jaya yang saat itu baru berdiri tidak punya cukup uang untuk menalangi sendiri proyek sebesar Ancol. Walau demikian, Pembangunan Jaya sudah memiliki kredibilitas sebagai pengembang terpercaya. Lewat reputasi inilah mereka mengusahakan pendekatan ke sana ke mari, mencari penyandang dana yang mampu diajak berkongsi meneruskan pembangunan Ancol yang sudah mangkrak selama beberapa waktu.
Salah satu pihak yang didekati oleh Pembangunan Jaya adalah istri Chairul Saleh, yang kemudian menghimpun istri-istri pejabat lain. Mereka sepakat bahwa bagaimanapun sulitnya kondisi ekonomi, Ancol jangan sampai mandeg. Bagi tugas pun dilakukan. Pembangunan Jaya fokus mengerjakan teknis pembangunan, sementara ibu-ibu pejabat yang akan mencari dana. Guna memperjelas status hukum, istri-istri pejabat tersebut membentuk yayasan bernama Yayasan Bina Ria. “Dengan payung Yayasan Bina Ria itulah, ibu-ibu mendanai pembangunan fisik pertama di Ancol,” kisah Soekardjo (2010, hal. 50).
Infrastruktur pertama yang dibangun dengan dana hasil pengumpulan Yayasan Bina Ria adalah jembatan yang melintasi Kanal Ancol dan menghubungkan Jl. R.E. Martadinata ke area pantai. Dari jembatan tersebut, sebuah jalan darurat dibuat dari tanah yang diuruk pasir, menuju ke sebuah bangunan sementara di tepi timur danau buatan.
Awalnya, bangunan dari bilah papan kayu ini digunakan untuk menyambut kedatangan Sukarno ketika menginspeksi kemajuan Proyek Ancol setelah rawa-rawa selesai diuruk. Kedua infrastruktur ini disempurnakan saat Proyek Ancol mulai bergerak kembali. Ibu-ibu penggerak Yayasan Bina Ria ikut mempromosikan Bina Ria dengan merekam lagu advertensi berjudul “Mari ke Bina Ria”.
Bangunan sementara tersebut diperbaiki dan difungsikan menjadi tempat minum-minum yang dinamai Night Club Bina Ria. Inilah obyek pertama yang dibuka untuk umum di kawasan rekreasi Ancol. Peresmian kelab malam Bina Ria dan seremoni pembukaan dilakukan langsung oleh Gubernur Ali Sadikin pada 25 Juni 1967, tepat hari ini 55 tahun lalu. Dalam sambutannya, Ali menyatakan bahwa pembukaan area rekreasi Ancol akan menjadi tonggak pengembangan industri pariwisata di ibu kota. Karenanya, Ali tak segan mengundang para pengusaha nasional maupun mancanegara untuk berinvestasi di Proyek Ancol yang tengah berjalan.
Terminal Kawula Muda Mabuk Asmara
Pembukaan kawasan rekreasi Bina Ria menjadi magnet wisata baru di Jakarta. Dalam keadaan serba terbatas, BP3 Ancol selaku pengelola Bina Ria berusaha menyempurnakan fasilitas bagi pengunjung, dengan memungut retribusi yang cukup terjangkau. Menurut reportase KOMPAS edisi 1 September 1967, tiket masuk orang dewasa dihargai 10 rupiah dan anak-anak 5 rupiah. Bagi wisatawan yang membawa kendaraan, tiket masuk mobil dikenai 50 rupiah, sepeda motor 10 rupiah, dan sepeda 5 rupiah. Penyewaan tenda pun disediakan dengan tarif 100 rupiah per jam, sementara para pengunjung yang membawa tenda sendiri tidak dikenai biayatambahan, asalkan tetap berada dalam radius aman pesisir pantai.
Pundi-pundi rupiah dari retribusi, sewa fasilitas, dan night club menjadi pembiayaan dan pemasukan yang mulai menampakkan hasil. Penerangan dari jembatan ke pantai mulai dibuat dengan oncor bambu yang dinyalakan setiap sore, sebelum diganti lampu yang memadai. Jalanan yang berdebu harus disirami oli setiap hari agar mengeras dan tidak berdebu ketika dilintasi kendaraan. Sejumlah villa, motel, dan cottage dibangun dan disewakan per jam. Melengkapi night club dan restoran, sebuah kasino besar dibuka dengan nama Copacabana, tempat perjudian dapat dilakukan secara legal.
Ketika animo masyarakat Jakarta akan hiburan murah meriah menanjak, pamor Bina Ria semakin bertambah, termasuk di kalangan anak-anak muda yang menganggap Bina Ria sebagai lokasi pacaran komplet. Di sana tersedia restoran, night club, hingga sudut-sudut sepi dan temaram yang cocok untuk berduaan. Dalam rubrik Kompasiana edisi 12 Mei 1969, P.K. Ojong membenarkan bahwa lokasi untuk muda-mudi bisa menikmati privasi seperti Bina Ria memang harus disediakan. “[Sebab] apa yang dibutuhkan para kekasih ialah tempat-tempat yang mudah dicapai, di mana mereka bisa merasa berduaan saja, terasing dari kehadiran orang lain yang dapat menyaksikan mereka,” tulis Ojong.
Dalam waktu lima tahun sejak dibuka untuk umum, perkembangan Bina Ria mematahkan dugaan Duta Besar Filipina saat itu, Modesto Farolan, yang pernah meragukan prospek Ancol kepada Ali Sadikin. Kemajuan Bina Ria dalam 5 tahun pertama dapat dilihat dalam reportase hiburan TEMPO No. 36, Th. II, 18 November 1972. Menurut TEMPO,perubahan wajah Bina Ria tidak hanya terlihat dari penambahan berbagai fasilitas yang kian memanjakan pengunjung, melainkan juga perangai muda-mudi yang bertandang ke sana.
Bukan hanya tempat pacaran, Bina Ria juga menjadi lokasi yang cukup menjanjikan bagi pekerja seks komersial. Umumnya, para perempuan berjuluk “kupu-kupu” itu merupakan pindahan dari kawasan Senen dan Gunung Sahari, yang kala itu juga tengah ditertibkan Ali Sadikin.
“Itu kupu-kupu mengenakan segala macam potongan [baju] dan demi setan dapat diajak berkencan, asalkan harga cocok. Seperti sebuah pasar, mereka berkelompok menunggu sinar lampu mobil yang mondar mandir,” tulis TEMPO.
Kehadiran PSK di sekitar kawasan tersebut pun cukup strategis, mengingat di sekitar Bina Ria tersedia cottage dan motel yang dapat disewa beberapa jam, sekadar untuk one night stand. Tak ayal, sampai beberapa dasawarsa kemudian, Bina Ria dikenal sebagai tempat transaksi seks kilat yang ditandai “mobil goyang” di sejumlah titik yang sepi dan remang.
Pengelola Bina Ria tentu saja mafhum dengan keadaan ini. Soekardjo, yang khawatir jika Bina Ria terjangkit prostitusi jika tidak diatasi, sempat mengadu kepada Ali Sadikin. Alih-alih memerintahkan penertiban, Ali menjawab kalem, “Bukan kamu yang dosa. Itu urusan mereka sendiri. Kamu nggak dosa, yang dosa itu mereka. Sudah, biar saja.”
Meski Ali bersikap tenang, Soekardjo tetap kewalahan menghadapi ibu-ibu penggerak Yayasan Bina Ria yang merasa risih dan gerah dengan kupu-kupu malam yang berpraktik di kawasan Ancol, sehingga mereka pun memilih menyudahi kerja sama dengan Ancol yang sudah lumayan maju di bawah pengelolaan PT. Pembangunan Jaya. Nama Bina Ria tetap dipertahankan, sebelum kelak dikembangkan dan disatukan dengan theme park pertama di Indonesia menjadi Taman Impian Jaya Ancol.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh Pribadi