tirto.id - Pembubaran diskusi tentang Papua di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) serta intimidasi terhadap penyelenggaranya diprotes banyak pihak, tak terkecuali oleh orang-orang yang selama ini dikenal vokal seperti Veronica Koman dan Dandhy Dwi Laksono. Kritik juga disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Diskusi bertajuk Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus Utama yang diselenggarakan Teropong, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) PENS, dibubarkan Rabu (9/10/2019) pekan lalu oleh Polsek Sukolilo dan keamanan kampus—setelah mereka ditelepon pejabat rektorat.
Keesokan harinya, awak redaksi LPM Teropong dipanggil menghadap Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan PENS Anang Budikarso dan Kepala Unit Minat Bakat dan Organisasi Mahasiswa PENS Novian Fajar Satria. Mereka mendapat kabar yang mengagetkan: LPM Teropong tak boleh berkegiatan lagi di kampus. Organisasi dibubarkan sepihak.
Beka Ulung Hapsara selaku Komisioner Komnas HAM mengkritik pembubaran diskusi “karena itu merusak kebebasan akademik yang harusnya dijaga di wilayah kampus.” “Saya juga menyayangkan rektor kampus yang justru melarang kegiatan tersebut, alih-alih melindungi diskusi," kata Beka kepada reporter Tirto, Senin (14/10/2019) siang.
“Mendiskusikan Papua dan persoalannya, bukan berarti mendiskusikan soal kemerdekaan,” Beka menambahkan. Saat ada kelompok yang mendiskusikan soal itu, apalagi mengajak serta masyarakat luas, menurutnya mereka harus didukung karena dari sanalah mungkin muncul pemikiran yang barangkali bisa jadi solusi untuk masalah Papua.
“Solusi jangka pendek, menengah, dan panjang. Solusi berbagai pendekatan: ekonomi, sosial, HAM. Itu yang bisa tumbuh dan dicari jika semakin banyak yang mendiskusikannya, apalagi dalam ranah akademis.”
Dia mencontohkan apa yang terjadi di Indonesia lebih dari 20 tahun lalu. Tumbangnya otoritarianisme Orde Baru, katanya, juga termasuk karena menguatnya kebebasan akademik dan sikap kritis kalangan kampus.
Pembubaran serupa tidak boleh terulang di mana pun, sebab, kata Beka, itu “justru akan memperburuk demokrasi kita.”
Perang Informasi
Veronica Koman, advokat yang banyak bicara HAM dan kini tengah diburu polisi Indonesia karena dianggap menyebarkan informasi hoaks soal Papua, mengatakan kasus ini membuktikan “kebebasan diskusi tentang Papua semakin buruk.” Disebut demikian karena penyelenggara diskusi yang bukan orang Papua itu semestinya “terbebas dari stigma separatis.”
Stigma ini, kata Vero, “biasa dilekatkan kepada para mahasiswa Papua yang menyelenggarakan diskusi.”
Seperti Beka, bekas advokat dari LBH Jakarta ini juga menilai pembubaran diskusi mencoreng kebebasan akademik.
“Apalagi kalau hingga men-DO mahasiswa yang ‘kesalahannya’ hanya karena mereka mau berpikir kritis. Itu namanya pihak kampus melanggar berbagai hak konstitusional mahasiswa tersebut, setidak-tidaknya hak atas pendidikan, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak untuk mendapat informasi,” katanya kepada reporter Tirto, Senin.
Ditarik lebih luas, pembubaran diskusi ini bisa dikategorikan sebagai upaya pemerintah dan aparat memonopoli informasi tentang Papua. Hanya merekalah sumber resmi, di luar dari itu tak bisa dan tak boleh dipercaya.
Padahal pemerintah dan aparat juga tak luput menyebar hoaks soal Papua.
“Perang Informasi itu juga mencakup kriminalisasi aktivis atau siapa pun yang bicara tentang Papua. Pemblokiran internet juga termasuk dalam perang informasi. Tujuan dari perang informasi ini adalah supaya pemerintah jadi satu-satunya sumber dan corong informasi tentang Papua. Totalitarian.”
Reporter Tirto sudah menghubungi Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera sejak Kamis sore untuk meminta keterangan lebih lanjut. Namun hingga Jumat (11/10/2019) siang tak ada respons sama sekali dari yang bersangkutan. Pesan singkat pun hanya dibaca.
Dandhy Laksono, jurnalis yang sempat ditangkap polisi karena cuitannya soal Papua, mengatakan jika dari kacamata pemerintah dan aparat, diskusi seperti ini memang mengancam "status quo".
Itulah satu-satunya alasan diskusi ini dibubarkan, bukan hal-hal teknis semacam “tidak ada izin” atau sejenisnya.
“Doktrin dan propaganda NKRI harga mati juga terancam oleh rasa solidaritas dan kemanusiaan anak-anak muda yang mungkin capek dibohongi negara dan orang-orang tua tentang apa yang terjadi di Papua,” katanya saat dihubungi reporter Tirto, Senin pagi.
“Dalam kasus topik diskusi ini, mereka bahkan menggugat industri media yang dianggap bagian dari status quo ini,” lanjutnya.
Dia juga mengatakan pembubaran ini menegaskan tidak sedikit kampus yang didirikan dengan pertimbangan bisnis atau mencari laba semata. Dandhy mengatakan PENS "gagal melihat esensi proses pendidikan itu sendiri".
“Ditambah, dengan kasus ini masyarakat dapat membayangkan, jika mereka yang di Jawa saja tidak bebas mendiskusikan tentang Papua, apalagi warga Papua sendiri yang dalam 57 tahun terakhir punya aspirasi politiknya sendiri,” pungkas pendiri Watchdoc ini.
Klarifikasi Kampus
Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan PENS Anang Budikarso menepis tudingan jika mereka membubarkan diskusi karena acara tersebut membahas Papua. Ia mengklaim mahasiswa bebas mendiskusikan apa saja. Hanya satu masalahnya: Teropong tak mengantongi izin.
“Saya enggak membubarkan diskusi karena pembahasan politik apa pun. Masalah Papua pun enggak. Bahas apa pun dibebaskan, asal ada izin. Saya tahu sudah biasa diskusi-diskusi seperti itu di kampus,” katanya saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin sore.
“Yang jadi masalah karena enggak izin. Enggak sesuai SOP, SOP-nya harus ada izin. Saya tahu mereka biasanya sering bikin diskusi, tapi kebetulan kemarin ketahuan enggak ada izin. Ditambah, diskusinya mengundang mahasiswa PENS saja, tapi ternyata banyak dari luar,” tambahnya.
Pemimpin Redaksi LPM Teropong Fahmi Naufala Mumtaz mengatakan izin biasanya diurus jika diskusi dilakukan di dalam ruangan. Izin tersebut satu paket dengan permohonan peminjaman ruangan.
“Sebelum-sebelumnya kami diskusi di kampus pun bisa tanpa izin karena posisi di ruang terbuka tanpa peminjaman ruangan. Pakai izin kalau di ruangan kelas," kata Naufal beberapa hari lalu.
Klarifikasi terakhir terkait status Teropong. Anang mengatakan Teropong hanya komunitas kecil, bukan organisasi resmi kampus—biasa disebut Unit Kegiatan Mahasiswa—yang memiliki Surat Keputusan (SK). “UKM bisa terbentuk dari komunitas kalau komunitasnya sudah besar.”
Karena status itulah tidak tepat jika rektorat disebut membubarkan Teropong, kata Anang.
“Membubarkan apanya? Enggak usah dibubarkan, wong enggak resmi. Jadi biar bubar sendiri aja. Dia enggak ada AD/ART-nya,” pungkas Anang.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino