tirto.id - Dibanding beberapa kota di Indonesia, Jakarta bisa dibilang selalu menempati urutan teratas kota paling polusif. Ibu kota mungkin hanya satu kali dalam setahun bisa bebas dari masalah udara, yaitu saat musim libur Lebaran.
Pada hari-hari di mana orang sedang cuti bersama, dan sebagian lainnya pulang ke kampung halaman, langit Jakarta memang terlihat biru, udara pun terasa lebih segar dari biasanya. Saking bedanya, bagi warga yang tidak mudik, Jakarta terasa seperti bukan Jakarta.
Namun ketika libur telah usah, aktivitas masyarakat kembali normal, kota yang tahun ini berusia 492 tahun kembali ke tabiatnya. Sejak pekan pertama Juli 2019, bahkan kualitas udara di Jakarta beberapa kali terpantau menjadi yang paling tidak sehat di dunia.
Jumat (5/7/2019), pukul 14.00 WIB, berdasarkan informasi AirVisual, aplikasi pengukuran kualitas udara real time, Jakarta menempati urutan kedua kota paling polusif di dunia dengan angka 163 AQI (Air Quality Index). Sementara urutan pertama ditempati kota Los Angeles, AS, dengan angka 164 AQI.
Sebagai upaya mengatasi masalah polusi udara ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menyampaikan rencana untuk mewajibkan uji emisi mulai tahun 2020. “Supaya kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta itu bukan termasuk kendaraan bermotor yang tidak lolos uji emisi, harus semuanya lolos uji emisi,” katanya seperti yang dilaporkan Tirto.
Bengkel Resmi Sudah Lebih Dulu Terapkan Uji Emisi
Saat ini produsen otomotif di Indonesia telah diwajibkan memproduksi mobil berstandar Euro 4 untuk mesin bensin, dan Euro 2 untuk mesin diesel. Regulasi ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 20/Setjen/Kum.1/3/2017 yang terbit sejak 10 Maret 2017.
Penerapan standar emisi di Indonesia sebetulnya cukup terlambat dibandingkan dengan negara di kawasan Benua Biru. Melansir dari laman Asosiasi Mobil Inggris, standar Euro 2 telah hadir sejak 1996 dan sudah diimplementasikan di Inggris sejak 1997. Sementara standar Euro 4 yang sudah ada sejak 2005, resmi dipakai setahun kemudian. Sedangkan Indonesia baru menjadikannya aturan sekitar 12 tahun kemudian.
Oleh sebab itu, fasilitas pengetesan pun tengah disiapkan agar dapat mengakomodir kendaraan yang akan melakukan tes. Anies sebelumnya mengatakan saat ini terdapat sekitar 150 bengkel yang memiliki fasilitas untuk melakukan uji emisi. Jumlah tersebut masih kurang dari target sekitar 700 bengkel.
Ia juga berencana menambah fasilitas ini di beberapa pompa bensin, untuk mempermudah masyarakat yang ingin mendapat informasi dan menguji emisi kendaraannya dengan cepat serta mudah.
Untuk diketahui gas buang kendaraan menghasilkan emisi yang berupa HC (Hidrokarbon), CO (Karbon Monoksida), CO2 (Karbon Dioksida), O2 (Oksigen), dan senyawa NOx (Nitrogen Oksida). Kendaraan bermesin diesel bahkan mengeluarkan particulate matter, senyawa seperti debu dari pipa knalpotnya.
Rudi Ganefia, Service Head Auto2000 Krida, Cilandak, Jakarta Selatan, berujar jika kumpulan gas ini muncul sebagai akibat dari proses pembakaran dalam mesin. Gas HC dan CO disebut jadi senyawa beracun yang dapat mengganggu sistem pernapasan manusia.
“Mobil yang tak mendapat perawatan secara rutin, bisa jadi tidak lolos uji emisi dan membuang lebih banyak senyawa beracun ketimbang mobil lainnya,” ujarnya kepada Tirto. Rudi menambahkan, kadar HC tinggi disebabkan bahan bakar yang tidak terbakar sempurna. Sementara CO tinggi berarti pembakaran mesin kurang sempurna yang disebabkan kurangnya udara dalam campuran bahan bakar.
Tak ayal penyebab meningkatnya polusi udara, salah satunya karena faktor malas melakukan perawatan kendaraan. Sebab pada setiap servis rutin, bengkel resmi umumnya turut serta melakukan pengecekan emisi gas buang, bahkan sebelum Anies mewajibkan semua mobil di Jakarta wajib uji emisi pada 2020.
“Di tempat kami uji emisi sudah termasuk dalam perawatan berkala, sehingga biayanya gratis. Tapi bila konsumen hanya ingin melakukan uji emisi saja juga bisa, biayanya Rp250 ribu belum termasuk PPN,” kata Denny Sulistyo, Kepala Bengkel Honda Jakarta Center di Jl. Pangeran Jayakarta No. 50, Jakarta Pusat.
Denny juga mengatakan, mobil-mobil lansiran tahun 2007 ke atas biasanya telah menggunakan catalytic converter. Teknologi ini membuat emisi gas buangnya menjadi lebih baik ketimbang mobil yang belum pakai. Namun bahan bakar yang digunakan harus sesuai standar, umumnya minimal RON 92.
Meski begitu, ada kemungkinan mobil-mobil keluaran baru tidak lolos uji emisi. Misalnya terdapat perubahan komponen mesin, seperti melakukan modifikasi untuk meningkatkan performanya. “Atau bisa juga kebocoran pada sistem gas buang, kerusakan pada komponen oxygen sensor, dan lain sebagainya,” tambah Denny.
Polusi Tak Cuma Dari Mobil
Menurunnya kualitas udara di Jakarta, sempat membuat kendaraan bermotor disalahkan dan dicap sebagai biang keladi permasalahan. Ketua Gabungan Industri Kendaran Bermotor Indonesia (Gaikindo), Yohannes Nangoi, pun ikut menanggapi permasalahan tersebut ketika press conference pameran GIIAS 2019 (2/7/2019).
“Yang namanya polusi kan macan-macam, pembangkit listrik polusinya juga gila-gilaan, mobil dan motor tentu ada polusi, pabrik pun ada polusi. Tapi saya tidak akan membanding-bandingkan. Betul mobil menghasilkan polusi, tapi sejak tahun lalu saat kami umumkan Euro 4, polusi sudah bisa kami tekan,” terangnya.
Ia mengatakan, salah satu upaya pemerintah mengurangi polusi dari kendaraan bermotor adalah dengan menaikkan standar emisi bahan bakar. Soalnya salah satu penyebab mobil mengeluarkan zat polutan berbahaya karena tidak menggunakan bahan bakar sesuai dengan spesifikasinya. Terlebih beberapa mobil keluaran baru memang butuh asupan bahan bakar yang lebih baik kualitasnya.
“Polusi dihasilkan oleh mobil dikarenakan bahan bakarnya bermasalah. Jadi kalau pemerintah sudah bilang harus Euro 4, semua mobil yang dijual di Indonesia oleh APM harus memenuhi standar Euro 4. Permasalahannya apakah semua bahan bakar memenuhi standar tersebut? Ini kami masih belum tahu,” imbuh Nangoi.
Sementara itu Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan juga mengatakan bahwa kualitas udara yang buruk di Jakarta dalam beberapa hari terakhir bukan hanya disebabkan oleh polusi kendaraan saja.
Tapi ada sebab lain yang menyebabkan senyawa-senyawa tersebut terakumulasi di udara. Salah satunya karena musim kemarau yang terjadi pada pertengahan tahun yang membuat kondisi udara menjadi bergumul di atmosfer. “Kalau hujan juga akan tercuci. Saat ini kan karena kemarau, polusi udaranya juga meningkat,” pungkasnya.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti