tirto.id - “Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka”
Bait tersebut merupakan pembuka dari "Sajak Sebatang Lisong" yang Rendra bacakan di Institut Teknologi Bandung pada 1977, dan merupakan salah satu adegan dalam film Yang Muda Yang Bercinta karya sutradara Sjumandjaja. Film tersebut sempat dilarang tayang karena di dalamnya terdapat beberapa puisi Rendra yang liriknya mengkritik penguasa, seperti "Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon" dan "Sajak Pertemuan Mahasiswa".
Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (2003) mencatat bahwa sensor yang dilakukan Orde Baru terhadap berbagai ekspresi kesenian semakin kencang pada akhir 1970-an. Film Indonesia disensor ketat dan dilarang. Sebagian direvisi, disesuaikan dengan kehendak rezim. Di masa itu, Rendra tampil penuh bara.
“Seorang penyair yang tangguh dalam teknik oral dan sangat peka kepada pengaruh bunyi, Rendra menyiram kampus demi kampus dengan pembacaan sajak-sajak perlawanannya yang penuh gelora,” tulis Syu’bah Asa dalam Rendra, Ia Tak Pernah Mati (2009).
Setahun pasca pelarangan film yang memuat adegan Rendra membacakan sajak, dia tak kapok dan tampil lagi di Jakarta meski teror terus mengintai keselamatannya. Beberapa hari sebelum membacakan sajak-sajak bertema pembangunan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 28 April 1978, sepucuk surat anonim diterima Rendra, isinya mengancam ia dan keluarganya. Pada saat pementasan, bom amoniak dilemparkan, mengakibatkan tiga orang penonton pingsan. Tiga hari setelah penyerangan, Rendra ditahan aparat keamanan.
Kodam Jaya menyatakan bahwa penangkapan Rendra adalah upaya “mengamankan” penyair itu dari ancaman pihak-pihak tidak bertanggungjawab. Sementara menurut Laksamana Sudomo, Wakil Pangkopkamtib, penahanan tersebut dilakukan karena puisi-puisi Rendra dianggap menghasut.
Ajip Rosidi mencatat dalam Hidup Tanpa Ijazah (2008) bahwa Rendra pada mulanya dilarang tampil di TIM. Di mata penguasa, khususnya militer, ia telah kesohor sebagai penggulir isu-isu kontroversial yang mereka anggap bisa bikin keamanan rentan. Waktu itu Bengkel Teater pimpinan Rendra masih bermarkas di Yogyakarta. Rendra kena cekal, tak boleh tampil di luar Yogyakarta. Padahal Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) telah memasukkan namanya ke dalam kalender bulanan untuk tampil di TIM.
DKJ kemudian menyampaikan situasi itu kepada mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, yang langsung menghubungi Kolonel Leo Ngali sebagai Asisten I/Intel Kodam Diponegoro. Atas dukungan Ali Sadikin, Rendra akhirnya bisa tampil di TIM meskipun acaranya diserang bom amoniak.
“Akibat kejadian tersebut Rendra ditahan Laksusda Jaya pada 1 Mei 1978 dan baru bebas pada 7 Oktober 1978 setelah diprotes oleh banyak kalangan termasuk dunia internasional,” tulis Stanley YAP dalam artikel “Intelejen, Sensor dan Negeri Kepatuhan” yang terhimpun dalam Negara, Intel, dan Ketakutan (2006).
Saat Rendra akhirnya ditahan oleh aparat keamanan, Dewan Pengurus Harian DKJ yang diwakili oleh Asrul Sani, Iravati Sudiarso, Ajip Rosidi, Alam Suriawidjaja, dan Ramadhan K.H., mendatangi Gubernur Jakarta Tjokropranolo atas saran Ali Sadikin.
Asrul Sani mengungkapkan sejumlah prestasi Rendra sebagai seniman yang tidak hanya diakui secara nasional, tapi juga internasional. Kepada Gubernur, Asrul Sani meminta masalah Rendra diselesaikan dari hati ke hati, karena menurutnya Rendra tidak akan melakukan pemberontakan.
Namun Tjokropranolo lantas bertanya, “Apa jasa Rendra terhadap bangsa? Di mana dia waktu revolusi?”
Setelah dijelaskan oleh Asrul Sani bahwa saat revolusi terjadi Rendra masih kanak-kanak dan jasa seseorang tidak bisa dinilai sekadar dari perbuatannya saat revolusi berkobar, Tjokropranolo langsung naik pitam.
“’Ya, saudara-saudara sebagai seniman, pandai mengkritik. Saya bukan seniman, saya tidak pandai mengkritik. Tetapi saya tentara, saya punya bedil […],’ kata Gubernur sambil memperlihatkan sepir pangkal lengannya yang kanan,” tulis Ajip.
Ketakutan Melahirkan Keberanian
Penyair termasuk Rendra, menurut Ignas Kleden dalam “Rendra, Ilmu Silat, Ilmu Surat” yang dihimpun dalam buku Rendra, Ia Tak Pernah Mati (2009) menatap dirinya dalam beberapa dimensi: saat berhadapan dengan alam, masyarakat, dan dirinya sendiri.
“Dia melihat dirinya berhadapan dengan masyarakatnya dengan segala ketegangan dalam hubungan itu: kemerdekaan dan penindasan, keadilan dan eksploitasi, kejujuran dan pengkhianatan, kebaikan dan kejahatan,” tulisnya menerangkan poin yang kedua.
Bagi Rendra, lanjut Kleden, keindahan yang dibangun oleh penyair bukan sesuatu yang bisa membenarkan ia lari dari politik. Kritik lewat lirik sajak bukan barang haram bagi penyair. Menghadapi masyarakat yang keadaannya jauh dari ideal, penyair dapat dan terkadang wajib melibatkan dirinya dalam perjuangan untuk memperbaiki keadaan tersebut.
Dalam puisi "Sajak Sebatang Lisong", Rendra tegas menyindir para penyair yang abai terhadap kehidupan di sekitarnya dan hanya masyuk dengan hal-hal yang jauh dari persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat: “penyair salon” begitu ia menyebutnya.
“Aku bertanya / tetapi pertanyaanku membentur jidat / penyair-penyair salon / yang bersajak tentang anggur dan rembulan / sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya / Dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan / termangu-mangu di kaki dewi kesenian”
Menyaksikan masyarakat yang tak berdaya dan maras karena dibekap penguasa lewat alat-alat negara, Rendra semakin menggedor-gedor nyali rezim yang menciut oleh peluru kata-katanya.
Meski sajak-sajaknya garang mengobrak-abrik situasi politik yang stagnan, tapi menurut Ignas Kleden ia tak sama dengan para seniman Lekra yang menjadikan politik sebagai panglima. Bagi Rendra, tulis Kleden, politik adalah tugas dan bukan sesuatu yang tak terjangkau oleh seni.
Persoalan yang disuarakan Rendra dalam menghadapi masyarakat bukan hanya menyerang penguasa secara langsung, ia juga mengkritisi keadaaan masyarakat yang bobrok akibat kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam "Sajak Seonggok Jagung" misalnya, ia berbicara tentang seorang siswa sekolah menengah yang tak berdaya menghadapi kehidupan. Ilmu pengetahuan yang ia terima di sekolah hanya membuatnya terasing dan tercerabut dari persoalan-persoalan nyata dalam keseharian.
“Seonggok jagung di kamar / tidak menyangkut pada akal / tidak akan menolongnya / Seonggok jagung di kamar / tak akan menolong seorang pemuda / yang pandangan hidupnya berasal dari buku / dan tidak dari kehidupan / yang tidak terlatih dalam metode / dan hanya penuh hafalan kesimpulan / yang hanya terlatih sebagai pemakai / tetapi kurang latihan bebas berkarya / Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupannya”
Bakdi Soemanto dalam artikel “Si Burung Merak” dalam Rendra, Ia Tak Pernah Mati (2009) menyebut bahwa analisis Rendra terhadap keadaan masyarakat menguar dalam sajak-sajak yang yang dipenuhi keprihatinan, kekesalan, dan kadang putus asa, tetapi tetap mengobarkan semangat daya hidup.
Kepada Anton Lake, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada yang mewawancarainya saat menyusun skripsi, seperti dikutip Bakdi, penyair itu berkata bahwa dirinya tak henti mempertanyakan gejala-gejala yang ada di sekitarnya untuk direnungkan dan dipertanyakan kembali. Berulang-ulang dan seterusnya.
“Seniman bukanlah penghibur yang tidak perlu penghayatan, Rendra menegaskan sikapnya dalam berkesenian bahwa dalam setiap karyanya dicipta melalui relevansi sosial yang merupakan kodrat seorang seniman,” tulis Fridiyanto dalam Kaum Intelektual dalam Catatan Kaki Kekuasaan (2017)
Sejumlah pertanyaan hasil dari renungan yang ia dapat dari kehidupan masyarakat, lalu ia sampaikan kembali ke masyarakat lewat teater dan pembacaaan sajaknya berhasil menohok publik. Ya, karena memang kata-katanya berjejak dari sana, dari kehidupan yang dihadapinya.
Keberhasilan Rendra membuat masyarakat merasa selalu terkait dengan karya-karyanya tentang situasi sosial dan kelaliman penguasa, dalam pandangan Syu’bah Asa: “seakan-akan berhasil menggalang seluruh bangsa menghadapi kekuatan-kekuatan yang dinilai sebagai musuh nurani bangsa itu sendiri.”
Meski api keberanian yang menyala-nyala dalam diri penyair ini dikagumi banyak orang, tapi ternyata itu bukan lantaran dirinya bernyali. Seperti dikutip Edi Haryono dalam Doa untuk Anak Cucu (2016), Rendra mengungkapkan kepada seorang wartawan bahwa sikapnya yang kritis kepada pemerintah sejatinya didorong rasa takut.
“Saya protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran saya berani. Malah sebaliknya, karena saya takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan,” ujarnya.
Dalam riwayat kepenyairannya, Rendra memang tak hanya menulis sajak-sajak pamflet, ia juga banyak menulis tentang cinta. Namun kiranya sepak terjang ia dalam melawan penguasa dan menyurakan penderitaan rakyat adalah sesuatu yang terpacak paling kuat di benak masyarakat. Apa yang diwariskan oleh Sang Burung Merak ini tetap bertahan hingga sekarang, mesi Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009, tepat hari ini 9 tahun yang lalu.
“Rendra sudah menginfakkan sebagian umurnya—dengan karya-karyanya—untuk berjuang melawan penindasan, menjadikan teater dan sajaknya sebagai senjata di kuping despot dan kepalan tinju di hidung para badut politik. Menyiram semangat dan menyertai para mahasiswa di kampus-kampus, serta menjadikan teater dan puisi begitu terkenal sampai ke tingkat yang rasanya belum pernah ada presedennya dalam sejarah,” ujar Syu’bah Asa seperti dikutip Bambang Sulistiyo.
Editor: Nuran Wibisono