tirto.id - Pada Jumat (7/12/2018) pekan lalu, Ketua Umum ICMI Jimly Ashidique melantik Sandiaga Uno sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) DKI Jakarta. Pelantikan ini dilakukan secara mendadak saat Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI di Lampung, demikian dilansir Antara.
Sandiaga Uno adalah kandidat wakil presiden pendamping calon presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya, ketika menjabat wakil gubernur DKI Jakarta, Sandiaga sudah menandatangani kesediaannya menjadi caretaker posisi pimpinan ICMI Jakarta.
Pada Silaknas ICMI tahun lalu, Jimly Ashidique mengatakan ICMI mendukung pemerintahan Jokowi selama dua periode (10 tahun).
"Diperlukan pemerintahan yang stabil pada setiap 10 tahunan dengan kepimpinan yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat. Karena itu, ICMI tidak perlu dan tidak boleh ragu untuk mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun," kata Jimly.
Pernyataan Jimly saat itu menuai respons negatif dari kalangan internal ICMI. Ketua Pengembangan Ekonomi Nasional ICMI Didik J. Rachbini memandang pidato Jimly perlu dikoreksi karena ICMI sepatutnya tidak menyuarakan dukungan politik. Sementara Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Pengurus Pusat ICMI Ahmad Riza Patria menyebut pernyataan Jimly tidak mewakili organisasi ICMI.
Enam bulan sebelumnya, seorang pengurus ICMI juga menjadi sorotan media massa. Pada Juli 2017, Wakil Sekretaris ICMI Siti Asmah Ratu Agung mengaku sebagai penggagas Partai Syariah 212. Dari namanya sudah terlihat itu partai dibikin orang-orang yang turut dalam Aksi Bela Islam 212. Siti juga mengaku telah membantu kelahiran Koperasi Syariah 212.
Dulu ICMI punya Masyarakat Madani, Sekarang Punya Apa?
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tak lagi bertaring setelah Presiden Soeharto lengser pada Mei 1998. Saking redupnya, eks-penasihat Orsat ICMI, Andi Mappetahang Fatwa menyebut organisasi yang didirikan pada 1990 itu "sudah nyaris menjadi masa lalu".
"Semua orang mahfum, karena ICMI lahir pada era dan bahkan didukung Orde Baru. Maka, ketika rezim ini tumbang, ICMI kena getahnya. Mengidentikkan ICMI dengan Orde Baru inilah stigma yang paling tidak menguntungkan bagi kondisi ICMI sekarang," sebut laki-laki yang akrab dipanggil AM Fatwa dalam opininya di Kompas (9/11/2000).
Opini tersebut ditulis Fatwa menjelang Muktamar ketiga ICMI. Muktamar itu, menurut Fatwa, tidak lagi menjadi perhelatan besar sebuah organisasi yang berpengaruh dan berwibawa. Media massa saat itu pun lebih tertarik melansir berita soal Tommy Suharto atau pertemuan yang digagas Kwik Kian Gie.
"ICMI benar-benar sudah kehilangan pesona, terutama di mata pengamat dan media massa," tulis Fatwa.
Pandangan serupa juga pernah disampaikan Jimly Ashidique (Ketua ICMI sekarang) kepada Kompas (12/2/2001). Jimly menyebut peran politik ICMI di era Reformasi surut karena sudah banyak partai Islam yang tampil memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Nyatanya, 20 tahun berlalu sejak Reformasi, ICMI masih ada. Tindak-tanduk ICMI, baik organisasinya maupun pengurusnya, masih diperhitungkan atau setidaknya menimbulkan kontroversi.
Peneliti politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga penulis Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (2017), Wasisto Raharjo Jati menyatakan pelantikan Sandiaga Uno sebagai Ketua ICMI Jakarta sebagai penyimpangan ICMI dari tujuan awalnya ketika dibentuk.
"Harusnya ICMI menjadi kelompok intelektual yang concern membangun masyarakat Muslim," ujar Wasisto saat dihubungi Tirto, Senin (10/12/2018).
Wasisto menekankan pentingnya mengulas ICMI sebagai organisasi intelektual muslim jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
ICMI tampil sebagai lembaga think tank pada akhir kekuasaan Orde Baru yang diharapkan bisa menggantikan Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang digawangi Jusuf Wanandi. Memasuki dekade 1990-an, pemerintahan Soeharto dan CSIS memang mengalami ketegangan.
Pada 1980-an, Islamisasi menjalar ke kampus-kampus di Indonesia seiring meluasnya pengaruh Revolusi Iran ke seluruh dunia muslim sejak 1979. Penguatan kelompok Islam juga ditandai berdirinya Bank Muamalat dan koran Republika pada 1990-an. Memasuki tahun 1990-an, rezim Orde Baru pun mulai goyah akibat ketidakpuasan sebagian kalangan TNI terhadap Soeharto. Soeharto akhirnya mulai mendekati kelompok-kelompok Islam.
"Saat itu, Orde Baru berusaha merangkul massa pro-Islam. Tujuannya adalah memastikan bahwa ada kelompok Islam yang berada di balik Orde Baru. Melalui ICMI, Islam mendapat tempat di ruang publik. Ada hubungan mutualisme antara ICMI dan pemerintah saat itu. Keberadaan ICMI juga menjadi jaminan bagi Orde Baru untuk memastikan tidak ada potensi radikalisme dari kelompok Islam," ujar Wasisto.
Main Dua kaki?
Sebagaimana dicatat Arskal Salim dalam "Between ICMI dan NU: The Contested Representation of Muslim Civil Society in Indonesia, 1990-2001" (2011), ICMI adalah ikon rekonsiliasi Negara dan Islam yang rentan gesekan selama Orde Baru. Sejak Pemilu 1971, partai-partai Islam yang kemudian berhimpun dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memang menjadi salah satu basis resistensi terhadap Orde Baru.
Bagi Salim, keberadaan ICMI secara simbolis menghilangkan rasa saling curiga antara pemerintah dan kelompok-kelompok Islam. Diakomodasinya ICMI oleh pemerintah juga menandakan Islam diterima di pusat kekuasaan untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka. Ketua pertama ICMI adalah B.J. Habibie, Menteri Negara Riset dan Teknologi. Beberapa pejabat pemerintah pun menjadi anggota ICMI.
Ilmuwan politik William Liddle menyebut ICMI sebagai lembaga korporatis negara (PDF) yang dibentuk untuk menjinakkan kelompok Islam agar mendukung rezim. Namun, Wasisto justru berpendapat ICMI "bermain dua kaki". Setidaknya, di muka publik ICMI turut mempromosikan konsep masyarakat madani—sebuah wacana pembangkangan secara halus terhadap korporatisme Orde Baru.
"Masyarakat madani berusaha mengagamisasi konsep civil society. Itu cara jalan tengah. Konsep masyarakat madani juga merupakan usaha menantang wacana khilafah Islam," ujar Wasisto.
Intelektualitas inilah yang menurut Wasisto tak lagi bisa ditemukan dalam ICMI setelah Orde Baru tumbang. Pasalnya, ICMI kehilangan patron. Kecenderungan para pengurusnya untuk terlibat dalam politik, menurut Wasisto, juga menjadi penyebab kemunduran ICMI.
"Justru, pasca-Orde Baru, kiprah ICMI menguap. Yang saya lihat, kontribusi ICMI berkurang. Dulu, gagasan ICMI ialah masyarakat madani. Sekarang apa?" katanya.
Wasisto mengatakan sulit menemukan intelektual berlatar belakang peneliti Islamic Studies di ICMI sekarang. ICMI juga sekadar berperan sebagai organisasi profesi profesi belaka, tanpa regenerasi yang serius.
"Saat ini, penting sekali untuk mengeluarkan diskursus. Ada tren konservatisme di ruang publik. Harusnya ICMI bisa mengeluarkan gagasan yang bisa meng-counter itu. Contohnya, Nahdlatul Ulama mengemukakan gagasan Islam Nusantara. ICMI punya apa?"
"Di tubuh ICMI, minim intelektual berlatar belakang peneliti Islamic Studies. Jadi, tidak lagi orang-orang semacam Nurcholis Madjid. Selain itu, regenerasi dalam tubuh ICMI juga kurang. Tidak ada lagi anak muda yang mau masuk ICMI," ujar Wasisto.
Meski demikian, Ketua ICMI Banten Lili Romli menyatakan ICMI di tempatnya masih "didengar" dan mendapat "pengakuan". Baginya, ICMI bukan kendaraan politik, melainkan organisasi yang membicarakan solusi bagi masalah-masalah sosial. Lili juga menyampaikan setiap cendekiawan sepatutnya memberikan solusi, bukan provokasi dan sensasi.
"Ketika saya memimpin ICMI Banten. Setiap kegiatan yang dilakukan MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau Pemda, itu ICMI diundang. Hari ini saja, kami diundang Bappenas untuk FGD membahas pengangguran. Itu kan pengakuan dan didengar," ujar Lili saat dihubungi Tirto, Senin (10/12/2018).
Editor: Windu Jusuf