tirto.id - Siang, 24 Oktober 2004. Mohammad Seeyam Samir lahir ke dunia. Dalam kalender Arab, hari itu bertepatan tanggal 9 Ramadan. Kedua orang tua Seeyam sangat bahagia menggendong bayi pertama mereka di bulan—yang dalam kepercayaan Muslim—paling suci di antara bulan lainnya pada tahun Hijriah. Nama Seeyam sendiri, dalam bahasa Arab, bermakna "puasa", ibadah wajib yang dijalankan Muslim setiap hari di bulan Ramadan.
Sayangnya, Seeyam lahir dengan masalah fisik yang tidak biasa. Dia punya sianosis—kebiruan yang terjadi pada bibir dan selaput mata karena hemoglobin dalam darah kapiler susut. Beberapa episode saluran air liurnya juga tercekik. Namun, bagian tercekik ini selalu tak kelihatan ketika Seeyam dibawa ke rumah sakit atau dokter. Akibatnya, para dokter kebingungan dan hanya memvonis Seeyam mengalami masalah saluran pernapasan ringan.
Ayah Seeyam adalah seorang dokter ahli kejiwaan. Meski menyandang gelar dokter, sang ayah tak bisa berbuat terlalu banyak untuk menyembuhkan Seeyam. Diam-diam sang ayah memelihara ketakutan besar kehilangan anak pertamanya. Kegelisahan itu akhirnya berdampak pada psikologi sang ayah. Ia berubah jadi lebih temperamental, menyebabkan ibu Seeyam jadi lebih menderita karena selalu jadi sasaran amarah.
Pada malam ke-20 usia Seeyam, sakit bayi itu kian parah. “(Waktu itu) Bulan Ramadan tinggal tersisa sehari lagi. Artinya hari itu adalah puasa terakhir bagi kami di tahun tersebut. Tapi kami tak pernah tahu apakah putra kami Seeyam juga akan mendekati ajalnya di hari terakhir ibadah puasa kami,” ungkap sang ayah.
Sang ayah masih mengingat segalanya dengan jelas. Malam itu mereka sekeluarga kelelahan dan tidur bersama: “Istriku dan aku, serta teddy bear punya Seeyam tidur terlelap seperti malaikat. Itu adalah kali terakhir kami tidur bersama,” ungkap sang Ayah.
Saat terbangun, suhu tubuh Seeyam naik dan ia kesusahan bernapas. Orang tuanya langsung menghubungi dokter. “Ia menyarankan untuk membawa Seeyam ke rumah sakit agar esok paginya bisa dilakukan pengecekan keseluruhan.”
Tapi sang ayah enggan. Lusanya adalah malam Idul Fitri, hari raya paling besar bagi umat Muslim. “Akan sangat sedih kalau putra kami tak ada di rumah dalam suasana seperti itu. Lagipula, kita tak pernah tahu masa depan,” ungkap sang Ayah.
Menuju malam, Seeyam mulai tenang. Tapi tak lama. Ia kemudian makin parah. Ayahnya masih tak mau membawa putranya ke rumah sakit. Ia dibantai ketakutan teramat sangat pada kematian. Ia mengkhawatirkan komunikasi dan fasilitas yang buruk di rumah sakit. Sekitar jam 1 dini hari pada hari terakhir Ramadan, Seeyam mulai mengeluarkan banyak sekali cairan dari hulu kerongkongannya. Seluruh wajahnya berubah biru kehijau-hijauan pasca-tercekik cairan itu.
Sang ayah lalu segera melakukan tindak penyelamatan yang pernah dipelajarinya. Ia menggantung Seeyam, memegang kaki bayi itu di atas, untuk membersihkan saluran pernapasannya. Kemudian memberikan napas buatan dari mulut ke mulut, pijatan jantung, dan segala macam bantuan lain yang bisa dilakukannya sendiri.
Ibu Seeyam seakan sadar kalau putranya tak akan tinggal bersamanya lebih lama lagi, ia juga tak tahan melihat adegan pertolongan sang ayah, dan akhirnya memutuskan keluar dari ruangan. Lalu sang Ibu menelpon dokter untuk datang ke rumah. Namun, ketika dokter tiba pada pukul 1:35 pagi, wajah Seeyam sudah berubah hijau. Jantungnya sudah berhenti berdetak. Kakek Seeyam yang waktu itu sudah datang, menyemayamkan jasad bayi tersebut di atas kasur. Ditutup dengan deklarasi resmi dokter, bahwa Seeyam sudah tiada.
Ayah Seeyam masih tertegun menatap jenazah putranya. Baginya, suasana itu terasa tak nyata. Ia diterkam rasa terkejut tak terhingga, dan menyangkal kematian sang putra. Bahkan ia tak menghadiri pemakaman Seeyam.
Seperti namanya, Seeyam meninggalkan kedua orang tuanya sebagaimana Ramadan lewat meninggalkan umat Islam. Tapi, tak seperti Muslim lain yang girang alang kepalang menyambut gempita Hari Raya Idul Fitri, ayah Seeyam bahkan melewatkan salat id, saking terpukulnya atas kematian sang putra.
Ditolong Agama
Kisah sedih di atas dituliskan Mohammad Samir Hossain dalam artikelnya berjudul Abstinence: A Memoir, yang diterbitkan Journal of Loss and Trauma pada Maret 2011 silam.
Hossain bukan sembarang nama. Ia kini dikenal sebagai salah satu cendekiawan Muslim yang karyanya membantu peradaban. Karya itu bahkan diakui sebagai temuan paling penting di bidangnya. Siapa sangka, kalau kisah kehilangan Seeyam-lah yang membantu Hossain menelurkan karya ilmiahnya tersebut.
Dua hingga tiga hari pasca-kematian Seeyam, Hossain diserang perasaan tak ikhlas yang dalam. Sebagian besar keluarganya menyalahkannya karena tak membawa Seeyam ke rumah sakit. Ia sendiri begitu kecewa dengan dirinya. Kekecewaan itu berasal dari ketakutan Hossain pada kematian. Dalam dunia psikologi, gangguan kegelisahan ini disebut Thanatophobia alias death anxiety alias ketakutan berlebihan pada kematian.
Sejak manusia mempelajari filsafat untuk pertama kalinya dan mengenal konsep hidup-mati, sosok kematian kemudian berubah jadi momok yang paling ditakuti. Dalam sejarah kebudayaan populer dunia, kematian selalu diasosiasikan dengan perasaan-perasaan negatif dan mengerikan. Manusia kemudian menciptakan banyak hal untuk terus merayakan hidup dan menghindari kematian. Bahkan menciptakan agama-agama untuk mengelabui ketidakberdayaan mereka yang sama sekali tak tahu apa-apa tentang kematian.
Andrew Anselmo Smith, pengarang novel dari Amerika Serikat pernah bilang: “Manusia takut pada hal-ihwal yang tak terpahami, dan membenci segala yang tak bisa ditaklukkan.” Bukankah kematian amat sesuai untuk mendefinisikan apa yang dimaksud Smith sebagai "tak terpahami" dan "tak bisa ditaklukkan"?
Bagi sebagian manusia yang punya sejarah trauma atau pengalaman buruk dengan kematian, ketakutan itu bisa menjelma liar dan mengganas. Orang-orang ini yang kemudian, dalam dunia medis, dianggap mengidap thanatopia. Sebagai seorang dokter ahli kejiwaan, Hossain menyadari bahwa memelihara ketakutan yang kini dimilikinya itu adalah sebuah hal fatal. Ia kemudian berusaha keluar dari sana.
Dalam Islam, agama yang diimaninya, Hossain diajarkan bahwa kematian anak-anak yang belum berdosa akan membawa kedua orang tuanya ke surga setelah kematian. Islam juga mengajarkan hal-hal tentang hidup setelah mati. Singkat cerita, Hossain merasa tertolong dengan agamanya. Meski di saat yang sama, pikiran rasionalnya mempertanyakan, mengapa manusia harus mati di dunia jika kehidupan setelah kematian memang ada.
“Toh, aku tetap merasa kehilangan Seeyam selamanya,” tulis Hossain.
Namun, jika merunut pada ajaran agamanya, ketiadaan Seeyam hanya bersifat sementara. Kelak, dalam hidup setelah mati, Hossain percaya ia akan kembali bertemu dengan putranya. “Aku merasa tertolong oleh agamaku untuk melalui ini,” ungkap Hossain.
Teori DAH
Tapi bagaimana dengan mereka yang tak punya agama? Atau ajarannya berbeda dengan agama Hossain? Bagaimana mereka menghadapi kegelisahan akan kematian?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang kemudian mendorong Hossain melakukan penelitian tentang kematian. Ia ingin menciptakan sebuah gagasan universal yang bisa dipakai orang-orang beriman dan yang tidak beriman pada kekuatan Mahakuasa, dalam menghadapi death anxiety.
Temuan itu kini dikenal sebagai Death and Adjustment Hypotheses (DAH) alias Hipotesa Kematian dan Penyesuaiannya. Ia adalah sebuah teori tentang kematian yang kelak diakui sebagai temuan paling baik dalam riset-riset mengenai thanatophobia.
DAH yang dicetuskannya pertama kali dalam buku Quest for a New Death, kemudian diapresiasi dunia ilmu pengetahuan lewat Royal College of Psychiatrist di London dan Penerbit Taylor & Francis dalam Journal of Loss and Trauma.
DAH meyakini bahwa kematian sebenarnya hanyalah ciptaan manusia untuk menyebut keadaan ketika makhluk hidup berhenti bernapas; atau dalam dunia medis, kematian didefinisikan terjadi ketika otak manusia berhenti bekerja. Eksistensi manusia sendiri nyatanya berlanjut, namun bertransformasi menjadi zat lain ketika tubuhnya berhenti berfungsi.
Inti teori Hossain terdiri dari dua pokok: pertama, DAH meyakini bahwa kematian yang didefinisikan selama ini bukanlah akhir dari eksistensi manusia. Menurut Hossain, selama tak ada bukti empiris bahwa kematian adalah ujung mutlak eksistensi manusia yang alami, maka tak bisa menganggap kematian sebagai akhir pandangan epistemologi manusia.
Kedua, DAH meyakini bahwa mengganti pola pikir kita yang selalu berdasarkan nilai-nilai material menjadi nilai-nilai moral, dapat membantu manusia menyumbat penyangkalan-penyangkalan mereka tentang kematian.
Menurut Hossain, dengan meyakini hal tersebut, ketakutan manusia pada kematian akan berkurang. Dari pengalamannya sendiri, mengurangi ambisi pada hal-hal material seperti: kenaikan pangkat, gaji yang melimpah, dan hal-hal duniawi lainnya membuat dirinya lebih akrab dengan kematian. Dan menghindarinya dari perasaan-perasaan seperti: hanya orang tua yang boleh meninggal, kematian dapat dicegah jika kita sempurna, kematian tiba-tiba adalah hukuman dari yang Mahakuasa.
Di antara teori-teori tentang kematian lainnya, teori Hossain adalah yang paling baru, namun dianggap sangat membantu mereka yang mengalami death anxiety. Teori DAH dianggap yang paling baik di dunia psikologi karena memberi harapan bagi manusia untuk tidak takut lagi pada kematian.
Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam -- melalui para sarjana dan pemikir muslim -- pernah, sedang dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS