tirto.id - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyoroti besarnya kekayaan segilintir orang di Indonesia, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Menurut dia, penguasaan kekayaan dalam jumlah besar itu mengakibatkan ketimpangan semakin melebar di Indonesia.
“Karena dinikmati segelintir orang ini, maka membuat ketimpangan kita meningkat,” ucap Faisal dalam diskusi bertajuk “Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam” di Hotel Le Meridien pada Kamis (28/3).
Menurut data The Economist, kata Faisal, Indonesia berada di peringkat ke-7 dalam The Crony-capitalism index pada tahun 2016.
Hal itu disebabkan karena segelintir orang di Indonesia menguasai kekayaan mencapai 3,8 persen dari total GDP pada tahun 2016. Angka itu pun naik dari tahun 2014, yakni 3,76 persen dari total GDP dengan peringkat ke-8.
Faisal juga mengutip data Credit Suisse yang menunjukkan sekitar 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 45,4 persen kekayaan nasional. Sementara itu, 10 persen orang terkaya di Indonesia memiliki 74,8 persen kekayaan nasional.
Menurut Faisal, fenomena ini terjadi lantaran ada kesalahan mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Ia menegaskan demokratisasi SDA seharusnya tidak dimaknai semata-mata membagi-bagi penguasaan sumber daya alam kepada siapa pun dengan begitu bebasnya.
Akibat dari hal ini, Faisal pun menyoroti posisi Indonesia yang dianggap tidak berdaulat dalam kekayaan sumber daya alamnya lantaran kerap dieksploitasi, tetapi tak banyak dicadangkan untuk masa depan.
Justru menurutnya, Timor Leste negara yang lahir belakangan setelah Indonesia pun dapat masuk dalam posisi ke-19 “Sovereign wealth fund rangkings” dengan nilai kekayaan SDA di atas 10 miliar dolar AS.
“Semua negara ada tabungan. Kalau kita bukan tabungan, tapi utang. Timor Leste saja ada di nomor 19 di Sovereign wealth funds rangking,” kata Faisal.
Direktur Riset Habibie Center, Mohammad Hasan Ansori pun mengafirmasi pernyataan Faisal. Dalam penelitiannya, ia menemukan ada masalah dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dalam temuannya, semakin dekat seseorang dengan elit politik maka ia mendapat prioritas untuk menguasai SDA. Bahkan, seringkali IUP lebih diutamakan bagi keluarga atau kerabat dekat dari para politikus dan pejabat.
“IUP seringkali diterbitkan untuk keluarga besar atau teman bupati/gubernur tertentu. Lalu juga bagi politisi partai koalisi atau keluarga mereka,” ucap Hasan.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom