tirto.id - Pada 31 Mei 2020 akun Facebook Zein Muttaqien Halimi membagikan sebuah foto yang disebutnya sebagai "kuburan massal ulama dan santri 1948 oleh PKI Muso" (arsip). Foto tersebut juga disertai deskripsi bentuk-bentuk kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Foto hitam putih tersebut menampilkan puluhan orang yang duduk di sebuah parit yang panjang. Di atasnya terdapat beberapa pria berseragam dengan senjata. Beberapa klaim dalam tulisan tersebut ditutup dengan narasi sebagai berikut:
*Pasca Reformasi 1998* Pimpinan dan Anggota PKI yang dibebaskan dari Penjara, beserta keluarga dan simpatisanya yang masih mengusung IDEOLOGI KOMUNIS, justru menjadi pihak paling diuntungkan, sehingga kini mereka meraja-lela melakukan aneka gerakan pemutar balikkan Fakta Sejarah dan memposisikan PKI sebagai PAHLAWAN Pejuang Kemerdekaan RI. Sejarah Kekejaman PKI yang sangat panjang, dan jangan biarkan mereka menambah lagi daftar kekejamannya di negeri tercinta ini.
Unggahan ini mendapat komentar dari 1.600 orang dan telah dibagikan sebanyak 5.300 kali. Lantas, benarkah foto tersebut menunjukkan kuburan massal ulama dan santri, serta benarkah keluarga para anggota Partai Komunis Indonesia melakukan gerakan pemutarbalikkan fakta sejarah pasca-Reformasi 1998?
Penelusuran Fakta
Tirto melakukan penelusuran terhadap foto yang diunggah Zein melalui teknik Reverse Image Search. Pencarian kami menemukan bahwa foto ini ramai diperbincangkan pada 2016. Beberapa situs memuat foto ini seperti Globalresearch.ca dalam sebuah artikel berjudul “How the Australian, British, and US Governments Shamelessly Helped Kill Countless People in Indonesia in 1965”. Artikel itu memaparkan bagaimana pemerintah RI setelah Sukarno, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat bersalah dalam pembunuhan 500.000 hingga 1.000.000 orang.
Situs lain yang memuat foto ini adalah Kommersant.ru yang menceritakan film Joshua Oppenheimer, The Act of Killing (2012). Dokumenter ini menceritakan secara lengkap tentang kejadian tahun 1965 di Indonesia. Setelah percobaan kudeta militer di Indonesia, sekitar 500.000 hingga 1.000.000 orang terbunuh. Mereka yang komunis, diduga komunis, kerabat anggota partai tersebut, dan orang Tionghoa menjadi korbannya. Sementara yang dicap pahlawan adalah aparatur negara, komandan militer, dan menteri.
Namun kedua situs itu tak secara rinci memaparkan asal usul foto orang-orang yang duduk dalam parit tersebut.
Pemeriksaan fakta Tempo menuliskan bahwa foto tersebut juga dicetak dalam buku Kronik '65: catatan hari per hari peristiwa G30S sebelum hingga setelahnya (1963-1971) karya Kuncoro Hadi dan kawan-kawanyang diterbitkan Media Pressindo Yogyakarta pada 2017. Foto itu terdapat pada halaman 562.
Penelusuran ulang kami pada buku tersebut memang menemukan foto serupa pada halaman 562. Deskripsi foto tersebut menuliskan: "Orang-orang (diduga) komunis berada dalam parit dan akan dieksekusi." Di samping foto, ada tulisan kecil: "Penghancuran PKI." Namun buku tersebut tak memaparkan nama fotografer dari foto ini.
Sementara halaman selanjutnya dari buku Kuncoro Hadi menunjukkan foto-foto penangkapan orang-orang (yang diduga) PKI di wilayah sekitar Gunung Merapi, Jawa Tengah. Dengan demikian, orang-orang dalam foto tersebut bukanlah ulama dan santri yang dibunuh PKI Musso pada 1948.
Kemudian benarkah mantan anggota dan keluarga PKI memutarbalikkan fakta sejarah? Dari foto di buku Kuncoro Hadi, kita mengetahui bahwa orang-orang yang diduga PKI ditangkap dan dibunuh. Pembantaian massal ini terjadi dalam rentang 1965-1966. Jauh sebelum reformasi, fakta ini tidak banyak diketahui publik.
Tapi setelah Presiden Soeharto mundur, upaya-upaya pengungkapan sejarah di sekitar tragedi 1965 banyak dilakukan peneliti dan berbagai lembaga. Tujuannya adalah memperjuangkan keadilan bagi para penyintas peristiwa 1965 yang diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintahan Orde Baru.
Salah satu peneliti yang merekonstruksi peristiwa pembantaian 1965-1966 melalui dokumen-dokumen resmi militer adalah Jess Melvin dalam buku yang diterbitkan Routledge dengan judul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018). Melalui buku yang diangkat dari disertasinya itu, Jess Melvin merekonstruksi narasi bikinan TNI mengenai peristiwa 1965 berdasarkan catatan, rekaman, dan hasil wawancara dari 70 korban yang selamat, eksekutor, dan saksi mata dari aksi genosida yang terjadi di Aceh.
Lebih dari setengah abad, TNI mengisahkan pembantaian 1965 yang menewaskan sekitar satu juta warga sipil tak bersenjata sebagai perlawanan spontan masyarakat. Versi militer menyebut aksi-aksi pembantaian itu sebagai "Operasi Penumpasan" untuk menghabisi musuh bebuyutan TNI—Partai Komunis Indonesia (PKI)—hingga ke akar-akarnya.
Tiga ribu halaman dokumen yang dijuluki Melvin “Berkas Genosida Indonesia” itu mampu meruntuhkan propaganda pemerintah Indonesia tentang pembunuhan massal 1965-1966 dan membuktikan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalamnya. Berkas Genosida Indonesia juga menunjukkan sebuah koordinasi tingkat tinggi dan terpusat di balik rangkaian pembunuhan 1965-1966 yang bisa ditelusuri rantai komandonya hingga ke Soeharto di Jakarta.
Melvin menempatkan operasi militer 1965-1966 sebagai tindakan genosida, seturut definisi yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Pada bab pertama Mechanics of Mass Murder, ia menjelaskan bagaimana rentetan peristiwa dan rekaman yang ditemukan dalam Berkas Genosida Indonesia menunjukkan keterlibatan TNI dalam operasi penumpasan yang bertujuan menghancurkan—sebagian atau keseluruhan—sebuah kelompok nasional, etnis, ras atau agama.
Sebelum penemuan Berkas Genosida Indonesia pada 2010, para peneliti terus berdebat soal apakah TNI menyembunyikan bukti baru atau pernahkah TNI mengeluarkan perintah untuk melakukan pembantaian massal.
Diskursus akademik pasca-1965 tentang peristiwa G30S beserta pembunuhan massal yang menyertainya ikut menguatkan klaim-klaim TNI. Sejak dulu, ada rasa enggan di lingkaran akademik Indonesia untuk menempatkan pembantaian 1965 sebagai kampanye militer yang sistematis, terstruktur, dan terpusat.
Laporan-laporan akademik awal seperti yang ditulis Lucien Rey (1966) serta Ruth McVey dan Benedict Anderson (1971) terang-terangan menyoroti peran TNI dalam pembunuhan 1965-1966. Posisi ini didukung para pengkaji genosida seperti Leo Kuper (1981) serta Frank Chalk dan Kurt Jonassohn (1990), yang sejak awal bermaksud memasukkan pembantaian massal 1965-1966 ke dalam kategori genosida.
Laporan-laporan perdana ini juga tak bebas dari masalah karena mengandalkan kesaksian tentara dan materi propaganda TNI yang bisa diakses khalayak. Laporan-laporan tersebut belum bisa membuktikan keterlibatan TNI dalam aksi kekerasan massal 1965-1966, apalagi niat TNI untuk menghabisi komunisme. Kesulitan memperoleh bukti bahwa militer langsung mengomandoi pembunuhan memunculkan sebuah "problem pembuktian."
Lambat laun, terbangunlah asumsi bahwa bukti semacam itu memang tak pernah ada. Celah inilah yang akhirnya melahirkan narasi-narasi seputar pembunuhan massal yang cocok dengan versi TNI.
Namun ada pula beberapa peneliti yang menolak tunduk pada narasi dominan bikinan serdadu. Peneliti seperti Robert Cribb (1991), Saskia Wieringa (1995), Geoffrey Robinson (1995), Bonnie Triyana (2002), John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (2004) mengandalkan metode sejarah lisan untuk mengungkap sejumlah kasus peran militer dalam pembantaian.
Kesimpulan
Informasi yang dibagikan akun Facebook Zein Muttaqien Halimi bersifat salah sebagian (partly false). Foto yang diklaim merupakan santri dan ulama nyatanya merupakan orang-orang (yang diduga) PKI dan siap dibantai. Sementara itu banyak peneliti berusaha menemukan fakta sejarah baru yang berbeda dengan narasi yang ada selama ini. Dan keluarga para anggota PKI juga tak berusaha memutar balikkan fakta sejarah.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara