Menuju konten utama

Sakit dan Impoten Pascavasektomi Itu Hanya Mitos

Vasektomi tak lebih sakit daripada sunat. Ia juga tak membikin Anda jadi impoten atau tak lagi bergairah.

Sakit dan Impoten Pascavasektomi Itu Hanya Mitos
Vasektomy. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Perempuan sudahlah hamil, melahirkan, menyusui, masih pula menanggung beban kontrasepsi berkepanjangan. Padahal, laki-laki pun sebenarnya bisa mengambil alih masalah perencanaan keluarga. Sayang masih banyak dari mereka yang membangun relasi dengan rasa malas berkontrasepsi.

Artikel ini akan diawali dengan sebuah pertanyaan pembuka: Bisakah laki-laki mengambil alih beban kontrasepsi yang selama ini ditanggung perempuan?

Pilihan kontrasepsi pria di Indonesia saat ini memang baru dua, yakni kondom dan vasektomi (sterilisasi pria). Keduanya menjadi jenis kontrasepsi yang paling jarang digunakan menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 (hal. 412).

Tingkat kepopuleran kondom dan vasektomi berada di urutan dua terbawah dalam pemilihan kontrasepsi. Vasektomi berada di pilihan paling terakhir (0,2 persen) setelah kondom laki-laki (1,1 persen). Selebihnya merupakan alat kontrasepsi perempuan.

Sementara itu, kontrasepsi modern yang paling banyak digunakan adalah suntik hormonal 3 bulan (42,4 persen). Urutan kedua terpopuler adalah pil kontrasepsi (8,5 persen) dan IUD/AKDS/Spiral (6,6 persen). Selain ketiga jenis kontrasepsi tersebut, perempuan Indonesia juga lazim menggunakan suntik hormonal 1 bulan (6,1 persen), implan/susuk KB (4,7 persen), dan tubektomi (3,1 persen).

Kita semua agaknya tahu alasan ketidakpopuleran kontrasepsi pria. Para pria merasa kondom mengurangi kenikmatan seksual, sementara mereka juga terlalu takut menjajal vasektomi.

Dalih-dalih antipati seperti itu memang sering digunakan laki-laki untuk melimpahkan beban kontrasepsi pada pasangannya, tapi tidak dengan Yahya Kurniawan (49 tahun). Tak seperti kebanyakan laki-laki yang ribet membuat pertimbangan kontrasepsi, Yahya mengambil keputusan vasektomi secara singkat tapi matang.

Sekitar seminggu lalu, Tirto mengobrol dengannya mengenai hal-hal yang membuat Youtuber sekaligus Bloger teknologi ini yakin melakukan sterilisasi sekitar 13 tahun lalu. Itu periode ketika para pria lebih tidak lazim lagi dalam berkontrasepsi.

Kira-kira dalam rangka sayang kepada istri,” kelakar Yahya saat berbicang melalui saluran komunikasi virtual, Selasa (11/1/2022).

Bagi sebagian orang, omongan Yahya itu mungkin terdengar seperti gombalan kacangan. Tapi, Yahya benar-benarmembuktikan omongannya itu. Niatnya bervasektomi makin mantap setelah membaca artikel soal efek samping penggunaan obat kontrasepsi jangka panjang. Otak Yahya langsung mengasosiasikan informasi itu dengan aktivitas kontrasepsi keluarganya.

Sang istri memang mengakses pil kontrasepsi karena itu yang paling cocok dan tak rewel di tubuhnya. Sudah satu dekade berlalu sejak sang istri melahirkan anak pertama mereka, hingga akhirnya memutuskan cukup bereproduksi di anak kedua.

Selama itu pula, istrinya menjajal berbagai macam kontrasepsi—beserta masalah-masalah yang menyertainya: pendarahan dan haid tidak teratur.

Saya langsung cari informasi, bagaimana jika saya saja yang berkontrasepsi, bukan istri. Kemudian sebuah artikel tentang vasektomi membikin saya mantap, daripada dia harus tanggung efek jangka panjang,” tutur Yahya.

Sunat Lebih Menyakitkan Dibanding Vasektomi

Saya akan menebak apa yang Anda pikirkan tentang vasektomi: pembedahan dengan luka sayat mengerikan di bagian skrotum—kantong kulit yang menggantung di bagian pangkal penis. Pascaprosedur, agaknya terbayang rasa sakit di bagian sensitif itu harus ditahan berminggu-minggu lamanya.

Ketakutan Anda tidak salah, hanya saja sangat berlebihan. Pasalnya, prosedur vasektomi tak lebih sakit daripada sunat. Bahkan pascaoperasi, Yahya langsung bisa mengemudikan mobil sendiri. Dokter bagian bedah umum atau urologi hanya akan membuat tusukan kecil di skortum, tanpa pisau bedah.

Mereka kemudian merenggangkan kulit untuk memblokir saluran vas deferens. Tindakan itu bertujuan supaya sperma tidak dapat meninggalkan testis dan mencapai sel telur. Sperma tetap diproduksi, tapi kembali diserap oleh tubuh.

Lukanya kecil, tidak sampai 1 cm, operasinya saja cuma 15 menit. Pemulihannya standar saja, malah lebih cepat dari luka tergores,” kata Yahya. Sebelum memulai prosedur, bagian skortum juga diberi anestesi lokal untuk menghilangkan rasa nyeri.

Sejauh ini, vasektomi menjadi jalan kontrasepsi paling ampuh untuk mengendalikan kehamilan, bahkan jika dibandingkan dengan tubektomi (sterilisasi perempuan). Pada tahun pertama setelah vasektomi, hanya 15 hingga 20 dari setiap 10 ribu pasangan yang mengalami kehamilan.

Sebagai perbandingan, dengan menggunakan kondom, ada 1.400 dari 10 ribu pasangan hamil setiap tahun. Lain itu, kehamilan pada pasangan dengan pil kontrasepsi dapat mencapai 500 dari setiap 10 ribu pasangan setiap tahun.

Dari segi efisiensi, prosedur vasektomi lebih sederhana dari tubektomi. Pasien tak perlu rawat inap dan biayanya jugasangat terjangkau—hanya sekitar ratusan ribu saja. Lain itu, masa pemulihannya pun singkat.

Sementara itu, tubektomi punya tindakan lebih rumit dengan masa pemulihan panjang. Pembedahan tubektomi biasanya dilakukan di bagian perut, baik dengan sayatan besar maupun tusukan laparoskopi. Pascatindakan, pasien harus berbaring minimal selama 6 jam. Biayanya pun beberapa kali lipat lebih mahal—bisa mencapai lebih dari Rp5 juta.

Jika sulit membayangkan, pakai saja analogi persalinan caesar karena biasanya dokter juga mengerjakan tubektomi bersamaan dengan proses persalinan. Pada jenis operasi ini, untuk menunggu luka kering saja butuh waktu hingga hitungan bulan.

Kalau vasektomi sudah saya buktikan tidak punya efek negatif. Nyaman dan aman sampai sekarang,” ujar Yahya, seolah memberi garansi pada para laki-laki yang belum tergerak andil dalam berkontrasepsi.

Infografik SC Vasektomy

Infografik SC Vasektomy. tirto.id/Fuad

Vasektomi Tidak Bikin Impoten

Selain soal rasa sakit, pertanyaan lain yang sering diutarakan para pria tentang vasektomi adalah pengaruhnya terhadap performa seks. Mereka was-was dan berpikir sterilisasi akan memangkas gairah seksual dan kemampuan ereksi. Padahal, faktanya tidak begitu.

Vasektomi hanya membuat pria tidak subur alias berada dalam kondisi azoospermia, yakni tidak ada sperma pada cairan ejakulasi (air mani) selama orgasme. Jadi, mereka bukan sedang dikutuk menjadi impoten dengan prosedur vasektomi.

Penis tetap akan ereksi, jumlah testosteron yang dihasilkan pun sama, air mani juga masih keluar alias masih ejakulasi. Semua bagian dari alat reproduksi pria pun tetap bekerja dengan cara yang sama seperti sebelum vasektomi. Yang membedakan hanyalah ketiadaan sperma.

Malah dari pengalaman, perasaan saya jadi lega, tidak khawatir lagi soal kehamilan istri sehingga kehidupan seks juga semakin baik. Durasi lebih lama,” aku Yahya.

Keberhasilan tindakan vasektomi juga bergantung pada kepatuhan pasien menjalankan pantangan selama masa pemantauan. Jadi, vasektomi tak serta merta membikin pria steril. Butuh waktu hingga air mani bebas dari sperma dengan hitungan 15-20 ejakulasi atau sekitar tiga bulan lamanya.

Untuk memastikan seorang pria telah berada pada fase tidak subur, perlu pemeriksaan jumlah sperma. Yahya melakukan analisis sperma dengan uji laboratorium. Namun, ada cara lain yang lebih mudah dan bisa dikerjakan di rumah, yakni menggunakan alat tes kesuburan pria.

Alat ini berbentuk seperti alat tes kehamilan. Jika hasil tes menunjukkan garis dua alias positif, maka konsentrasi sperma berada di atas 15 juta/ml—termasuk dalam kategori normal atau subur. Begitu juga sebaliknya, jika hasil tes menunjukkan satu garis alias negatif.

Dari seluruh tindakan vasektomi, kemungkinan gagalnya hanya kurang dari 1 persen. Jadi, para pria tak perlu waswas kebobolan jika sudah mematuhi syarat dan ketentuan di atas. Mereka hanya perlu mengugurkan rasa malas berkontrasepsi dan berkorban 15 menit demi seks yang abadi.

Baca juga artikel terkait KONTRASEPSI PRIA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi