tirto.id - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode emiten PGEO pada Jumat 24 Februari 2023. Saham PGEO bergerak dengan volatilitas tinggi pada debut perdagangan perdananya.
Pada pembukaan sesi pertama, saham PGEO sempat melonjak ke level Rp925 per lembar dari harga penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) pada level Rp875 per unit saham. Tak lama kemudian, saham emiten anak usaha PT Pertamina (Persero) itu anjlok 6,8 persen hingga menyentuh level auto reject bawah (ARB) ke level Rp815.
Sebelum penutupan perdagangan, saham PGEO rebound dan ditutup pada level harga IPO di level harga Rp875. Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF, Abra Talattov mengatakan, harga saham PGEO pada hari perdana perdagangannya memperlihatkan kondisi yang paradoks.
Hal ini menyusul moncernya kinerja fundamental perseroan dianggap cukup impresif dengan pencapaian laba bersih 11,4 juta per dolar AS September 2022 serta pertumbuhan pendapatan 5-10 persen setiap tahun. Walaupun demikian, di balik fluktuasi harga saham PGEO yang dianggap sebagian pihak adalah mekanisme pasar biasa. Di sisi lain dapat dibaca sebagai bentuk masih besarnya perasaan unconfident investor publik terhadap prospek pengembangan geothermal di tanah air.
“Ketidakyakinan investor PGEO tersebut sebetulnya cukup wajar mengingat memang masih tebalnya risiko dan ketidakpastian dalam pengembangan geothermal. Terlebih lagi dengan rencana penggunaan 85 persen dana hasil IPO PGEO untuk belanja modal atau capex terkait investasi pengembangan kapasitas tambahan dari WKP eksisting,” katanya di Jakarta, Senin (27/2/2023).
Dia menuturkan meskipun PGEO mampu melakukan penambahan kapasitas terpasang dari PLTP, apakah pasokan tambahan itu secara otomatis dapat diserap oleh end user dalam hal ini adalah PLN sebagai single buyer. Dia menjelaskan dalam kondisi pasokan listrik berlebihan saat ini saja, PLN sudah memberlakukan skema merit order yang berarti bahwa PLN secara alamiah akan memprioritaskan pembelian listrik dari sumber yang lebih murah.
“Sebab, penyerapan listrik dari sumber yang lebih mahal akan berimplikasi terhadap kenaikan operasional PLN atau BPP sehingga pada gilirannya akan berimbas terhadap tambahan subsidi dan kompensasi listrik," ujarnya.
Lebih lanjut, pengembangan geothermal dan sumber EBT lainnya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari aspek keekonomian, beban fiskal, dan demand listrik nasional.
"Sebetulnya belum ada urgensi bagi PGEO untuk melakukan IPO saham karena pemenuhan dana dari pasar modal bukanlah satu-satunya sumber dana yang tersedia bagi pengembangan operasional usaha," katanya.
Sebelumnya, Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menuturkan, bahwa ada sentimen berlebihan dari publik terhadap IPO PGE yang ditandai dengan kelebihan permintaan (oversubscribe) pada masa penawaran.
Di sisi lain, geothermal adalah salah satu bisnis di sektor energi yang memiliki tingkat pengembalian investasi rendah dengan risiko yang sangat tinggi. Bahkan kemungkinan gagal bisa mencapai 60-75 persen.
“Maka investasi di pengembangan geothermal adalah high risk investment,” ujarnya.
Menurutnya, proses bisnis geothermal memakan waktu yang cukup lama. Bagaimana tidak, mulai dari survei awal, penyiapan lahan, perizinan, eksplorasi hingga pengembangan pembangkit listrik bisa membutuhkan waktu 7-9 tahun lamanya. Belum lagi risiko tinggi yang mengikuti proses bisnisnya.
Selain sisi risiko tinggi dan return minim, investasi panas bumi juga membutuhkan modal jumbo. Mulai dari penentuan titik lokasi yang berpotensi, lalu infrastruktur pengembangannya, bahkan eksplorasinya sendiri bisa mencapai 40-60 persen dana operasional.
Dia menjelaskan jika secara jangka panjang, pengumpulan dana publik perseroan sebagian besarnya akan digunakan untuk belanja modal (capital expenditure/capex) di berbagai wilayah kerja panas bumi (WKP) di Indonesia.
“Risiko kegagalannya pun cukup tinggi, baik dari sisi teknis maupun non teknisnya, seperti ancaman kerusakan lingkungan, resettlement, atau bahkan harus mengorbankan situs-situs di lokasi eksplorasi dan permasalahan sosial lainnya,” kata dia.
Teguh menilai kesalahan strategis yang dilakukan perseroan adalah mementingkan pendanaan jangka pendek dalam kondisi yang belum siap. Padahal sejatinya model investasi geothermal harus jangka panjang dan membutuhkan strategic partner dalam pengembangan awal, bukan dengan IPO.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin