tirto.id - Apa yang ada dalam benak kita saat bicara tentang perempuan Jepang? Mungkin sebagian besar dari kita membayangkan tokoh kartun atau anime berparas oriental nan cantik, lugu, imut-imut, lengkap dengan suara melengking ala kanak-kanak.
Perempuan Jepang memang lekat dengan penggambaran serba imut, atau lazim disebut kawaii. Ekspresi tersebut telah diakui sebagai salah satu identitas Jepang di mata dunia. Bagi banyak orang, Jepang adalah kawaii.
Di sisi lain, orang Jepang sendiri cukup terbebani dengan anggapan tersebut. Bagi mereka, anggapan bahwa perempuan Jepang hanya memiliki satu dimensi saja, yaitu keimutan, akhirnya menjadi sekat yang membatasi peran mereka di masyarakat.
Budaya kawaii memang mengedepankan gambaran bahwa perempuan Jepang cenderung lemah, pasrah, dan sangat bergantung kepada laki-laki. Budaya ini pun sukses memenjara perempuan Jepang dalam berbagai segi kehidupan, mulai dari masyarakat, keluarga, hingga tempat kerja.
Pengaruh kawaii dalam membatasi peran perempuan, khususnya di tempat kerja, sudah mulai disuarakan banyak pihak. Bahkan, tak kurang dari tokoh sekelas Akie Abe—istri Perdana Menteri Shinzo Abe—turut menyuarakan pendapatnya.
“Pikiran laki-laki memang tidak pernah berubah,” sindirnya seperti diberitakan Bloomberg. “Pria Jepang cenderung lebih suka wanita imut dibandingkan wanita pekerja keras, sehingga perempuan selalu berusaha tampil sesuai keinginan mereka. Akhirnya, semua perempuan yang berbakat pun mengikuti gaya kawaii,” imbuhnya.
Perempuan berusia 54 tahun ini mengaku bahwa pandangan tersebut awet bertahan sejak ia mulai masuk dunia kerja saat berusia 20an dahulu. Alih-alih memperjuangkan haknya untuk turut berpartisipasi lebih tinggi dalam dunia kerja, perempuan Jepang justru fokus untuk selalu tampil kawaii atau imut.
Rendahnya Partisipasi Perempuan di Dunia Kerja
Minimnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja tampak dari jumlah perempuan yang menduduki posisi-posisi teratas di perusahaan. Survei pemerintah Jepang menunjukkan dari keseluruhan posisi-posisi tertinggi di perusahaan, hanya ada 8,3 persen wanita yang menjabatnya.
Menurut data World Economic Forum 2015, Jepang ada di posisi 101 dari 145 negara untuk daftar negara dengan tingkat kesetaraan gender terbaik. Posisi ini terhitung buruk untuk negara dengan kapasitas ekonomi sebesar Jepang. Berdasarkan survei pemerintah, perempuan Jepang yang bekerja mencapai angka 64 persen, sedangkan prianya menyentuh angka 84 persen. Angka tersebut masih tergolong rendah untuk ukuran negara-negara maju di dunia
Di sisi lain, perempuan sebenarnya dapat menjadi solusi bagi kekurangan tenaga kerja yang saat ini tengah mendera Jepang. Negara Matahari Terbit ini memang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk terburuk di dunia akibat angka kelahiran yang rendah. Menurut data BBC, tingkat kelahiran di Jepang hanya sekitar 1,37 per wanita, padahal dibutuhkan tingkat kelahiran minimal 2,1 untuk membuat populasi sebuah negara tetap stabil.
Kathy Matsui, penulis buku Womenomics: Japan's Hidden Asset, bahkan mengungkapkan fakta ironis: Jepang adalah satu-satunya negara OECD (perkumpulan negara-negara ekonomi maju) yang memiliki jumlah binatang peliharaan lebih banyak ketimbang bayi.
Direktur IMF Christine Lagarde sendiri memperingatkan minimnya kontribusi perempuan dalam dunia kerja, khususnya di posisi-posisi tertinggi, telah berkontribusi terhadap krisis ekonomi yang melanda Jepang selama 20 tahun terakhir ini.
Salah satu penyebab utama dari minimnya partisipasi perempuan di Jepang adalah kerasnya tuntutan dunia kerja di Jepang. Perusahaan-perusahaan di Jepang memang mewajibkan seluruh pekerjanya tidak hanya “bekerja” tetapi juga “mengabdi”. Bentuk pengabdian itu, salah satunya adalah jam kerja yang sangat panjang serta kewajiban lembur yang tinggi.
Tuntutan seperti itu menyebabkan orang Jepang hampir-hampir tidak memiliki kehidupan sosial di luar pekerjaan. Mereka biasa bekerja sejak pagi hingga malam hari. Selepas kerja, para pekerja perempuan masih memiliki kewajiban untuk ikut acara minum-minum baik dengan atasan, sesama rekan kerja, maupun klien perusahaannya. Padahal mereka hanya digaji sebesar 70 persen dari gaji pegawai laki-laki dan umumnya ditugaskan pada bidang-bidang pekerjaan yang dianggap sepele.
Hal-hal semacam ini memberatkan perempuan, khususnya yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Rata-rata pekerja perempuan Jepang tidak dibantu pasangannya dalam mengurus buah hati. Akhirnya, sebanyak 70 persen perempuan Jepang memutuskan berhenti kerja setelah melahirkan anak pertamanya.
Riset dari BBC menunjukkan bahwa pria Jepang hanya menyisihkan satu jam untuk mengurus rumah tangga dan hanya 15 menit untuk mengasuh anak mereka. Sebagai perbandingan, pria di Amerika Serikat bisa menggunakan waktu hingga tiga jam untuk urusan domestik. Jepang sendiri masih kekurangan tempat penitipan anak, sehingga biaya penitipan anak di negara ini tergolong mahal.
Kawaii Sebagai Cerminan Patriarki di Jepang
Jepang adalah salah satu negara dengan penduduk paling modern di dunia. Namun, itu tidak menjamin negara ini kedap sepenuhnya dari budaya patriarki yang menjadi pangkal diskriminasi terhadap perempuan.
Kyoko Mori, seorang penulis dan dosen di Harvard University, menyatakan seksisme di Jepang dapat dilihat dari dari perbedaan bahasa dalam menyebutkan “istri” dan “suami”. Istri dalam bahasa Jepang adalah “kanai” (yang berarti “ di dalam rumah”) atau “okusan” (orang yang dihormati dan bertempat di belakang). Sementara, suami disebut "shujin” atau “orang yang berwenang”.
Menurutnya, definisi istri sebagai orang yang “dihormati” tidak serta-merta membuatnya memegang kebebasan atas dirinya sendiri, karena bagaimanapun ia masih terpenjara akibat tanggung jawabnya “di dalam rumah”. Definisi itu juga menyiratkan seorang wanita tidak seharusnya menantang seorang laki-laki, siapapun dia.
“Bayangkan, apa jadinya jika perempuan selalu terlihat polos dan imut/kawaii tetapi mereka tidak diizinkan untuk menantang laki-laki meskipun berada dalam posisi ditindas. Coba renungkan, berapa kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual yang sengaja disembunyikan dari otoritas berwenang karena hal ini? Ingat, perempuan bisa jadi korban dari keimutan mereka sendiri!,” tandas Jennie M Xue, kolomnis laman Magdalene.
Minimnya kebebasan perempuan adalah sumber dari budaya kawaii yang begitu digandrungi perempuan-perempuan Jepang, termasuk mereka yang sudah bekerja. Pekerja-pekerja perempuan di Jepang selalu berusaha untuk tampil cantik dan imut ala kawaii.
Seperti ditulis Neil Steinberg pada The Guardian, kita dapat melihat banyak pekerja perempuan Jepang yang menggunakan masker (“date masuku”) dalam kesehariannya. Namun, masker itu ternyata tidak hanya digunakan untuk alasan kesehatan semata.
Masker itu juga berguna untuk menghindari mereka dari tatapan orang-orang di saat mereka tidak sempat memakai make-up, atau saat mereka merasa kurang percaya diri dengan wajahnya. Intinya, masker adalah cara para pekerja perempuan untuk berlindung dari ketidak-imutan mereka.
Budaya kawaii telah membuat perempuan Jepang menempatkan kecantikan sebagai prioritas utama dalam kehidupan mereka. Di sisi lain, mereka menganggap pengakuan atas kecantikan seorang perempuan harus datang dari lawan jenisnya, atau secara lebih spesifik lagi, lewat pernikahan.
“Wanita Jepang masih hidup dalam budaya dimana wanita lajang berusia 30an dianggap sama dengan “sisa-sisa kue Natal”—mengacu kepada umur 25 tahun [dari 25 Desember] yang dianggap sebagai batas ideal untuk menikah—sehingga mereka akan dianggap kedaluwarsa. Tidak ada yang menginginkan mereka,” papar Neil Steinberg.
Pengalaman para perempuan Jepang ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. Kondisi pekerja perempuan di Jepang menunjukkan kesetaraan gender tidak semata bergantung pada kemajuan ekonomi teknologi. Ada persoalan budaya dan struktur sosial yang menjadi penentu.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Maulida Sri Handayani