tirto.id - وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ ۚ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengannya. Dan pasti di Hari Kiamat nanti akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu (Q.S. An-Nahl ayat 92).
Setelah ayat yang lalu memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpah, ayat ini melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Pengilustrasian ini merupakan salah satu bentuk penekanan. Memang, penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat karena hal itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat.
Ayat ini menegaskan bahwa: Janganlah kamu, dalam hal mengkhianati perjanjian dan membatalkan sumpah, seperti keadaan seorang perempuan gila yang sedang menenun dengan tekun hingga ketika telah rampung ia mengurai kembali tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat sehingga menjadi cerai berai lagi. Kamu semua sadar bahwa melakukan hal demikian adalah kebodohan dan keburukan, dan itu sama halnya sengan apabila kamu menjadikan sumpah dan perjanjian kamu sebagai penyebab kerusakan diantara kamu, yakni alat menipu yang mengakibatkan kerusakan hubungan antar-kamu disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih kuat, lebih kaya dan tinggi kedudukannya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu, yakni mempermalukan kamu seperti perlakuan seseorang yang menguji dengannya, yakni dengan setia menepati janji dan memenuhi sumpah atau tidak. Dan pasti di hari kiamat nanti akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kami perselisihkan itu, kemudian akan memberi balasan sesuai amal perbuatan kamu masing-masing,
Konon, di Mekkah ada seorang wanita yang terganggu pikirannya. Dia memiliki pemintal, yakni alat untuk memintal benang, guna membuat tali yang kukuh atau benang. Bersama budak-budak wanitanya, mereka duduk memintal, dari pagi sampai siang hari, kemudian merombak kembali apa yang mereka lakukan sejak pagi sehingga benang-benang hasil pintalan mereka cerai berai lagi. Konon, nama wanita itu adalah Raithah Ibn Sa’d at-Taimiyah.
Apakah kisah ini benar atau sekedar ilusi, yang jelas itu adalah kegiatan melemahkan kembali apa yang telah dikukuhkan serta merusak apa yang telah diperbaiki. Ini ibarat seseorang yang tadinya berada dalam kesesatan, kemudian memeluk Islam dan memperbaiki diri, lalu kembali kepada kesesatan semula. Ayat ini melarang hal tersebut, yakni janganlah kembali kepada kesesatan setelah kamu menemukan kebenaran karena, jika demikian, keadaan kamu serupa dengan wanita yang dilukiskan di atas.
Penggunaan kata seperti seorang perempuan sama sekali bukan untuk melecehkan perempuan karena apa yang dilakukan perempuan dalam hal ini dapat juga dilakukan oleh lelaki. Penyebutan perempuan di sini boleh jadi karena memang kisah ini cukup pupuler dan yang melakukannya adalah perempuan yang disebut namanya di atas atau karena biasanya pekerjaan memintal banyak dilakukan oleh perempuan.
Dalam konteks ini, pakar hadis, Abu Nu’aim, meriwayatkan melalui sahabat Nabi SAW, ‘Abdullah Ibn Rabi’al-Anshari, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sebaik-baik permainan seorang Muslimah di rumahnya andalan memintal.”
Kata dakhalan dari segi bahasa berarti kerusakan atau sesuatu yang buruk. Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini karena dengan bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati mitranya, tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, hubungan mereka menjadi rusak, tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari. Dengan demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan.
Kata arba terambil dari kata ar-rubuwu yaitu tinggi atau berlebih. Dari akar yang sama, lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan dimaksud bisa saja dalam arti kuantitas sehingga bermakna lebih banyak bilangannya atau dalam arti kualitasnya, yakni lebih tinggi kualitas hidupnya dengan harta yang melimpah dan kedudukan yang terhormat.
Ayat di atas menyebut kata ummah/golongan sebanyak dua kali. Banyak pakar tafsir memahami ayat ini berbicara tentang kelakuan beberapa suku pada masa Jahiliah. Mereka — namailah pihak pertama — mengikat janji atau sumpah dengan salah satu suku yang lain (pihak kedua), tetapi kemudian pihak pertama itu menemukan suku yang lain lagi — pihak ketiga — yang lebih kuat dan lebih banyak anggota dan hartanya atau lebih tinggi kedudukan sosialnya daripada pihak kedua.
Nah, di sini pihak pertama membatalkan sumpah dan janjinya karena pihak ketiga lebih menguntungkan mereka. Thabathaba’I memahami penggalan ayat ini dalam arti agar supaya suatu golongan — dalam hal ini yang bersumpah itu (pihak pertama) —memeroleh lebih banyak bagian dari kemegahan duniawi dari golongan yang lain — dalam hal ini adalah pihak kedua — yang kepadanya ditujukan sumpah oleh pihak pertama.
Pendapat pertama lebih lurus dan sesuai dengan kenyataan umum masyarakat pada masa jahiliah dan masa awal Islam. Namun, apa pun makna yang Anda pilih, yang jelas ayat ini melarang seseorang atau suatu kelompok masyarakat—besar atau kecil—membatalkan sumpah atau perjanjian dengan motif memperoleh keuntungan material. Dalam konteks sejarah, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan memihak kelompok musyrik atau musuh Islam karena mereka lebih banyak dan lebih kaya daripada kelompok muslimin sendiri. Apa yang diingatkan di atas sungguh dewasa ini telah sering kali dilanggar oleh tidak sedikit kaum muslimin, baik secara pribadi, kelompok bahkan negara.
Sayyid Quthub menggarisbawahi bahwa, “Termasuk dalam kecaman ayat ini pembatalan perjanjian dengan dalih kemaslahatan negara, di mana suatu negara mengikat perjanjian dengan negara atau sekelompok negara-negara tertentu, lalu membatalkan perjanjian itu karena adanya negara lain yang lebih kuat/kaya daripada negara pertama atau kelompok negara yang telah terikat dengan perjanjian, pembatalan yang didasarkan oleh apa yang dinamai kemaslahatan negara. Islam tidak membenarkan dalih ini dan menekankan perlunya menepati perjanjian. Ini diperhadapkan dengan penolakan terhadap perjanjian atau kerja sama yang tidak berdasar kebajikan dan ketakwaan serta segala macam perjanjian dan kerja sama yang berdasar dosa, kefasikan dan kedurhakaan, pelanggaran hak-hak manusia, serta penindasan terhadap negara dan bangsa-bangsa.”
=====
*) Naskah diambil dari buku "Tafsir al-Mishbah Vol. 6" yang diterbitkan penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
Editor: Zen RS