tirto.id - Sandiaga Salahuddin Uno dan Joko Widodo (Jokowi) belakangan menjadikan pasar tradisional sebagai medan kampanye. Saat lawatan politik itu, masing-masing dari mereka saling klaim kondisi harga barang pokok di pasar tradisional.
Salah satu klaim Sandiaga yang paling viral adalah soal bentuk tempe setipis kartu ATM. Klaim itu kemudian dibantah Jokowi saat blusukan ke Pasar Surya Kencana Bogor pada Selasa 30 Oktober lalu. Jokowi membeli sejumlah tempe dan meminta wartawan menyaksikan betapa ukuran tempe yang ia beli berukuran tebal. Ucapan Jokowi seolah membantah pernyataan Sandiaga.
Berselang sehari kemudian, 31 Oktober 2018, Sandiaga menantang Jokowi lomba mencari ukuran tempe dari hasil blusukan mereka ke pasar tradisional. Lantas apa makna blusukan Sandiaga dan Jokowi dimata kedua pendukung?
Ketua DPP PAN Yandri Sutanto menganggap Sandiaga tak punya pretensi menyerang Jokowi lewat blusukan-blusukannya ke pasar tradisional. Apalagi meniru gaya kampanye mantan Wali Kota Solo tersebut saat Pilpres 2014 lalu.
"Jadi kalau Sandi sekarang ke pasar-pasar atau blusukan kan permintaan masyarakat. Supaya mereka ditinjau dan ada dialog," kata Yandri kepada reporter Tirto, Senin (5/11/2018).
Lagi pula, kata Yandri, blusukan ke pasar merupakan hal wajar dilakukan kandidat capres-cawapres. Menurutnya cara itu masih menjadi yang paling relevan untuk mengetahui kondisi perekonomian masyarakat secara nyata.
"Pasar kan pusat kegiatan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Kaya, miskin, laki-laki, perempuan semua butuh pasar. Karena di situ pusat ekonomi. Mulai kebutuhan besar sampai kecil ada di pasar," terangnya.
Sebaliknya, Yandri justru mengkritik Jokowi yang masih blusukan padahal sudah menjabat sebagai presiden. Menurutnya lewat wewenang yang dimiliki, harusnya Jokowi bisa mengatur keseimbangan harga di pasar tanpa harus kembali blusukan.
"Ya ini memang bukti Pak Jokowi selama ini gagal. Daya beli masyarakat di pasar turun. Harga bahan pokok tidak stabil. Impor malah terus terjadi, padahal bilangnya enggak akan impor," ujarnya.
Menanggapi Yandri, Juru Bicara TKN Jokowi-Ma'ruf, Eva Kusuma Sundari menilai blusukan Jokowi memang bukan untuk menyeimbangkan harga. Melainkan untuk membuktikan pernyataan Sandiaga bahwa tempe setipis kartu ATM tidak benar.
"Kalau tempe enggak sebesar ATM kan artinya itu hoaks Sandiaga. Pesannya, Pak Jokowi bilang tempe harga sekian besarnya sekian. Pesannya ke Pak Sandi, stop makinghoax," kata Eva kepada reporter Tirto.
Eva pun menyebut Yandri tak paham konsep keseimbangan harga. Menurutnya harga itu ditentukan oleh pasokan dan kebutuhan sebuah barang. Sedangkan Jokowi menurutnya, telah bekerja dan membuat kebijakan agar supply and demand tetap dalam kondisi stabil.
"Seperti saat siklus menjelang Lebaran. Supaya hei, kamu boleh untung tapi yang pantas. Tidak memeras konsumen tiap kali menjelang Lebaran. Sehingga kemarin kan inflasi terendah 2,3 persen," tuturnya.
Dalam hal ini Eva menilai blusukan Sandiaga justru mengamini kalau cara yang dilakukan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu, bukan sekadar pencitraan seperti tuduhan kubu oposisi selama ini.
"Artinya memang blusukan komunikasi politik yang paling pas dan valid. Tidak seperti gaya elite seperti dulu. Semua sekarang ikut blusukan. Artinya apa? Sukses. Karena masyarakat bisa ketemu pemimpinnya," ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR RI ini pun membantah jika Jokowi mulai blusukan lagi sekadar demi kepentingan elektoral di Pilpres 2019. "He is never stop blusukan. Tiap kunjungan kerja pasti blusukan," kata dia.
Perkara blusukan ke pasar yang baru dilakukan, kata Eva, lantaran memang pernyataan-pernyataan Sandiaga soal harga dan daya beli di pasar harus diluruskan Jokowi.
"Yang jelas Pak Jokowi tidak pernah meninggalkan rakyatnya. Enggak pernah lepas tangan dengan kondisi ekonomi masyarakat," kata Eva.
Pasar Tradisional Jangan Cuma Untuk Tanam Janji
Direktur Eksekutif Populi Centre Usep S. Ahyar menilai upaya blusukan yang dilakukan Sandiaga dan Jokowi ke pasar sebatas upaya simbolik. Tujuannya untuk menunjukkan ke publik keduanya memiliki perhatian pada kondisi perekonomian rakyat kecil.
"Sandiaga tentu belajar dari kemenangan Jokowi di 2014 dan ingin menirunya. Tapi Jokowi juga enggak mau persepsi masyarakat bergeser menganggapnya semakin elitis," kata Usep kepada reporter Tirto.
Selain itu, kata Usep, kedua orang tersebut sebenarnya sedang berupaya memengaruhi psikologi publik bahwa, mereka adalah pemimpin rakyat bukan milik elite-elite partai pengusungnya saja. "Cara yang terbaik untuk itu ya memang langsung menemui masyarakat. Karena untuk masyarakat Indonesia yang masih tradisional, pertemuan itu masih jadi hal penting," ujarnya.
Akan tetapi, Usep menilai seharusnya keduanya tak terlalu larut dan berhenti pada upaya simbolik ini saja. Melainkan harus melakukan langkah konkret.
Jokowi misalnya, kata Usep, dengan jabatannya saat ini sesungguhnya berada dalam garis pertaruhan yang penuh risiko. Menurutnya masyarakat sudah tak bisa lagi disenangkan dengan upaya simbolik, tapi juga akan menilai kebijakan konkretnya.
"Sejauh mana kebijakan ekonomi Jokowi menguntungkan pelaku ekonomi tradisional, dari hulu ke hilir, itu yang paling memengaruhi," tegasnya.
Jika Jokowi gagal menunjukkan ke publik kebijakan yang berpihak pada pedagang maupun konsumen pasar tradisional maka, menurut Usep, citra simbolik yang telah dibangun belakangan tak akan banyak berpengaruh pada sisi elektoralnya.
Sedangkan Sandiaga, sebagai penantang, menurut Usep, harusnya mampu memberikan konsep tandingan yang jelas dan terukur, soal pengembangan perekonomian masyarakat bawah.
"Pernyataan dan klaim membela masyarakat kecil itu bisa dilakukan siapapun. Yang membedakan itu tawaran konsepnya. Ini yang harus dipikirkan Sandiaga," jelas Usep.
Lebih lanjut, kata Usep, bahkan lebih dari itu, konsep yang dirancang Sandiaga harusnya memiliki kebaruan terobosan pemecahan masalah. "Kalau dia bilang daya beli menurun, apa tindakannya untuk meningkatkan? Impor katanya tinggi, lalu gimana memenuhi kebutuhan itu dari sumber dalam negeri. Ini kan yang belum pernah dijawab Sandi," pungkasnya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana