tirto.id - Tulisan ini akan saya awali dengan sebuah pengakuan dosa. Sebagai penggemar punk rock yang menjalani masa remaja pada dekade 2000-an di sebuah kota di Jawa Tengah, saya telah bersalah melakukan banyak sekali pencurian pada masa-masa tersebut.
Yang saya curi tak lain adalah lagu. Saya mengunduh lagu secara ilegal, melakukan file sharing dengan mengopi lagu milik teman, membeli kaset bajakan, bertukar CD MP3 bajakan, bertukar DVD berisi video klip bajakan, semua pernah saya lakukan di masa muda dulu.
Di sini, saya tidak berniat mencari pembenaran. Saya hanya ingin menjelaskan latar belakang mengapa saya melakukan itu semua. Sederhananya, yang membuat saya melakukan itu semua adalah ketidakseimbangan antara supply dan demand.
Demand dalam hal ini berupa keingintahuan dan rasa penasaran saya kala itu begitu besar. Saya punya sumber informasi berupa majalah dan dari sana saya mengetahui band-band semacam Braid, Texas is the Reason, dan Rites of Spring. Yang jadi persoalan, majalah-majalah itu tidak memberi tahu di mana dan bagaimana cara mendapatkan lagu-lagu mereka.
Lagu dari band-band tersebut mustahil ditemukan di televisi dan stasiun radio lokal. Di toko-toko kaset dan CD pun, album mereka tak bisa ditemukan—terlebih, ketika saya mendapat informasi mereka sudah tak lagi aktif. Itulah sebabnya terjadi masalah pada supply.
Supply yang saya dapatkan tak dapat memenuhi demand. Maka jalan pintas pun saya tempuh. Dengan memanfaatkan LimeWire, saya berhasil mendapatkan lagu-lagu mereka.
Hal semacam itu sebenarnya masih terus saya lakukan sampai kisaran 2016. Perlu dicatat, sampai saat itu, berlangganan layanan streaming belumlah semudah sekarang. Untuk berlangganan Spotify, misalnya, kartu kredit masih diperlukan. Pun demikian dengan berlangganan Netflix. Maka pencurian yang saya lakukan pun tidak cuma berkisar pada lagu dan album musik, tapi juga merambah ke film dan serial televisi.
Kini, saya sudah berhasil melewati fase itu. Hampir semua hiburan yang saya nikmati kini saya dapatkan secara legal—kecuali tayangan Serie A sampai beberapa waktu lalu yang tak kunjung didapatkan hak siarnya oleh platform lokal. Dan harus diakui, keterbukaan akses ini benar-benar menyenangkan. Semuanya bisa dijangkau dalam genggaman.
Namun, justru itulah yang membuat masa-masa "jahiliyah" mengunduh konten ilegal dari internet terasa semakin "romantis".
Ini tak ubahnya cerita ayah-ibu kita ketika mereka dulu harus mendaki gunung, menyeberangi sungai, dan melewati lembah ketika hendak bersekolah. Ada perjuangan yang harus saya dan generasi saya lalui untuk mendapatkan lagu atau film tertentu. Dan, percayalah, rasanya jauh lebih memuaskan.
Mengapa Pembajakan Merajalela
Saya menghabiskan masa remaja pada sebuah era yang bisa dikatakan sebagai "era keemasan" pembajakan online. LimeWire yang saya gunakan untuk mengunduh lagu-lagu emo gelombang kedua ketika itu merupakan software yang amat lazim. Ia di-install di sepertiga PC yang eksis di seluruh dunia.
Tujuannya, ya, sudah jelas: Untuk berburu lagu yang tidak tersedia di platform hiburan legal masa itu.
Dekade 2000-an memang masuk akal untuk menjadi era keemasan pembajakan online. Sebab, pada masa ini, internet sudah menyebar ke berbagai belahan dunia. Ia bahkan sudah umum ditemukan di rumah-rumah. Ini membuat arus informasi jadi begitu cepat dan kecepatannya melebihi kemampuan industri hiburan untuk berevolusi.
Contoh gampangnya, di saat informasi tentang sebuah band independen dari sebuah kota kecil di Amerika Serikat sudah sampai ke sebuah kota kecil di Indonesia, kita yang berada di Indonesia masih kesulitan mengakses karya mereka secara legal. Pasalnya, rekaman legal mereka mesti diimpor secara fisik. Ini belum termasuk film yang tak ditayangkan di bioskop Indonesia atau serial televisi yang tak ditayangkan di stasiun TV lokal. Kira-kira seperti itu.
Namun, selain alasan itu, sebenarnya ada sebuah pemicu lain mengapa dekade 2000-an menjadi era keemasan pembajakan digital. Yakni, kemunculan sebuah iklan yang, ironisnya, merupakan sebuah iklan untuk melawan pembajakan itu sendiri!
Iklan berdurasi 40 detik itu dimulai dengan adegan seorang remaja perempuan yang sedang mengunduh film di komputernya. Namun, setelah itu, pada detik ke-5 muncullah tulisan "You wouldn't steal a car" atau "Anda tidak akan mencuri sebuah mobil" yang diikuti adegan seorang pria tengah membuka paksa kunci mobil dengan mistar.
Setelah itu, kata-kata "You wouldn't steal" terus diulang. "You wouldn't steal a handbag", "You wouldn't steal a television", lalu "You wouldn't steal a movie". Iklan kemudian dilanjutkan dengan sebuah imbauan bahwa "mengunduh film bajakan adalah pencurian" dan "mencuri adalah perbuatan melanggar hukum".
Di akhir iklan, remaja perempuan tadi memutuskan untuk membatalkan unduhannya lalu ngeloyor begitu saja keluar kamar. Sebagai penutup, muncul lagi sebuah pengingat: "Piracy. It's a crime."
Iklan itu sendiri dibuat oleh Federation Against Copyright Theft (FACT), Motion Picture Association of America, dan Intellectual Property Office of Singapore. Iklan ini pun ditayangkan di berbagai bioskop secara internasional dari 2004 sampai 2008. Tujuannya tentu saja untuk mengingatkan publik bahwa pembajakan adalah perbuatan melanggar hukum. Akan tetapi, impak dari iklan ini sungguh di luar dugaan.
Iklan tersebut, menariknya, justru membuat banyak pengguna internet jadi tahu bahwa ternyata mereka bisa mengunduh film bajakan!
Perlu dicatat, pada 2004, mengunduh lagu bajakan sudah jadi hal umum karena sejak 1999 sudah ada Napster yang memfasilitasi hal tersebut. Namun, untuk film, hal itu terbilang masih baru. Inilah yang kemudian membawa generasi milenial, khususnya, ke "era keemasan" download ilegal.
Situs-situs download bajakan pun merajalela. Mulai dari yang terkenal di seluruh dunia, seperti Pirate Bay, sampai yang bernuansa lokal, seperti Ganool.
Pirate Bay, yang diluncurkan pada 2003, memiliki 1,7 juta pengguna pada 2005 atau setahun setelah iklan anti-pembajakan tadi dirilis. Dan di Pirate Bay, orang-orang tidak cuma mengunduh film, tapi juga album dan perangkat lunak. Ini, tentunya, belum termasuk LimeWire yang sudah saya ceritakan sebelumnya.
Mengapa Pembajakan Takkan Pernah Hilang
Iklan "You Wouldn't Steal a Car" itu benar-benar tidak ditanggapi serius dan bahkan dijadikan lelucon, salah satunya melalui sebuah episode serial televisi The IT Crowd yang tayang pada 2007. Berbagai meme yang didasarkan pada iklan tersebut juga ramai bermunculan, meskipun istilah "meme" sendiri kala itu belum populer.
Sebuah paper yang diterbitkan ESSSCA School of Management, Lyon, Prancis pada 2021 turut menjelaskan mengapa iklan antipembajakan "You Wouldn't Steal a Car" gagal total. Pertama, karena para pembajak sesungguhnya tidak merasa bahwa mereka sudah melakukan sebuah pelanggaran.
"Para pelanggar pada akhirnya memilih istilah eufemistik (seperti "file sharing" dan "bertarung melawan sistem") untuk menjelaskan aktivitas mereka. Selain itu, tak seperti pencuri pada umumnya, para pembajak merasa bahwa mereka tidak merugikan para pemilik hak cipta," tulis studi tersebut.
Persoalan kedua, iklan antipembajakan cenderung berlebihan, khususnya dalam menggambarkan sifat dari pelanggaran itu sendiri serta kerugian yang dialami oleh industri hiburan. Memang benar bahwa akan selalu ada kerugian, terutama apabila yang dibajak adalah karya milik seniman kecil. Akan tetapi, ketika kita bicara soal produk dari industri raksasa, pesan yang disampaikan sering kali tidak tepat.
Studi dari Lyon itu menyebut bahwa, "Membandingkan pengunduhan film bajakan dengan berbagai aktivitas kriminal lain justru mengirimkan pesan yang membingungkan".
Selain itu, studi itu juga memberi contoh lain bagaimana sebuah industri salah memilih corong yang tepat untuk menyampaikan pesannya.
Ada sebuah iklan antipembajakan di India yang dibintangi oleh aktor dan aktris kaya raya. "Semua video itu dibintangi orang-orang yang kekayaannya antara puluhan sampai ratusan juta dolar. Padahal, kebanyakan orang di negara itu pendapatan per kapitanya cuma sekitar $2.000. Ini justru memberi pembajak sebuah justifikasi moral: bahwa mereka mencuri dari si kaya untuk 'memberi makan si miskin'. Yang muncul kemudian malah sebuah 'Efek Robin Hood'," lanjut paper tadi.
Kesalahan ketiga adalah bagaimana iklan antipembajakan justru membuat aktivitas ilegal itu jadi tampak seperti hal yang umum dilakukan. Hal ini, kata studi tadi, membuat orang-orang jadi memiliki rasionalisasi bahwa "kalau semua orang melakukannya, berarti itu bukan hal buruk".
Hingga kini, belum ada solusi jitu untuk memerangi pembajakan konten di internet. Apalagi, saat ini semakin banyak layanan streaming yang menawarkan hal berbeda di platform mereka sendiri-sendiri. Ini, pada akhirnya, menuntut orang untuk membayar lebih banyak uang dan, ketika sumber daya kian terbatas, pembajakan bakal kembali menjadi jalan keluar.
Berbagai upaya pemblokiran pun sebetulnya sudah dilakukan. Namun, untuk satu situs yang diblokir, akan bermunculan berbagai situs baru dengan penawaran serupa. Artinya, akan selalu ada gap antara apa yang bisa diberikan jalur legal dengan apa yang sejatinya dibutuhkan oleh konsumen. Selama ini masih terjadi, dan rasa-rasanya ini bakal terus terjadi, jangan harap pembajakan bisa hilang begitu saja.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi