tirto.id - Prabowo-Sandiaga baru saja menerbitkan “Buku Biru” yang berisi visi misi kampanye untuk Pilpres 2019. Dalam buku itu, banyak janji politik yang akan dilakukan ketika pasangan calon yang diusung koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat itu berhasil menjabat.
Salah satu janji itu adalah menghapus sistem kontrak outsourcing bagi tenaga kerja di Indonesia. Konsep tersebut selama ini memang kerap dikritik oleh sejumlah organisasi buruh.
"Menghentikan kebijakan outsourcing yang merugikan pekerja, serta mengutamakan tenaga kerja lokal dibanding tenaga kerja asing dalam pembukaan lapangan pekerjaan baru," demikian janji yang tertulis dalam buku itu.
Namun, Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah mengaku pesimistis dan tidak percaya jika pasangan calon nomor urut 02 itu akan benar-benar merealisasikan janji politiknya itu.
Sebab, kata Ilham, permasalahan kontrak outsourcing bukan hanya perkara kemauan untuk menghapus saja. Namun, kata dia, hal itu juga berkaitan ke arah mana keberpihakan pemerintah: berpihak pada buruh atau pemilik modal.
“Kalau kami sih pesimis. Kami tidak percaya jika mereka akan menghapus. Karena perkara outsourcing juga merupakan desakan para pemilik modal untuk tetap memastikan keuntungan mereka tetap terjaga lewat sistem kontrak itu,” kata Ilham kepada reporter Tirto, Rabu (19/12/2018).
Dalam keadaan neoliberalisme ketenagakerjaan di Indonesia yang makin kuat, Ilham mempertanyakan, apakah Prabowo-Sandiaga berani melawan kepentingan pemilik modal.
"Perekonomian Indonesia sangat bergantung dengan investasi. Hampir 90 persen investasi itu datang dari asing yang memungkinkan untuk mendikte kebijakan pemerintah. Kalau misal Prabowo sekonyong-konyong berani melakukan itu, pasti akan ada hambatan,” kata dia.
“Kami sih KPBI tidak percaya. Mungkin berbeda dengan kawan-kawan buruh lainnya yang sudah melakukan kontrak politik dengan Prabowo,” kata Ilham.
Hanya Janji Politik
Ilham menilai janji politik hanya menjadi motor kemenangan para politikus saja, tanpa ada bukti konkret ketika menjabat.
"Politisi akan menerima apa saja kontrak politik yang dilayangkan warga. Kita lihat bagaimana janji Anies Baswedan yang saat kontrak politik bilang tidak akan menerapkan PP 78 di DKI, namun praktiknya sudah dua tahun ini menggunakan mekanisme upah itu,” kata dia.
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos berpendapat serupa. Ia menilai dengan buruknya sistem kontrak outsourcing di Indonesia justru membuatnya semakin pesimistis bahwa Pilpres 2019 akan benar-benar mengubah sistem itu.
“Namanya kampanye, mereka akan selalu mencari lumbung suara. KASBI menilai pilpres hanya memihak kepentingan borjuasi, bukan kaum buruh,” kata Nining.
Nining menilai belum ada calon presiden pada kontestasi kali ini, baik petahana maupun penantangnya yang memiliki gagasan berperspektif rakyat, terutama buruh.
“Kalau bagi saya, berkali-kali ganti presiden, berkali-kali pula rentetan janji politik hanyalah janji. Mereka tak pernah memikirkan esensi kehidupan rakyatnya sendiri," katanya.
Tarik-Ulur Perkara PP Pengupahan
Tak hanya mengenai sistem kontrak outsourcing, Prabowo-Sandiaga juga berjanji menghilangkan PP No. 78 tahun 2015. Ini merupakan salah satu isu terbesar kelompok buruh yang kerap digaungkan setiap tahun saat perayaan May Day.
“Mencabut PP No 78 tahun 2015 dan menambahkan jenis barang dan jasa kebutuhan hidup layak, sebagai dasar penetapan upah minimum untuk meningkatkan daya beli buruh,” begitu tertulis dalam buku janji Prabowo-Sandiaga.
Namun, janji Prabowo-Sandiaga itu terlihat kontradiktif dari realitas di lapangan. Dari 18 provinsi dengan gubernur dari partai koalisi (Gerindra-PAN-PKS) di seluruh Indonesia, hanya ada satu provinsi yang tidak menetapkan upah berdasarkan PP 78 2015, yaitu Kalimantan Selatan.
Itu artinya ada 17 provinsi lain yang menetapkan PP tersebut dan tidak mengusahakan menggunakan mekanisme lain, ketimbang tetap menggunakan standar pengupahan dalam PP itu.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dede Yusuf Effendi yang fokus pada isu ketenagakerjaan mengatakan, yang akan dilakukan Prabowo-Sandiaga adalah dengan mencabut PP dan memperbarui dengan konsep yang lebih baik.
Dede mengatakan sebenarnya PP 78 tahun 2015 sudah baik, namun ada satu hal yang dirasakan perlu diperbaiki untuk kelompok buruh dan pekerja.
“Kami Komisi IX dari awal pun menolak PP ini, ada poin yang dilanggar dalam UU, yaitu poin bipartit, negosiasi. Kekurangan PP itu ialah kehilangan posisi negosiasi sesuai UU,” kata Dede.
“Kami mengusulkan agar menarik PP 78 dan mengubah jadi Peraturan Presiden dengan menambahkan hasil X, yaitu hasil negosiasi antara pekerja dan perusahaan," lanjut Dede.
Dede menilai hasil negosiasi antara pekerja dan perusahaan yang menghasilkan "X" tersebut penting untuk menjadi daya tawar buruh.
“Bisa hanya Rp100 ribu, atau Rp200 ribu, karena itu hak buruh setelah negosiasi,” kata Dede.
Oleh karena itu, Prabowo-Sandiaga ingin memperbaiki PP tersebut dengan memasukkan unsur bipartit, sehingga ada proses negosiasi antara pekerja dan perusahaan.
“Karena dalam UU, setiap upah harus ditetap bersama, tak hanya pemerintah. Kalau sekarang, kan, hanya terima saja. Banyak daerah jadi lepas tangan. Itu penting karena itu hak serikat buruh. Apa arti berserikat kalau tidak ada hasil negosiasi," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz