Menuju konten utama

Saat Anak Menjadi Korban & Pelaku Kekerasan

Anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga mencari pemuasan psikologis di luar

Saat Anak Menjadi Korban & Pelaku Kekerasan
Ilustrasi anak-anak bersama. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Anak-anak dan filsuf punya kesamaan: keduanya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sebuah penelitian di Inggris menyebut seorang anak dapat mengajukan 73 pertanyaan dalam sehari. Namun demikian, kepolosan dan sikap ingin tahu pada anak-anak tak jarang menjadi boomerang—rentan dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa yang oportunis. Rasa penasaran anak-anak terhadap ilmu kebal, misalnya, dimanfaatkan WS (50) untuk menyalurkan nafsunya.

Di Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, WS alias Babeh mencabuli 41 bocah laki-laki dengan modus mengajarkan ajian semar mesem yang bertuah mengobati penyakit. Sebelum melancarkan aksinya, Babeh kerap meminta korban-korbannya menelan gotri sebagai syarat.

Sementara di Cilodong, Depok, 15 bocah laki-laki yang dicabuli WAR alias AR (44tahun) biasa diberi jajanan atau mainan sebelum dicekoki video porno. Dua hal di atas adalah bukti bahwa 84,4 juta anak-anak di Indonesia (32,24% dari total jumlah penduduk) berada di tengah bayang-bayang kekerasan.

“2 dari 3 anak perempuan dan anak laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya,” kata Valentina Ginting, Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Selain di lingkungan bermain, kekerasan terhadap anak juga sangat mungkin terjadi di sekolah. “Sekolah menengah bukanlah tempat yang penting…kecuali bagi orang-orang yang pernah kenal pukul,” kata Steven King dalam novel Carrie (1974) yang jalan ceritanya bertolak dari kasus kekerasan terhadap anak.

Pernyataan sarkastik di atas dapat dipahami sebab alih-alih tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, di sekolah, aneka ragam kekerasan juga rentan menghampiri anak. Selain perisakan (bullying), kekerasan seksual adalah bahaya lain yang kerap mengintai anak-anak di tempat belajar.

Sebagai contoh, AI, 45 tahun, dan MY, 26 tahun, ditangkap polisi pada Senin (8/7) lalu lantaran diduga sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap belasan santri di salah satu pesantren di Lhokseumawe, Aceh. Ironisnya, AI tercatat sebagai Ketua Yayasan sementara MY adalah guru mengaji.

Menurut Kapolres Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan, dari 15 anak yang menjadi korban—sebagaimana hasil pemeriksaan—baru 5 orang yang melapor secara resmi ke kepolisian.

"Saat akan menjalankan aksinya, tersangka tidak melakukan pengancaman, tapi memberikan doktrin-doktrin agama, sehingga para santri merasa takut apabila menolak keinginan para tersangka,” terang Ari, dilansir dari Detik.

Bila kasus-kasus di atas menempatkan anak-anak sebagai korban, pada kasus lain semisal kasus “Neko-neko dikeroyok” (Geng Nero) di Pati dan sepatu Nabila di Batujajar, anak-anak justru berperan sebagai pelaku.

Terbaru, video seorang anak tengah memukuli sejumlah temannya di dalam ruangan viral di media sosial. Anak-anak yang dipukuli itu hanya diam, seolah merelakan dirinya menjadi samsak. Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty menyatakan video yang juga dibagikan oleh Nikita Mirzani tersebut berlokasi di pesantren Darul Huffaz, Lampung.

“Kejadian terjadi di Lampung pada 30 Mei 2018 dan sudah ditangani polisi pada 2 Juni 2018,” kata Sitti. Pihak pesantren mengklarifikasi bahwa kejadian tersebut sudah diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

“Anak bersangkutan sudah dikeluarkan dari Pondok Pesantren, masalah itu juga sudah diselesaikan secara kekeluargaan,” kata Marwan, Kepala MTS Darul Huffaz, Marwan.

Berdasar Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPAR) 2018 yang dirilis Kemen PPPA, prevalensi pelaku kekerasan terhadap anak memang didominasi teman sebaya (75%), lebih tinggi ketimbang keluarga (12%), orang dewasa dikenal (11,4%), pasangan/pacar (1%), dan orang asing (0,6%). Adapun responden pada temuan di atas adalah anak-anak di rentang umur 13-17 tahun.

“Anak yang bertindak kriminal biasanya disebabkan oleh kurang kasih sayang, sehingga mencari pemuasan psikologis di luar,” kata Psikolog Anak dan Remaja Irma Gustiana kepada Tirto.Sedangkan dari sisi eksternal seperti lingkungan pergaulan, Irma menambahkan, seorang anak bisa menjadi pelaku kriminal demi mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebayanya.

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Yuanita Aprilandini Siregar memaparkan, saat seorang anak menjadi anggota suatu geng atau kelompok, maka dalam kepala anak tersebut akan terbentuk pola pikir kelompok (group think).

“Jika mereka tidak dapat mengikuti pola pikir kelompoknya maka akan terjadi proses bullying dan labelling (kekerasan emosional) bahkan berlanjut kepada kekerasan fisik,” kata Yuanita.

Dalam konteks anak sebagai pelaku kekerasan, kekerasan fisik—yang melekat pada karakter maskulinitas dan identik dengan laki-laki—biasanya timbul karena menunjukkan kekuasaan dan senioritas pelaku terhadap adik kelas ataupun teman sebaya di dalam pertemanan kelompoknya.

UPTD PPA

Kekerasan terhadap anak, juga kekerasan yang dilakukan anak-anak, sama-sama meninggalkan trauma. Bagi korban, trauma muncul dari kekerasan yang dialaminya. Sementara bagi pelaku, trauma lahir dari proses hukum serta tekanan publik—terutama dalam kasus yang ramai menjadi perhatian warganet seperti kasus Audrey. Tanpa penanganan yang tepat dan hati-hati, tid”ak menutup kemungkinan kasus-kasus kekerasan terhadap anak sama-sama merusak masa depan korban dan pelaku.

“Anak korban kekerasan berpotensi dua kali lipat melakukan kekerasan ketika mereka dewasa. Hal ini berkontribusi pada siklus kekerasan antargenerasi,” sambung Valentina Ginting.

Infografik Advertorial KPPPA 1

Infografik Mari kenal anak sendiri. tirto.id/Mojo

Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan saat seorang anak menjadi korban maupun pelaku tindak kekerasan? Penting diketahui, status anak-anak bukan berarti kartu bebas hukuman. Kehadiran UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menjadi bukti bahwa pidana anak itu nyata adanya—meskipun yang menjadi substansinya adalah Keadilan Restoratif dan Diversi.

“Keadilan Restoratif dan Diversi dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar,” tulis Legal Clinic Tri Jata Ayu Pramesti di Hukum Online.

Lepas dari persoalan hukum di atas, saat terjadi kekerasan terhadap anak, korban maupun pihak keluarga bisa mengakses Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Inilah buah usaha pemerintah dalam memberikan layanan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender. Setiap provinsi maupun Kabupaten/Kota didorong memiliki unit ini.

UPTD PPA melayani pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban. Saat ini, tercatat ada 176 UPTD PPA yang tersebar di 50 daerah (18 provinsi dan 32 kabupaten/kota).

Keberadaan unit di atas sudah selaiknya diketahui dan dimanfaatkan masyarakat. Besar harapan, optimalisasi kinerja UPTD PPA dapat mengakhiri rantai kekerasan terhadap anak di Indonesia.

Sekiranya terjadi kekerasan terhadap anak, laporan atau upaya mendapatkan perlindungan bisa dilakukan dengan menghubungi 0821-2575-1234.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis