Menuju konten utama

Rusia Tuntut Inggris Buktikan Soal Eks Intel yang Diracun Novichok

Rusia membantah tudingan percobaan pembunuhan terhadap eks intelnya dan mengatakan akan merespons tuduhan itu dengan tepat.

Rusia Tuntut Inggris Buktikan Soal Eks Intel yang Diracun Novichok
Perdana Menteri Inggris Theresa May, mengikuti acara Hari Angkatan Bersenjata di Liverpool, Inggris, Sabtu (24/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Andrew Yates

tirto.id - Inggris mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa Rusia telah menggunakan "senjata mengerikan yang dilarang dalam perang" di Inggris. Namun Rusia membantah tudingan percobaan pembunuhan itu dan mengatakan akan merespons dengan tepat.

Pada 4 Maret 2018 lalu seorang eks mata-mata ganda Rusia, Sergei Skripal (66) dan putrinya, Yulia (33) ditemukan terbujur kaku dan tak sadarkan diri di sebuah bangku taman di Salisbury, Inggris. Kini keduanya sedang dalam keadaan kritis dan dirawat secara intensif.

Novichok diyakini lima hingga 10 kali lebih mematikan daripada gas VX dan Sarin. Racun ini dikembangkan pada masa Uni Soviet pada 1970-an. Senjata kimia generasi keempat itu dikembangkan secara rahasia, dan diberi kode program "Foliant".

Kepada Dewan Keamanan PBB, wakil duta besar Inggris, Jonathan Allen, menuduh Rusia melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Larangan Senjata Kimia. Ia mengklaim telah mendapat ancaman dari Rusia namun menyatakan Inggris tidak akan berhenti.

"Kami akan bertahan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh mayoritas mayoritas di dewan PBB ini dan kami meminta Anda hari ini, untuk mendukung kami," kata Allen seperti dilansir BBC.

Menanggapi hal itu, duta besar Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya, membantah keterlibatan Moskow dalam serangan tersebut dan menuntut "bukti material" dari Inggris untuk mendukung pengaruhnya.

“Kami menuntut bukti material disediakan mengenai dugaan ditemukannya jejak Rusia dalam peristiwa yang memiliki gema kuat ini. Tanpa ini, pernyataan bahwa ada kebenaran yang tak terbantahkan bukanlah sesuatu yang bisa kami terima," papar Nebenzya, Rabu (14/3/2018).

"Kami diberi ultimatum dan diminta dalam 24 jam untuk membenarkan bahwa kami melakukan kejahatan. Dengan kata lain, mengakui,” jelasnya. "Kami tidak berbicara dalam bahasa ultimatum. Kami tidak menggunakan bahasa itu dengan siapapun.”

Sementara itu, Amerika Serikat percaya bahwa Rusia "bertanggung-jawab atas serangan" terhadap eks mata-mata ganda dan putrinya dengan menggunakan zat syaraf tingkat-militer.

"Ini bukan kejahatan biasa," katanya. "Itu adalah penggunaan senjata secara tidak sah," kata Duta Besar AS di PBB Nikki Haley.

Ia menambahkan pemerintah Presiden Donald Trump "berdiri dengan solidaritas kuat" dengan Inggris, terkait serangan gas syaraf Navichok pekan lalu.

Inggris berencana mengusir 23 diplomat Rusia setelah Moskow menolak menjelaskan perihal agen saraf buatan Rusia yang digunakan pada mantan mata-matanya di Salisbury, demikian pernyataan Theresa May.

Perdana Menteri Inggris itu juga mengatakan bahwa para diplomat yang diidentifikasi sebagai petugas intelijen itu memiliki waktu seminggu untuk pergi dari Inggris.

May juga mengancam akan mencabut sebuah undangan kepada menteri luar negeri Rusia. Keluarga Kerajaan pun dikatakannya tidak akan menghadiri Piala Dunia FIFA di Rusia akhir tahun ini.

Pengusiran massal ini salah satu yang terbesar sejak 31 diplomat diperintahkan keluar pada tahun 1985 setelah agen ganda Oleg Gordievsky membelot.

Sementara itu, menurut laporan The Independent, serangan racun saraf Navichok ini dimungkinkan sebagai bagian dari peringatan ala mafia: "yang menunjukkan siapa saja, di manapun di dunia ini bahwa jika mereka mengkhianati atau menantang Rusia, mereka tidak hanya akan mendapat peluru di bagian belakang kepala tapi juga akan mati dengan mengerikan.”

Baca juga artikel terkait PM INGGRIS atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Politik
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari