Menuju konten utama

Ruang Tunggu: Persembahan Terakhir Payung Teduh

Sepeninggal Is, Payung Teduh bisa bubar, bisa juga vakum. Sebelum itu terjadi, mereka merilis Ruang Tunggu.

Ruang Tunggu: Persembahan Terakhir Payung Teduh
Vokalis band Payung Teduh Mohammad Istiqamah Djamad tampil di panggung Jateng Fair 2017, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/8). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww/17.

tirto.id - Yang menakutkan dari kematian adalah kedatangannya yang tak terduga. Manusia cenderung punya ketakutan pada sesuatu yang tak pasti, sesuatu yang muncul tiba-tiba. Membuat kita tak bisa menyiapkan bekal apa pun.

Dalam dunia musik, bubarnya sebuah band bisa disamakan dengan kematian. Bedanya, banyak band bisa memilih kapan ia akan mati—atau setidaknya mati suri. Karena itu, mereka bisa menyiapkan bekal untuk yang ditinggalkan: para penggemarnya.

Ambil contoh. Black Sabbath memungkasi karier empat dekade lebih lewat "The End Tour". Motley Crue membuat Farewell Tour dan memutuskan bubar selamanya. Tajuk yang sama juga dipakai oleh band asal Finlandia, HIM, yang turut merencanakan bubar setelah tur usai.

Di Indonesia ada Payung Teduh yang sudah menyiapkan obituari sejak bulan November 2017. Kala itu, Mohammad Istiqamah Djamad, alias Is, memutuskan mundur dari band yang berawal dari kelompok teater Pagupon itu. Dalam tubuh Payung Teduh, Is menempati posisi vital. Tanpa mengecilkan peran personel lain, Is adalah jantung band ini. Ia bermain gitar, bernyanyi, dan menciptakan lagu. Mundurnya Is diikuti oleh Abdul Aziz Kariko, alias Comi, pemain bass.

Sebagai band yang sudah menyiapkan diri untuk bubar, Payung Teduh berusaha menyiapkan bekal cukup. Mereka tetap melakukan konser hingga tanggal 31 Desember 2017. Selain itu, album baru berjudul Ruang Tunggu dirilis pada 19 Desember 2017. Album ketiga Payung Teduh ini sudah bisa didengar lewat beberapa layanan streaming. Album fisiknya bisa dibeli di gerai-gerai resto KFC.

Butuh waktu 5 tahun sejak album kedua mereka, Dunia Batas, dirilis. Kala itu Payung Teduh naik daun. Namanya terdengar hingga pelosok. Jadwal manggung makin padat.

Ruang Tunggu adalah serenade paling pas bagi mereka yang ingin beristirahat. Di album ini, Payung Teduh tetap berpegang teguh pada akar musik yang terdengar sejak 2010 silam. Fondasi gitar akustik, dengan sedikit tambahan genjrengan ukulele, dan betotan bass yang berat.

"Akad" rasa-rasanya tak perlu diperkenalkan lagi. Ia sudah terkenal lebih dulu, bahkan mungkin melebihi lagu-lagu Payung Teduh generasi awal. Lagu itu sudah pasti masuk dalam daftar "Lagu Indonesia yang Bisa Kau Temukan di Mana Saja Selama 2017". Tak heran kalau lagu ini berada di urutan pertama—walau rasanya lebih pas ditaruh di tengah saja, untuk memberi kesempatan lagu lain untuk dikenal dan menyodorkan impresi berbeda.

Baca juga:

Menginjak lagu kedua, "Di Atas Meja", kegetiran berserakan di mana-mana. Ada banyak interpretasi yang bisa dimunculkan dari lirik lagu ini. Yang paling banyak diperbincangkan: ini adalah kegundahan Is terhadap dirinya sendiri yang semakin sibuk, membuat waktu untuk keluarga berkurang.

Di dalam kamar rindu itu menguap

dalam kebisuan

Is dengan tepat guna memakai meja dan kamar sebagai lambang dari tempat paling intim dalam sebuah rumah. Meja makan adalah tempat berkumpul keluarga, sedangkan kamar adalah ruang paling privat bagi sepasang suami istri. Di atas meja rindu itu hilang, dan di dalam kamar rindu itu menguap, adalah frasa jernih untuk menggambarkan rumah yang mulai tak nyaman. Suara Is terdengar seperti pria kelelahan yang baru pulang kerja pukul 1 malam dan mendapati rumah terkunci.

Lagu "Di Atas Meja" terasa amat kuat. Bahkan mungkin yang paling meninggalkan kesan di album ini. Saking kuatnya, membuat beberapa lagu terasa jadi inferior, bahkan terdengar konyol. Tengok saja "Mari Bercerita". Lagu yang menggandeng biduanita muda bernama Ichamalia ini terasa seperti lagu yang tak punya makna.

Sesungguhnya berbicara denganmu

Tentang segala hal yang bukan tentang kita,

Mungkin tentang ikan paus di laut

Atau mungkin tentang bunga padi di sawah.

Dari liriknya, lagu ini seperti orang tersesat dan bingung mau ke mana. Ichamalia terdengar seperti orang yang asal mengikuti arah ke mana Is berjalan. Orang Madura menyebutnya sebagai norok buntek. Alias asal ikut saja. Selain itu, paus bukan ikan. Lalu, memangnya ada orang dimabuk asmara yang ngobrol soal bunga padi di sawah ketika sedang bertemu?

Tapi ada kejutan-kejutan menyenangkan yang hadir di beberapa lagu. Bunyi gitar elektrik di "Muram", salah satunya. Lalu langgam keroncong yang mengasyikkan di "Puan Bermain Hujan"—walaupun susah untuk tidak membandingkannya dengan "Puan Kelana" dari band Silampukau. Dan, ini juara kejutannya: Is bergaya ala Tom Waits di lagu "Kita Hanya Sebentar".

Ia bermonolog di awal lagu sembari diiringi denting piano. Juga membacakan puisi di tengah lagu. Tak cemerlang-cemerlang amat, tapi juga tak buruk. Di lagu itu, ada satu dua larik yang bisa menggambarkan tentang Payung Teduh.

Di tembok yang tinggi dan berlumut itulah

Segala peristiwa ikut melapuk

Kita menguap seperti kabut

Kita hanya sebentar, sejenak adalah usia kita

Infografik ruang menunggu akhir payung teduh

Payung Teduh terbentuk pada 2007. Bagi sebuah band, itu usia yang tak bisa disebut pendek. Tapi ada lebih banyak band Indonesia yang berusia lebih panjang. Dari era 2000-an ke atas, kita bisa menyebut The Brandals, The S.I.G.I.T, The Upstairs, Seringai, Koil, Mocca, hingga Pure Saturday. Semua berusia lebih dari satu dekade.

Datang dan menguap begitu saja

Hanya aromanya yang tertanam di kepala

Tapi satu yang pasti, rasanya susah menyebut Payung Teduh hanya sebagai halimun. Diakui atau tidak, band ini meninggalkan kesan mendalam bagi para pendengarnya. Ia menjadi satu dari semakin sedikit band yang bisa meracik bahasa Indonesia menjadi lirik yang—sebut saja—puitis dan padu dengan musik.

Baca juga:Is dan Payung Teduh: dari Akad Jadi Pegat

Payung Teduh mungkin bubar. Mungkin vakum. Apapun istilahnya, publik Indonesia tidak akan menyaksikan Is ada di sana, setidaknya tidak dalam waktu dekat. Vokalis cum gitaris itu, dalam berbagai wawancara, berkata akan kembali ke dunia teater sembari tetap bermusik. Begitu pula Comi, drumer Alejandro Saksakame, dan pemain ukulele Ivan Penwyn. Semua sudah menyiapkan rencana petualangan baru masing-masing.

Pada akhirnya, J.K Rowling benar: To the well-organized mind, death is but the next great adventure. Bagi mereka yang siap, kematian adalah awal dari petualangan baru nan besar. Maka, selamat menempuh petualangan baru!

Baca juga artikel terkait PAYUNG TEDUH atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani