Menuju konten utama

RSCM Kiara: Tanpa Sertifikat Layak Fungsi & Merenggut Satu Nyawa

Kami menyambangi keluarga Dedi Suriadi, tukang gojek yang meninggal tertimpa panel aluminium bangunan Gedung Kiara.

RSCM Kiara: Tanpa Sertifikat Layak Fungsi & Merenggut Satu Nyawa
Ilustrasi HL PKIA Kiara. tirto.id/Lugas

tirto.id - 10 Januari 2014. Cuaca di sekitaran Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM), Jakarta Pusat, dikabarkan berangin dan hujan deras. Di paling depan pojok timur kompleknya, ada sebuah gedung baru yang sedang dibangun, bernama Gedung Pusat Kesehatan Ibu dan Anak (PKIA) Kiara. Tahun itu, sudah masuk tahun keempat pembangunannya, tapi tak ada yang mengira kalau hari itu adalah hari nahas.

Dedi Supriadi (35), seorang tukang ojek, tewas tertimpa panel aluminium yang jatuh dari gedung dengan 12 lantai tersebut. Ia dikabarkan meninggal-di-tempat dengan pendarahan besar di kepala.

Kematiannya diliput sejumlah media yang fokus pada pemberitaan ganti rugi. Dilansir dari Liputan 6 keluarga korban mendapatkan kabar bahwa pihak RSCM tidak akan bertanggung jawab atas kejadian nahas tersebut. Alasannya, PT Waskita selaku pihak kontraktor pada tahap pembangunan saat itu yang akan memberikan santunan pendidikan bagi anak-anak korban.

Enam tahun berlalu, tapi tak pernah ada berita lanjutan. Kasus-kasus oran kecil memang sering kali lewat belaka di media. Apakah hidup anak-anak sang tukang gojek benar-benar terjamin?

Butuh dua hari untuk menemukan kediaman keluarga Dedi di Paseban Timur, Senen, Jakarta Pusat. Hari pertama berakhir hampa, karena tak ada warga yang kenal Dedi Supriadi.

Besoknya saya baru tahu kalau Dedi ternyata lebih akrab dipanggil Ahmad atau Mamad. Jarak enam tahun dengan kematiannya juga bikin kebanyakan orang lupa. Saya harus ketemu dua orang kepala RT dulu, baru bisa bertemu Annah (62), ibu mendiang Dedi, dan Ria (40), istrinya.

Mata Annah berkaca-kaca saat menceritakan lagi hari nahas itu. Tangannya mengurut dada terus. “Siapa sangka ya. Anak cuma satu-satunya, terus meninggal muda,” kata Annah dengan logat betawi kental.

“Yang bikin Ibu tuh makin sakit, ya karena bapak (ayah Dedi) juga enggak lama nyusul. Cuma beda 8 bulan,” sambung Annah.

Selama enam tahun terakhir, ia dan Ria bersama tiga orang cucunya hidup berdua di rumah petak, kira-kira berukuran 5x4 meter di Paseban Timur yang padat penduduk. “Untung ini rumah sendiri ya, kalau enggak ya kita enggak tahu juga gimana hidup,” katanya.

Sehari-hari, Ria jadi tulang punggung keluarga. Ia mengojek: antar-jemput anak-anak sekolah, dan bikin kue untuk dititip di warung-warung.

“Dedi Suriadi. Bukan Supriadi,” kata Ria mengoreksi nama mendiang suaminya. Dalam berita-berita yang menulis kematian Dedi enam tahun lalu, tak banyak informasi tentang sang tukang ojek. Bukan cuma salah eja, beberapa media bahkan hanya menulis namanya dengan satu kata: Dedi.

Ria masih ingat betul hari nahas itu. Dedi pamit pergi bekerja setelah pulang mengantarkannya cek kandungan di rumah sakit. “Waktu itu saya masih hami dua bulan,” kenangnya. “Jadi dia nih belom pernah ketemu bapaknya,” kata Ria menunjuk Ramadan, putra ketiganya yang kini hampir berusia enam.

Hari itu juga pihak PT Waskita Karya, seingat Ria mendatanginya. Mereka membahas ganti rugi. Ria ingat, ia ditawari minta berapa, tapi karena sedang kalut, ia tak bisa betul-betul berpikir jernih. Ria tahu kematian suaminya akan mengubah nasib mereka dan yang jadi pikirannya adalah nasib ketiga anak mereka.

“Saya sempat minta biaya pendidikan, dan diyakan,” kata Ria. Tapi, belakangan pihak Waskita menolak tuntutan itu.

“Saya akhirnya sempat sebut ratusan juta, tapi enggak ingat persisnya berapa. Tapi, ditolak juga. Jadi di situ saya sempat marah karena, buat apa ditanya berapa kalau mereka mau tawar menawar,” tambahnya.

Singkat cerita, pihak Waskita cuma bisa memberikan Rp75 juta. “Mereka bilang, mau enggak mau ibu harus terima. Tapi cuma bisa segini,” kata Ria mengulangi perkataan yang ia ingat. Pihak RSCM, tambah Ria, juga sempat menyumbang Rp2,5 juta untuk biaya ambulan dan penguburan Dedi di daerah Bogor.

Pihak RSCM tidak bertanggung jawab atas kejadian nahas itu karena, Gedung Kiara masih dalam tahap pembangunan, dengan PT Waskita selaku pihak kontraktor saat itu.

Saya coba mengontak Poppy Sukmawati, Humas dan CSR PT. Waskita Karya untuk menanyakan alasan jumlah ganti rugi yang mereka berikan. Namun, kata Poppy pihaknya masih harus mengecek hal tersebut.

Infografik HL PKIA Kiara RSCM 3

Infografik para pendiri KIARA. tirto.id/Lugas

Dibangun Tanpa IMB

Kematian Dedi ini berujung pada temuan baru tentang pembangunan Kiara. Salah seorang sumber Tirto yang minta dirahasiakan identitasnya menceritakan kepanikan yang terjadi di dalam Rumah Sakit Pusat Nasional (RSUPN) itu ketika Gedung Kiara ketahuan tak punya IMB.

Masalah tidak berhenti di situ. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun turun melakukan audit terhadap pembangunan gedung Kiara.

“Kejadian itu jadi blessing in disguise untuk kontraktor [Waskita] sebab disegel, maka lapangan di-lock (tutup). Mereka (kontraktor) tetap kerja di dalam sehingga saat pemeriksaan BPK, target progres terpenuhi sesuai laporan akhir pekerjaan,” ungkapnya.

Sumber lain, yang juga tak ingin identitasnya dibuka, juga mengonfirmasi kabar audit ini. BPKP sempat melakukan audit proyek Kiara pada 2017, setelah dapat undangan dari Direktur Keuangan RSCM Nurhayati. Saat kami konfirmasi ke Humas BPKP Ratna Wijihastuti. Ia membenarkan adanya audit tersebut, tapi tak bisa membagikan hasilnya ke media.

Sementara itu sumber Tirto menyebutkan hasil audit proses pembangunan itu merugikan sampai sekitar Rp60 miliar.

Kami mencoba mengonfirmasi ini kepada Surahman Hakim, Direktur Umum dan Operasional RSCM pada tahap pembangunan itu. Ia minta untuk menjadwalkan wawancara dengan Humas RSCM dokter Ananto. “Untuk tertib administrasi,” kata Surahman.

Kami juga menghubungi dokter Arif Sadad, selaku Direktur Umum dan Operasional. Namun, ia beralasan baru menjabat dan akan menyarakan untuk menghubungi Dirum Operasional sebelumnya, dokter Surahman Hakim.

Namun, saat kami bilang juga ingin mengonfirmasi beberapa hal yang juga terjadi di masa kempeminpinannya, ia bilang akan mengoordinasikan dulu dengan direksi lain, terutama Direktur Utama dokter Lies.

Sayangnya, dokter Lies juga menyarankan untung mengoordinasikan wawancara dengan humas. Hingga kini tak ada satu pun yang mau ditemui.

Namun, dalam laporan serah terima pekerjaan tahap itu, kontraktor menyelesaikan pembangunan tepat waktu, seolah-olah penyegelan tidak memengaruhi jadwal pembangunan. Ini memperkuat indikasi pengerjaan Kiara tetap dilanjutkan meski dalam keadaan tersegel.

Kejanggalan lain muncul, saat kami menemukan surat izin pelaku teknis bangunan (IPTB) atas nama Imanullah dan Widharko yang dikeluarkan Dinas P2B Pemprov DKI Jakarta per Januari 2014—pascakematian Dedi. Dalam surat itu, mereka disebut sebagai arsitek, perencana dan perencana struktur PKIA Kiara.

Padahal, menurut perencanaan resmi Kiara tahun 2010, perancang Kiara adalah Ronal Tambun, yang sudah meninggal tahun lalu. Sedangkan perencana strukturnya adalah Hari Nurjaman. Ronal juga merupakan pimpinan proyek Kiara sekaligus perencana sejak tahun 2010 hingga tahap VII di 2016. Ia juga bagian dari Tim Penasihat Konstruksi Bangunan Kiara.

Soal ini sumber Tirto mengatakan, “IPTB (atas nama Imanullah dan Widharko) itu dipakai 2014. Bisa jadi RSCM mengajukan di tahun 2014 dan memakai IPTB orang lain. Tapi, sewaktu mengurus IMB dan sidang TPAK, setahu saya IPTB-nya Pak Ronal.”

Saya lalu mengonfirmasi hal ini ke Samuel, Direktur PT Indah Karya, perencana Gedung Kiara. Namun, ia mengaku sudah tidak ingat dengan detail-detail itu karena sudah tidak bekerja lagi di sana. Ia bahkan tidak ingat siapa perencana dan perancang Gedung Kiara.

Dioperasikan Tanpa Sertifikat Layak Fungsi

Empat hari sebelum peresmian Pusat Kesehatan Ibu dan Anak (PKIA) Kiara Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sebuah surat masuk ke meja Hapsak Panca, Kontraktor PT Waskita Karya. Surat tersebut ditandatangani seorang Manajer Konstruksi bernama Agusman dengan kepala surat PT Ciriajasa CM.

Surat itu menginstruksikan agar PT Waskita Karya tetap melanjutkan pekerjaan Tahap V gedung Kiara yakni pengerjaan lantai 4, 6, 11 dan 12 seperti biasa di jam kerja normal.

Selain itu Waskita juga harus segera menyelesaikan pekerjaan maupun perbaikan di Basement 1, 2, Lantai 1 dan 2 pada 7 September 2014. Karena pada tanggal 8, pekerjaan di empat lantai harus dihentikan.

Semua instruksi itu lantaran PKIA Kiara RSCM akan segera diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 9 September 2014. Sistem kebut ini membuat pada saat SBY meresmikan PKIA Kiara, bangunan itu hanya berfungsi di empat lantai yakni basement 1, basement 2, lantai 1 dan lantai 2 dari total 12 lantai.

Infografik HL PKIA Kiara RSCM 2

Infografik Sertifikat Layak Fungsi PKIA KIARA. tirto.id/Lugas

Terburu-burunya peresmian itu berakibat pada masalah lain. Salah satu yang fatal adalah PKIA Kiara dipaksakan beroperasi tanpa mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) maupun Sertifikat Layak Fungsi (SLF).

Padahal dalam pasal 148 Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, SLF wajib dimiliki bangunan gedung sebagai syarat pemanfaatan gedung dan baru dapat diberikan ketika pembangunan telah rampung.

Masalah lain muncul setelah gedung diresmikan ada banyak kerusakan yang terjadi. Namun kerusakan itu tidak bisa diselesaikan karena belum ada anggaran pemeliharaan.

“Bagaimana mau ada? Gedungnya kan, belum selesai. Anggaran pemeliharaan itu baru bisa diajukan ketika gedung sudah selesai dibangun,” ujar Diana Kusumastuti, Direktur Bina Penataan Bangunan Kementerian PUPR.

Pada pertengahan 2018, posisi dr Surahman Hakim sebagai Direktur Umum dan Operasional RSCM digantikan dr Arif Sadad. Dirum baru ini kemudian mengusahakan agar PKIA Kiara segera mendapat SLF.

Pada ulangtahun ke 100 RSCM, Gubernur Anies Baswedan yang ikut hadir pada waktu itu menjanjikan SLF sementara untuk PKIA Kiara. Namun hal itu diragukan Kementerian PUPR.

“Kemungkinan hanya janji saja. Tidak mungkin berani Pemprov memberi SLF untuk gedung yang belum jadi,” kata Diana.

Baca juga artikel terkait RSCM atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Restu Diantina Putri & Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna