tirto.id - Pada 12 Desember 2019, sebagaimana dilaporkan laman resmi Pemerintah Daerah Wuhan, kasus pertama virus corona terjadi. Ketika Cina secara resmi mengumumkan wabah virus corona ke dunia pada penghujung Desember 2019, hampir 60 orang diduga terjangkit virus yang menyebabkan penderitanya menampakkan gejala mirip pneumonia. Kini, lebih dari sebulan berlalu, tercatat lebih dari 9.700 orang terjangkit. Sebanyak 132 dikabarkan tewas.
Selain Cina, virus corona menyebar ke banyak negara, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Jepang, India, Australia, Jerman, hingga Amerika Serikat.
Guna membendung penyebaran, Wuhan, kota utama terjadinya virus corona, diisolasi. Pada 23 Januari lalu, pemerintah Cina menutup rapat kota Wuhan, Huanggang, dan Ezhou. Lalu lintas pesawat, kereta, dan berbagai moda transportasi dari dan menuju ke tiga kota itu dihentikan.
Lebih dari 50 juta penduduk di tiga kota itu terisolasi.
Akhirnya, di penghujung bulan Januari, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui Badan Kesehatan Dunia (WHO), lantas mendeklarasikan keadaan darurat virus corona.
Salah satu alasan utama mengapa virus corona menyebar cepat adalah lambannya respons pemerintah Cina. Laporan berjudul “Clinical Features of Patients Infected with 2019 Novel virus corona in Wuhan, China,” yang ditulis Prof. Chaolin Huang, dkk, misalnya menyebut penderita virus corona pertama, yang baru diketahui pada 12 Desember, tidak memiliki riwayat mengunjungi pasar tradisional di Wuhan yang menjadi tempat virus berasal. Dari 41 kasus virus corona terawal, hanya 27 di antaranya yang memiliki riwayat mengunjungi pasar tradisional. Terakhir, istri dari korban tewas pertama virus corona, terjangkit virus meskipun tidak pernah berkunjung ke pasar tradisional.
Secara sederhana, laporan itu ingin menyebut: penyebaran virus corona antarmanusia sudah terjadi sejak kasus virus corona pertama kali ditemukan. Sedihnya, Cina terlambat mengumumkan masalah ini ke dunia internasional.
Julia Belluz dari Vox menulis bahwa lambannya Cina menangani virus corona disebabkan oleh sedikitnya informasi yang dimiliki otoritas Wuhan. Cina sendiri memberlakukan hierarki publikasi informasi yang rumit, khususnya terkait informasi sensitif. Kekakuan hirarki ini pula yang mengakibatkan lambannya pemerintah Cina merespons wabah SARS yang terjadi pada 2003 silam yang akhirnya menyebabkan kematian sekitar 774 orang.
Meskipun dianggap lelet menangani virus corona, Beijing terlihat tangkas dalam hal lain. Cina membangun dua rumah sakit baru, yakni Rumah Sakit Huoshenshan dan Rumah Sakit Leishenshan, hanya dalam waktu kurang dari tiga minggu.
Rumah Sakit Huoshenshan berlokasi di Distrik Caidian, sementara Leishenshan berada di Distrik Jiangxia, yang keduanya berada di Wuhan, pusat virus corona. Huoshenshan sendiri mulai dibangun pada 23 Januari 2020 dan diperkirakan bisa beroperasi pada 3 Februari. Rumah sakit ini memiliki luas sekitar 25 ribu meter persegi dan memiliki fasilitas 1.000 tempat tidur. Rumah Sakit Leishenshan dibangun pada 25 Januari dan 5 Februari merupakan tanggal beroperasinya fasilitas ini. Rumah sakit Leishenshan memiliki luas sekitar 30 ribu meter persegi dan dilengkapi fasilitas 1.300 tempat tidur untuk pasien virus corona.
Anne Quito, yang melaporkan untuk Quartz, menyebut bahwa dua rumah sakit yang dibangun cepat oleh Pemerintah Cina untuk menanggulangi virus corona terinspirasi dari kesuksesan pembangunan Rumah Sakit Xiaotangshan di Beijing untuk merawat korban SARS. Rumah Sakit Xiaotangshan juga dibangun dengan cepat.
Tapi, yang perlu digarisbawahi, Huoshenshan dan Leishenshan lebih pas disebut sebagai triage alias kamp alias barak khusus yang dibangun menanggulangi suatu wabah, bukan sebagai rumah sakit dalam artian umum. Hal ini ditegaskan oleh Scott Rawling yang diwawancarai Quito. “Huoshenshan dan Leishenshan adalah pusat untuk mengendalikan infeksi masa,” kata arsitek yang memiliki portofolio membangun fasilitas kesehatan di berbagai negeri.
“Saya ragu menyebut rumah sakit yang didirikan di Wuhan hari ini sebagai rumah sakit permanen, dan tentu saja ini bukan fasilitas layanan lengkap,” tegas Rawling. “Ketika merancang rumah sakit, kami mempertimbangkan penggunaan dan kemampuan bangunan untuk 75 tahun ke depan.” Pertimbangan itu tidak terlihat dalam pembangunan Huoshenshan dan Leishenshan.
Bagi Yanghong Huang, salah seorang pejabat bidang kesehatan di Cina, sebagaimana disampaikannya pada BBC, membangun rumah sakit cepat di Wuhan bukanlah hal yang aneh. “Cina berpengalaman menyelesaikan berbagai hal dengan cepat bahkan untuk proyek-proyek besar seperti ini.” Cina pun memiliki hambatan perizinan yang lebih minim tatkala harus membangun fasilitas darurat seperti dalam kasus wabah virus corona.
Thorsten Helbig, ahli bangunan dari Jerman, menyebut membangun rumah sakit cepat ala Cina bukan hal mustahil. Alasannya, Huoshenshan dan Leishenshan dibangun pada “lingkungan yang terkendali”. Maka, tatkala kesalahan terjadi, para pekerja dapat cepat mengantisipasinya. Proses pembangunan gedung secara umum dilakukan dalam kerangka “lingkungan yang tidak terkendali”, yakni proses pembangunan yang melibatkan banyak kontraktor. Para kontraktor bekerja sesuai tugasnya masing-masing. Maka, tatkala kesalahan terjadi, koordinasi antar kontraktor butuh waktu.
Huoshenshan dan Leishenshan dibangun dengan menggunakan bahan bangunan jadi atau prefabricated.
Perlu diingat, pembangunan dalam skala besar dan waktu yang singkat umum dilakukan Cina. Misalnya jalur kereta dalam proyek raksasa Jalur Sutra Baru. Pada 2013, Presiden Xi Jinping ingin mengembalikan kisah kejayaan jalur Sutra itu. Jinping membangun inisiatif Jalur Sutra Baru dengan nama resmi “Belt and Road Initiative”, sebuah inisiatif yang memakan ongkos lebih dari satu triliun dolar AS. Inisiatif itu didesain untuk menghubungkan Cina dengan 65 persen populasi dunia.
Untuk merealisasikan penciptaan jalur yang menghubung dari Cina ke Asia, Afrika, dan Eropa, mereka menciptakan mesin baru: SLJ900, TBM Slurry, dan Track-Laying Machine. MengutipPopular Mechanics, SLJ900 disebut merupakan “mesin raksasa asal Cina yang dapat membangun segala jembatan”. Jurnalis BBC Tom Calver dalam salah satu laporannya mengatakan mesin SLJ900 adalah “mesin serba bisa yang mampu membawa, mengangkat, dan meletakkan blok-blok batu nan berat lengkap dengan rel kereta di antara pilar demi pilar”.
Dibuat oleh Beijing Wowjoint Machinery Company, mesin yang berjuluk “Monster Besi” itu memiliki panjang 300 kaki, lebar 24 kaki, dan tinggi 30 kaki. Total, mesin raksasa tersebut berbobot 580 ton.
Dalam laporannya, Calver menyebut SLJ900 bergerak 5 km per jam dan “monster ini bisa menyelesaikan proyek lebih cepat dibandingkan metode tradisional apapun”.
Kepada Quartz Helbig menyatakan bahwa pengguna tak perlu khawatir meski SLJ900 dibikin dengan. “Mereka tidak lagi mengerjakan sesuatu dengan sembrono,” tegasnya.
Editor: Windu Jusuf