tirto.id - Galang Wibisono masuk penjara sekitar tahun 1995. Saat keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang 4,5 tahun kemudian, situasi di luar penjara sudah sangat berbeda. Soeharto sudah bukan lagi presiden dan semua orang jadi bebas bicara.
Tapi nasibnya masih sama. Dia kesulitan mencari kerja. Selama tiga bulan kemudian, dia menjabat sebagai penganggur.
Pria asal Klaten Jawa Tengah ini tidak mau kembali berbuat kriminal. Niat untuk mencari uang dengan bekerja halal sudah ada. Masalahnya, saat itu, ia terbebani dengan predikat “mantan narapidana”. Perusahaan yang didatangi sering kali meminta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan selamanya catatan gelap dari masa lalu tertuang di sana. Beruntung, sebagaimana dilaporkan Vice, akhirnya dia berhasil mendapat pekerjaan di bidang konstruksi.
Mengutip Narasi, sekitar 4 ribu narapidana di Lapas Kelas 1A Cipinang punya masalah yang sama. Setelah bebas, satu di antara tiga orang menjadi penganggur.
Memang selalu ada pengecualian untuk setiap hal. Artikel jurnal dari Regisda Machdi (2013) menceritakan bagaimana seorang warga binaan di Lapas Kelas IIA Wirogunan, Yogyakarta, cukup bernasib baik setelah bebas. Namanya Imron. Setelah tiga bulan hidup di balik jeruji besi, mantan bosnya masih mau mempekerjakannya.
“Alhamdulillahnya bos saya yang punya bus masih mau menerima saya untuk kerja lagi setelah saya keluar dari lapas, mas,” kata Imron.
Menurut sumber yang sama, kebanyakan yang lain mendapat pekerjaan dari keluarga atau rekan lama.
Kemungkinan lain, tentu saja, mereka kembali menjadi pelaku kejahatan. “Saya bingung, mas. Ada relasi cuma kerja di bengkel. Bisa jadi ee... saya kembali maling, kerja di tempat saya nipu mobil lagi. Bisa juga enggak. Karena ada tanggungan utang banyak di luar,” ucap Cipto, residivis yang sudah 4 kali keluar masuk penjara.
Sulitnya orang biasa mencari kerja karena cap “mantan narapidana” di jidat mereka tidak dialami para elite politik. Galang, sang mantan napi, mengatakan tak habis pikir mengapa nasib orang bisa begitu berbeda.
“Orang kecil yang mantan napi sudah setengah mati mencoba berubah agar dipercaya masyarakat, itu pun sulitnya minta ampun,” kata Galang “Ini koruptor mau menjadi pejabat, apa enggak menyakiti hati rakyat?”
Contoh terbaiknya yang muncul baru-baru ini adalah Romahurmuziy alias Romy yang kekayaannya mencapai Rp11,8 miliar pada 2010 lalu.
Meski Romy terbukti melakukan kejahatan saat menjadi pejabat publik, yaitu jual-beli jabatan di Kementerian Agama, partai politik justru memberi karpet merah kepadanya. Awal tahun ini dia didapuk jadi Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Jasa-Jasa Romy
Untuk memahami mengapa PPP memberikan karpet merah bagi Romy, maka kita harus lihat bagaimana hubungan keduanya di masa lalu. Hubungan Romy dan PPP faktanya tidak dibangun dalam waktu singkat. Bahkan sejak awal berkarier di dunia politik, dia sudah menjadi bagian dari partai itu.
Pada tahun 2003, Romy menjadi salah satu pengurus di DPP PPP. Ketika itu PPP tengah mengadakan Muktamar V. Pada 2007, di bawah kepemimpinan Suryadharma Ali, Romy menjabat wakil sekretaris jenderal. Dia juga turut membantu Suryadharma yang waktu itu menempati posisi menteri koperasi dan UKM sebagai staf khusus.
Pada tahun 2009, Romy berhasil berlenggang ke parlemen. Dua tahun setelahnya, dia menjadi salah satu orang paling dipercaya partai dengan mengemban jabatan sekretaris jenderal. Orang-orang memang melihat Romy sebagai tokoh pemimpin masa depan PPP.
Pada 2014, partai tersebut mengalami konflik internal. Kendati kisruh, tapi tahun itu justru tahun terbaik Romy.
Ketika itu, PPP masih menimbang-nimbang untuk menjadi partai pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atau Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014. Namun, Suryadharma Ali yang waktu itu masih menjabat ketua umum, malah hadir di acara kampanye Partai Gerindra.
Manuver ini tak disambut baik oleh Romy, juga sebagian kader PPP lain. Maka PPP pun terbelah menjadi dua kubu, antara kubu Romy dan kubu Suryadharma. Keduanya melakukan pemecatan satu sama lain.
Pada akhirnya PPP memutuskan untuk mendukung Prabowo-Hatta. Hal ini karena PPP juga merasa punya utang budi dengan Partai Gerindra setelah batal berkoalisi.
Pemilu diselenggarakan dan hasilnya pasangan Prabowo-Hatta keok.
Konflik berikutnya datang pada September 2014. Ketika itu Suryadharma ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi penggunaan dana haji. Partai kemudian menggelar rapat pengurus harian DPP. Keputusannya adalah memecat Suryadharma dari jabatan ketua umum. Yang membacakannya tak lain adalah Romy sang sekjen.
Suryadharma tidak terima dan beberapa hari kemudian giliran memecat Romy serta sejumlah pengurus DPW. Suryadharma melanjutkan usahanya dengan memohon kepada Mahkamah PPP agar memecat Romy--usaha gagal lainnya.
Puncak perselisihan keduanya adalah ketika dua kelompok ini sama-sama melakukan Muktamar VIII untuk memilih ketua umum. Di Surabaya, Muktamar menunjuk Romy sebagai pemimpin. Sedangkan di Jakarta, Muktamar Suryadharma memutuskan Djan Faridz sebagai ketua umum.
Langkah menentukan dan signifikan diambil Romy ketika PPP kalah dalam Pemilu 2014. Saat itu Romy mengambil keputusan untuk bergabung dengan koalisi partai pemenang pemilu. Ketika itu Koalisi Indonesia Hebat Jokowi-Kalla tidak punya kekuatan kuat di DPR, sementara kubu Djan Faridz menginginkan partai tetap jadi oposisi meski tak mendapat apa-apa--seperti kursi pimpinan MPR.
Mendekatkan diri dengan elite penguasa menyelamatkan PPP di parlemen dan pemerintahan. PPP mendapat satu kursi menteri di Kabinet Kerja Jokowi dengan ditempatkannya Lukman Hakim Saifuddin sebagai menteri agama.
Djayadi Hanan, dkk dalam Faksionalisasi dan Konflik Internal Partai Persatuan Pembangunan (2019) mengatakan konflik ini sejak awal bukan disebabkan karena perbedaan visi-misi atau hal idealis semacamnya, melainkan hanya pragmatisme orang-orang di dalamnya. Mereka punya strategi berbeda dalam merebut kekuasaan, tapi pada dasarnya partai cenderung dikuasai oleh kaum oligark atau kelompok tertentu saja.
Keakraban Romy dengan PPP bukan hanya karena peranannya berbuah pengaruh partai di pemerintahan. Ini juga soal biologis. Ibu Romy adalah Umroh Machfudzoh, kader PPP yang juga Ketua Umum Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) pertama. Sementara ayahnya adalah Tolchah Mansoer yang merupakan pendiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Dari latar belakang kuat sebagai kaum nahdiyin, tak heran PPP--yang terdiri dari fusi parpol termasuk NU--sangat percaya kepada Romy.
Ketua PPP pengganti Romy adalah Suharso Monoarfa, orang yang ketika terjadi konflik internal juga berlawanan dengan kepemimpinan Suryadharma Ali.
“Sudah kita pertimbangkan dan Mas Romy di mata teman-teman PPP masih memiliki kemampuan untuk membesarkan partai, berkontribusi membesarkan partai ini,” kata Ketua DPP PPP Achmad Baidowi, dilansir Kompas.
Tiada Efek Jera
Dalam siaran pers berjudul Pasal Korupsi Dalam KUHP: Menjauhkan Efek Jeradan Menguntungkan Koruptor, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut dari 1.282 perkara korupsi, rata-rata hukuman penjara hanya 3 tahun 5 bulan. Data ini diperoleh dari kasus-kasus sepanjang 2021.
Hal ini ditambah parah dengan adanya aturan RKUHP yang baru disahkan DPR dan pemerintah. Di masa mendatang, kasus korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan khusus.
Masa hukuman juga mengalami penurunan, yakni di pasal 603 soal merugikan keuangan negara. Dalam UU Tipikor, minimal pelaku dipenjara 4 tahun dan denda Rp200 juta, sementara di sana penjara minimal 2 tahun dan denda minimal Rp10 juta (Ketua KPK mengaku tak khawatir tentang itu).
Tanpa itu semua pun, setelah koruptor bebas dari penjara, mereka tidak serta-merta langsung kena sanksi sosial. Selain Romy, dahulu ada Andi Alfian Mallarangeng, bekas menteri pemuda dan olahraga yang tertangkap melakukan korupsi lebih dari Rp4 miliar dan sekarang menikmati jabatan sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat.
“Pertanyaannya, bagaimana bisa pemerintah dan DPR berpikir bahwa di tengah meningkatnya kasus korupsi dan rendahnya hukuman bagi koruptor, justru dijawab dengan menurunkan ancaman hukum penjara bagi pelaku?” catat ICW.
Editor: Rio Apinino