Menuju konten utama
8 September 1994

Roesmin Nurjadin: KSAU Pertama di Era Presiden daripada Soeharto

Roesmin Nurjadin adalah Kepala Staf Angkatan Udara pertama di era Orde Baru. Dia pernah dipercaya Soeharto sebagai Menteri Perhubungan.

Roesmin Nurjadin: KSAU Pertama di Era Presiden daripada Soeharto
Ilustrasi Mozaik Roesmin Nurjadin. tirto.id/Sabit

tirto.id - Setelah Letnan Jenderal Soeharto mendapat Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Angkatan Darat semakin kuat. Sementara para pendukung Sukarno semakin dikucilkan. Orang nomor satu di Angkatan Udara, Omar Dani, juga disingkirkan. Untuk sementara waktu, Omar Dani digantikan oleh Sri Mulyono Herlambang sambil para penguasa baru mencari orang yang cocok untuk dijadikan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), yang kala itu jabatan tersebut bernama Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau).

Di tengah kemelut tersebut, Sri Mulyono Herlambang mengundurkan diri. Dalam buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku (2001:132) yang disusun oleh J.M.V. Soeparno dan Benedicta Soerodjo disebutkan bahwa di Angkatan Udara telah terjadi “kudeta” terhadap Herlambang. Komodor Roesmin Nurjadin, Komodor Suyitno Sukirno, dan Komodor Leo Wattimena disebut sebagai pelakunya. Bahkan Suyitno menghubungi Angkatan Darat untuk minta bantuan panser.

“Angkatan Darat mengusulkan agar Wiryosaputro sebagai KSAU,” tulis Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi (1996:138).

Namun, kebanyakan petinggi Angkatan Udara menganggap yang bersangkutan belum cocok untuk memimpin AU. Wiryosaputro yang dimaksud adalah Imam Suwongso Wiryosaputro, anak Kapten Wardiman, mantan navigator KNIL zaman Hindia Belanda. Menurut Boediardjo dia juga dicalonkan, tetapi karera sebagai orang radio dan bukan penerbang, maka dia menolak. Akhirnya yang terpilih sebagai KSAU pada 1966 adalah Komodor Roesmin Nurjadin yang sebelumnya menjadi Deputi KSAU.

“Roesmin dikenal sebagai antagonis Omar Dani,” tulis Boediardjo.

Sebelum 1965, Roesmin tidak bertugas dalam komando Angkatan Udara yang dipimpin Omar Dani, melainkan menjadi atase udara di Moskow, Uni Soviet. Pada era Roesmin menjabat sebagai KSAU, Angkatan Udara sulit mengandalkan alat-alat tempur buatan Blok Timur. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986:267), “Angkatan Laut dan Angkatan Udara telah menjadi sangat tergantung pada bantuan dari Uni Soviet dan negara-negara komunis lain untuk persenjataan mereka, akan tetapi setelah 1965 tidak lagi tersedia bantuan dari sumber-sumber itu.”

Setelah 1965, kiblat militer Indonesia adalah Amerika Serikat, baik dalam hal teknologi maupun politik. Di masa itu pula Angkatan Udara berubah, mereka tidak lagi menjadi armada yang ditakuti negara-negara Blok Barat di Asia Tenggara. Selain itu, paradigma pimpinannya pun ikut berubah.

“Angkatan Udara itu angkatan teknis, berbeda dengan Angkatan Darat,” kata Roesmin.

Menurut Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (2015:159), pernyataan Roesmin itu terlihat menyindir Omar Dani yang terlibat dalam politik di bawah Presiden Sukarno. Meski demikian, di bawah pimpinan Roesmin, Angkatan Udara memang hanya sebagai pelengkap Angkatan Darat. Tak seperti di masa Sukarno, Angkatan Udara era Roesmin bukan lagi pengimbang bagi Angkatan Darat yang semakin menguat.

Seperti institusi dan lembaga lainnya, Angkatan Udara juga kemudian "dibersihkan" dari orang-orang yang dianggap terlibat dan simpatisan G30S.

Roesmin menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dari 31 Maret 1966 hingga 10 November 1969. Pengganti Roesmin adalah Soewoto Sukendar.

Infografik Roesmin Nurjadin

Infografik Roesmin Nurjadin 31 Mei 1930-8 September 1994. tirto.id/Fuad

Setelah itu, Roesmin Nurjadin bersama Sujitno Sukirno dan Leo Wattimena dijadikan duta besar untuk negara-negara yang bukan komunis. Suyitno di Australia, Roesmin di Inggris, dan Leo di Italia. Roesmin bertugas di Inggris dari 1970 hingga 1974. Setelah itu dia menjadi Duta Besar di Amerika Serikat dari 1974 hingga 1977. Pada 1978, Roesmin kembali ke Indonesia dan diangkat sebagai Menteri Perhubungan. Pada tahun tersebut Leo Wattimena meninggal dunia. Ketika Roesmin menjadi menteri, Sujitno Sukirno ikut serta dalam Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto.

Roesmin menggantikan posisi Emil Salim sebagai Menteri Perhubungan. Dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984:582-583) disebutkan bahwa Roesmin mengaku tertarik dengan gagasan Emil Salim tentang kaderisasi di departemen yang dipimpinnya. Di masa itu, masalah di Departemen Perhubungan adalah masih belum banyaknya kantor pos pembantu dan angkutan sungai. Di masa itu pula pengiriman uang lewat wesel sangat lambat.

Terkait masalah pos wesel, pernah ada tanya jawab antara Roesmin dengan anggota komisi V DPR. Karena Roesmin dan stafnya lambat dalam memberikan jawaban, akhirnya komisi V menyarankan agar pengiriman uang dilakukan lewat bank.

Roesmin pernah mengendarai bus dari Aceh ke Bali dalam rangka peresmian jalan raya. Dia menjadi Menteri Perhubungan selama dua periode dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983) dan Kabinet Pembangunan IV (1983-1988).

Bersama Omar Dani, Leo Wattimena, dan Sri Mulyono Herlambang, Roesmin adalah lulusan sekolah penerbangan Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TOLOA) California pada awal 1950-an. Dalam sejarah Angkatan Udara dan penerbangan Indonesia, Roesmin dan Leo adalah orang Indonesia pertama yang menjadi pilot jet tempur (dulu disebut pancar gas) setelah dilatih di Inggris pada 1955. Roesmin pernah memimpin Skuadron III Pemburu pada era 1950-an.

Sebelum dilatih sebagai penerbang Angkatan Udara, Roesmin adalah anggota tentara pelajar dari Brigade 17 di front Jawa Tengah pada masa revolusi. Dia yang ayahnya bernama Sadimin Bakri lahir di Malang pada 11 Mei 1930, dengan susah payah merampungkan sekolah di masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Roesmin Nurjadin tutup usia pada 8 September 1994, tepat hari ini 27 tahun lalu. Namanya kemudian dijadikan nama pangkalan udara (lanud) di Pekanbaru, Riau.

Baca juga artikel terkait ANGKATAN UDARA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh