Menuju konten utama

Rock dan Dangdut Sudah Tak Akur Jauh Sebelum Konflik JRX-Via Vallen

Jauh sebelum geger JRX-Via Vallen, dangdut dan rock di Indonesia sudah lama berseteru. Melibatkan fanatisme dan militansi yang tak jarang berakhir dengan pertumpahan darah.

Penyanyi dangdut Rhoma Irama. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Jagat maya sedang digegerkan perseteruan antara drummer Superman Is Dead (SID), I Gede Ari Astina alias JRX, dengan biduanita Via Vallen. Perseteruan yang belum memperlihatkan tanda-tanda selesai ini berpangkal pada dua hal: Via dianggap tidak meminta izin ketika membawakan “Sunset di Tanah Anarki” milik SID serta dipandang cuma membawakan lagu tersebut tanpa mempedulikan pesan—atau “ruh” seperti kata JRX—di dalamnya.

“Ngefans tapi sama sekali gak pernah minta izin bawain lagu SID. Dan lagu ini pesannya besar. Vallen paham gak apa yang ia nyanyikan? Ini bukan tentang nominal. She’s degrading the meaning of the song,” cuit JRX lewat akun Twitter-nya.

Seolah tak cukup, JRX, yang juga dikenal sebagai aktivis Bali Tolak Reklamasi, kembali menyerang Via dengan anggapan bahwa ia tak punya kontribusi terhadap gerakan sosial. Katanya, kendati punya pengikut yang jumlahnya jutaan, Via tak melakukan tindakan apa-apa untuk aksi melawan lupa, pelurusan sejarah 1965, hingga perjuangan masyarakat Kendeng.

Dulu Karena Soal Selera

Terlepas dari isu yang berkeliaran, perseteruan JRX-Via Vallen rupanya punya dimensi sosial yang lebih luas; rivalitas rock dan dangdut.

Pernyataan JRX yang menyebut Via “tak peduli pesan sebuah lagu” maupun “minim kontribusi terhadap gerakan sosial” seakan memperlihatkan bahwa artis dangdut tak lebih dari musisi kelas dua yang cuma peduli akan goyangan dan pundi-pundi uang.

Rivalitas ini pernah terjadi empat dekade silam, dengan perbedaan selera sebagai sumbu permasalahannya.

Pada era 1970-an, sebagaimana ditulis Andrew Weintraub dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), dangdut—yang tercipta dari perkawinan musik Melayu dan India—lekat dengan anggapan sebagai musik rakyat. Pasalnya, basis mayoritas penggemar dangdut adalah rakyat kelas bawah.

Menurut Weintraub, dangdut jadi populer di kalangan jelata karena liriknya yang dekat dengan keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia. Apabila musik pop maupun rock dipandang tidak punya akar historis serta ciri musik yang bisa mewakili derita rakyat, dangdut justru sebaliknya. Ia punya akar kuat sering menceritakan kehidupan rakyat biasa. Dari sini, tak heran jika dangdut berkembang di lingkungan urban yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.

Terma dangdut sendiri sebetulnya baru lahir pada awal 1970-an. Nama dangdut berasal dari efek bunyi kendang: dang-dut. Beberapa pemusik tidak menyukai istilah yang dianggap melecehkan ini. Dalam Majalah Tempo edisi 5 Mei 1979, misalnya, Said Effendi, pemimpin OM Sinar Agung, mengatakan istilah dangdut “muncul karena perasaan sinis dari mereka yang anti musik Melayu.”

Masih dalam buku yang sama, Weintraub menulis bahwa istilah dangdut diciptakan oleh majalah musik Aktuil. Namun, dalam wawancaranya dengan Meggy Z, Mansyur S., dan Dadang S., istilah dangdut jadi populer berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang kerap mempromosikan dangdut di Radio Agustina, Tanjung Priok, Jakarta, pada 1973-1974.

Mangkudilaga mengasuh acara bernama “Sop Dangdut.” Nama ini menarik sebab mencerminkan jiwa dangdut itu sendiri: percampuran. Sop dibuat dari pelbagai jenis sayur, sama halnya dangdut yang terbentuk dari pelbagai pengaruh musikal. Dengan jumlah penggemar yang terus membesar, banyak radio yang kemudian tertarik menyiarkan dangdut.

Faktor lain yang membuat dangdut makin populer adalah larisnya kaset-kaset Ellya Khadam. Salah satu indikator mulai populernya dangdut, terang Weintraub, adalah makin banyaknya musisi pop Indonesia yang mau membuat lagu berirama Melayu. Bahkan, pada 1975, dangdut sudah menguasai 75 persen pasar industri rekaman. Sebelumnya, musisi pop dianggap mewakili kaum sugih dan gedongan.

Popularitas dangdut kian tak terbendung kala pria asal Tasikmalaya bernama Rhoma Irama mencuat ke permukaan. Sebagai musisi dangdut, Rhoma dipandang istimewa karena punya akar musikalitas yang berbeda ketimbang penyanyi dangdut lain. Meski Rhoma kecil suka berdendang musik India, ia tumbuh dengan mendengarkan musik rock. Saat ia muncul dengan pengaruh musik rock yang kental, banyak orang menudingnya tidak orisinal, termasuk Remy Sylado, wartawan Aktuil.

Namun, bebunyian yang tak orisinal itu pula yang mengorbitkan Rhoma, yang kelak dikenal sebagai "Raja Dangdut." Ia berhasil menyuntikkan pengaruh rock dan pop ke musik dangdut. Tak hanya itu, Rhoma juga meletakkan agama secara berdampingan dengan politik dan dangdut.

Dangdut boleh bersinar, tapi pertentangan yang ditujukan kepada ragam musik ini juga kian keras. Di sinilah Benny Soebardja, pentolan grup hard rock Giant Step mengambil peran krusial.

Saat itu, Benny, dengan keyakinan yang tinggi, menghina dangdut sebagai “musik tai anjing.” Dalam benak Benny, dangdut tak ubahnya musik ecek-ecek yang kastanya jauh di bawah rock.

Serangan makin liar ketika Aktuil mulai menggiring opini masyarakat untuk memihak musisi rock. Sikap Aktuil tersebut, seperti dicatat Idhar Resmadi dalam “Jurnalisme Musik di Indonesia” (2017), tak mengagetkan karena Aktuil dikenal sebagai media yang condong pada musik-musik Barat.

Mendengar hinaan itu, Rhoma pun tak tinggal diam. Ia murka dan membalas pernyataan Benny dengan menyebut musik rock sebagai “terompet setan.”

Eskalasi konflik kemudian meningkat hingga adu fisik. Kritikus musik almarhum Denny Sakrie menjelaskan, pada masa itu pendukung rock dan dangdut kerap terlibat tawuran dan jumlah korban luka tak terhitung jumlahnya. Selama bertahun-tahun, mereka saling hantam atas nama fanatisme musik.

Kekerasan ini dialami sendiri oleh sang Raja Dangdut. Dalam konferensi Archipelago Festival yang diselenggarakan di Soehana Hall pada 13 Oktober 2018, Rhoma menceritakan bahwa suatu hari ia sedang syuting film di Tegalega, Bandung, yang tak lain adalah basis penggemar Giant Step.

Alih-alih disambut hangat, Rhoma justru disambut hujan batu oleh para penggemar Giant Step. Pengalaman serupa juga ia alami kala manggung bersama Soneta di Banyuwangi. Di sana, Rhoma bahkan sampai terlibat adu fisik.

“Itu [keributan] terjadi di mana-mana. Ada juga yang panggung dangdut dikencingin oleh penggemar musik rock, penggemar musik dangdut membalas dengan setrum,” katanya.

Dalam wawancaranya bersama Raka Ibrahim, yang kemudian diterbitkan Jurnal Ruang dengan judul “Dangdut, Soeharto, dan Kolonialisme Gaya Baru” (2017), Weintraub menjelaskan sebetulnya penggemar musik dangdut saat itu tak peduli dengan cercaan yang ditujukan kepada keyakinan mereka.

“Mereka tidak peduli, musik dangdut itu dianggap vulgar atau tidak oleh para elit. Mereka tidak peduli Dangdut jadi musik nasional atau tidak. Dangdut itu musik mereka. Buat apa ikut ribut? Dangdut tidak perlu mendapat ‘penerimaan’ dari negara. Dangdut tidak butuh dihormati oleh orang lain. Dan penyanyi seperti Rhoma Irama akan tetap populer, apapun yang terjadi,” ungkapnya.

Akhirnya Damai Juga

Untungnya konflik antara dangdut dan rock tak berbuntut panjang. Baik Benny maupun Rhoma, yang berada di garda terdepan konflik kedua kubu, sadar bahwa perseteruan tak perlu dilanjutkan.

Gambaran perdamaian tersebut, seperti dicatat Denny Sakrie dalam “Ketika Soneta Group Bersepanggung Dengan God Bless” (2013) bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, muncul konser yang melibatkan musisi rock dan dangdut dalam satu panggung. Contohnya, konser antara Giant Step dengan penyanyi dangdut bernama Lies Saodah. Kemudian, ada pula konser bersama yang menghadirkan Soneta dan God Bless. Bahkan kedua grup itu tampil bareng sebanyak dua kali (1977 & 1985).

src="http://mmc.tirto.id/image/2018/11/16/infografik-rock-vs-dangdut--mild--nadya.jpg" width="860" alt="Infografik Rock vs Dangdut" /

“Massa penonton rock dan dangdut bisa dikatakan seimbang. Bahkan, bukan tak mungkin ada penikmat rock yang juga menyukai dangdut, demikian juga sebaliknya. Secara jujur harus diakui rock dan dangdut adalah musik yang memiliki karakter dan dinamika yang dekat semangat anak muda atau yang berjiwa muda. Rock dengan kredo kebebasan berekspresi nyaris memiliki persamaan dalam sudut ekspresi yang dimiliki dangdut, di mana dangdut juga merupakan ekspresi kebebasan bagi kaum akar rumput yang menurut pengamatan saya lekat dengan bunyi-bunyian musik dangdut,” demikian tulis Denny.

Indikator kedua ialah soal kreasi. Baik musisi rock maupun dangdut tak ragu untuk saling menginspirasi satu sama lain. Pada 1977, misalnya, Rhoma dan Soneta merilis album bertajuk Hak Azazi yang kental akan elemen rock dan funk dalam sajian aransemennya. Petikan gitar Rhoma, mengutip Denny, “mulai cenderung mengekor pada sound gitar Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple.”

Dua tahun berselang, giliran pentolan God Bless Achmad Albar melepas album dangdut berjudul Zakia. Album yang dibikin bersama Ian Antono ini sukses di pasaran. Benny Soebardja pun tak ketinggalan mengikuti jejak rekan-rekannya di kancah rock. Usai Giant Steps bubar, Benny mengeluarkan album solo berjudul Benny Soebardja and Lizard (1975). Di lagu pertama, “18 Years Old,” Benny memasukkan unsur tabla, instrumen tabuh India yang menjadi inspirasi musik dangdut serta tiupan suling yang mengajak pendengar bergoyang.

Bisakah konflik antara JRX dengan Via Vallen mereda dan beralih jadi kolaborasi seperti yang dilakukan senior-senior mereka beberapa dekade silam?

Baca juga artikel terkait DANGDUT atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf