Menuju konten utama

Risiko Reklamasi dan Tanggul Raksasa

Giant sea wall dan reklamasi Teluk Jakarta bukanlah solusi bagi ancaman banjir rob dan krisis air bersih di Jakarta, menurut ahli oseanografi ITB Moeslim Moein. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga pernah mengeluarkan policy paper yang hasil kajiannya mirip dengan kekhawatiran Moeslim.

Risiko Reklamasi dan Tanggul Raksasa
Jakarta Giant Sea Wall. [Foto/.dutchwatersector.com]

tirto.id - Berapa banyak yang tahu ihwal rencana reklamasi pantai ibukota sebelum Sanusi yang menjabat Ketua Komisi di DPRD DKI Jakarta dicokok KPK? Menurut survei yang digelar Tim Riset tirto.id, sebanyak 47 persen responden tak tahu soal kebijakan ini. Artinya, hanya separuh warga Jakarta yang tahu bahwa ada bagian laut yang akan dan sudah diuruk.

Dari 17 pulau buatan bernama alfabetis yang direncanakan, pulau C dan D yang berada di seberang Pantai Indah Kapuk pembangunannya sudah hampir selesai. Ada juga Pulau N yang akan menjadi Pelabuhan New Tanjung Priok, serta Pulau G atau Pluit City yang digugat oleh koalisi masyarakat (termasuk nelayan Muara Angke), dan dikabulkan gugatannya oleh PTUN Jakarta pada 31 Mei lalu.

Izin pembangunan Pulau G dibatalkan oleh PTUN dan pemerintah DKI diperintahkan untuk menunda pelaksanaan reklamasi Pulau G sampai putusan PTUN berkekuatan hukum tetap. Namun, putusan itu tak diindahkan oleh Menteri Luhut Panjaitan yang pada pekan lalu menyatakan bahwa reklamasi Pulau G tidak bermasalah dan akan dilanjutkan.

Di luar kesimpangsiuran reklamasi yang terjadi baru-baru ini, sejak awal memang ada perdebatan ihwal yang berwenang dalam proyek ini. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama termasuk yang menampik urusan reklamasi di bawah kewenangan pemerintah pusat. Menurutnya, kewenangan perizinan pulau-pulau buatan ada di kantornya. Ahok juga berpendapat reklamasi bukanlah proyek tanggul raksasa atau Giant Sea Wall.

Pandangan itu dikritik oleh Menteri Lingkungan Hidup saat Megawati menjadi presiden, Nabiel Makarim. Menurut Nabiel, pembangunan yang terjadi di laut, apalagi assif dan lintas-provinsi, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Maka, Amdal pun tak bisa dibikin per pulau seperti yang terjadi sekarang ini. Amdal menurutnya harus dibuat secara menyeluruh.

"Seharusnya rencana Amdal itu satu karena kita harus melihat pengaruhnya secara keseluruhan terhadap lingkungan. Kalau satu pulau bisa saja nggak apa-apa, atau dua pulau, tapi kalau 17 bagaimana?" kata Nabiel.

Pada April 2015, Menteri Susi pernah menyatakan agar proyek reklamasi ditunda dulu jika Pemprov DKI belum bisa menyediakan wilayah dengan kapasitas penampungan air sejumlah volume yang diuruk di laut.

Susi juga sempat menegaskan bahwa reklamasi perlu memperhatikan kepentingan umum yang lebih besar. Seperti dilansir Antara, Menteri KKP ini juga menekankan agar reklamasi tidak membuat ada pihak yang dirugikan.

Pandangan Susi bukan tanpa dasar. Kementeriannya telah melakukan kajian terhadap kebijakan reklamasi yang bersama proyek Giant Sea Wall masuk ke dalam National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Hasilnya tertuang dalam policy paper berjudul “Prakiraan Dampak Giant Sea Wall Teluk Jakarta.” Menurut dokumen ini, faktor kenaikan permukaan air laut bukanlah ancaman utama yang mengharuskan dibangunnya tanggul raksasa.

“Kenaikan permukaan air laut dapat ditanggulangi dengan meninggikan tanggul pantai yang telah ada.”

Terkait permukaan tanah Jakarta yang terus menurun, kajian itu menyatakan bahwa yang diperlukan adalah pelarangan pengambilan air tanah dan mencari pengganti penyediaan air bersih di sekitar Teluk Jakarta. Kota ini juga perlu mengatur pembangunan infrastruktur yang telah membebani tanah, supaya laju penurunan tanah bisa dikurangi.

Terkait nelayan, analisis ini juga memperkirakan akan ada dampak negatif terhadap nelayan terkait sumber pendapatan serta pada aspek budaya. Ini pernah pula dikatakan oleh Iwan, nelayan Muara Angke. Pada dekade 1970-an, Iwan kerap menjaring udang bersama kawannya di lokasi tempat Pulau C dan D sekarang berada. Kedua pulau di seberang Pantai Indah Kapuk.

“Karena di pantainya banyak pohon bakau, itu banyak udangnya. Sekarang tempatnya sudah jadi pulau.”

Tak berhenti pada ancaman mata pencaharian, nelayan juga terancam tempat tinggalnya. "Kita bikin rusun untuk nelayan termasuk pelabuhan, nah ini di luar Cakung. Cilincing kita bangun tanggul di sepanjang daratan lalu dibangun lagi rusun buat nelayan," kata Ahok.

Rencana memindahkan nelayan dengan cara ini juga dimasalahkan oleh mantan Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim. Memindahkan nelayan ke rumah susun akan membuat masalah baru. “Kalau nelayan ditempatkan di apartemen, nanti jalanya mau dijemur di mana?” kata Nabiel.

Yang terbaik menurutnya adalah bertanya pada nelayan terdampak, ke mana mereka bersedia dipindahkan. Apakah mau ke tempat desa nelayan yang baru atau mencari solusi lain.

Ahli oseanografi dari ITB, Moeslim Moein, juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Pelabuhan Ikan Nusantara akan ditutup jika rencana ini diteruskan. “Katanya kita mau menjadi poros maritim dunia, bohong jadinya. Terus nelayannya, kan 12.000 dikasih perumahan, dikasih tinggal di rusun tetapi kapalnya tidak bisa berlabuh, mau jadi nelayan lagi tidak? Bisa bayar sewa rusunnya, tidak?” tanya Moeslim, penuh keraguan.

Jika menilik pernyataan Moeslim, ucapan Ahok yang memisahkan antara reklamasi dengan Giant Sea Wall jadi tidak relevan. Sebab, menurut dosen ITB ini, “Kalau reklamasi dilakukan seperti sekarang, Giant Sea Wall harus dibangun.”

Sebaliknya, jika reklamasi tidak dibuat seperti sekarang, Giant Sea Wall juga tidak perlu dibangun. Solusi yang disampaikan Moeslim sama dengan policy paper yang disusun kementerian Susi. “Dengan terjadinya penurunan muka tanah tadi, cukup menanggul. Tanggulnya diperkuat di sepanjang daerah yang mengalami penurunan tanah, seperti di Pluit. Jadi yang dibangun tanggul pantai bukan tanggul di laut.”

Kesimpulannya, bagi Moeslim, pemerintah sekarang sedang melakukan kebohongan, baik soal banjir rob maupun penyediaan air bersih. Yang pertama bisa ditanggulangi dengan memperkuat tanggul di pantai, bukan membangun tanggul raksasa di laut alias giant sea wall.

Pemerintah menurutnya juga keliru soal penyediaan air bersih. “Untuk air bersih itu sebaiknya dari daerah hulu. Kalau bilang tidak ada, ya artinya pemerintah ini tidak mau berpikir dan tidak mau bekerja,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Hukum
Reporter: Maulida Sri Handayani & Arbi Sumandoyo
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti